KEPULAN asap sudah kami lihat dari kejauhan, selama berbulan-bulan. Kabakaran di hutan sudah kami dengar dan lihat di hutan jauh dari kampung pada Februari 1983. Matahari jadi redup, seperti bulan. Langit kelabu. Kami sudah menyiapkan diri. Menggali parit sekelilig kampung, membabat alang-alang dan semak-semak, untuk menahan api yang tiap hari semakin mendekat. Pokoknya, segala yang mungkin terbakar di sekeliling kampung kami musnahkan. Benteng itu kami bikin berpuluh kilometer dari kampung, berlapis-lapis. Tapi, sungguh ajaib, api itu bisa membakar tanah, lalu menjalar mendekati kami. Tanah-tanah jadi hitam arang. Dan bila ketemu pohon, membakar pula pohon itu. Di luar dugaan sama sekali, api datang dengan lebih cepat, dari segala penjuru. Ladang-ladang kami hangus. Huma-huma kami jadi abu. Pohon cengkih yang telah kami rawat lima tahun, dan dua tahun lagi kami akan panen, musnah seketika. Cita-cita kami untuk berhenti jadi suku yang mengembara dari wilayah ke wilayah pun sirna. Berbulan-bulan hidup serasa di neraka. Kami kurang makan dan tidur. Sebentar-sebentar, tidak siang, tidak malam, terdengar suara kentongan dipukul, pertanda di arah bunyi kentongan api telah lebih mendekat ke kampung. Biasanya beberapa orang lalu lari ke arah bunyi kentongan, mencoba mencegah api makin mendekati kami. Senjata di tengah hutan untuk melawan api cuma semprotan bambu. Celakanya, air pun berada jauh. Jadi, setelah cros . . . cros . . . air pun habis. Kami harus cepat lari menuruni tebing curam sungai, menyedot air dengan semprotan, lalu kembali lari ke arah kobaran api. Dan cros . . . cros . . . habis lagi . . . Hampir semua warga Tanjungmanis ikut melawan api: anak-anak, perempuan, orang tua. Begitu seterusnya, pagi, siang, sore, malam. Tenaga kami habis, sementara tentara api terus saja mendekat. Kami tak lagi bisa mendekat ke kobaran. Api makin membakar, lidahnya seperti hendak naik ke langit. Kulit terasa disentuh dengan besi membara. Ketakutan mencekam kampung. Bila terdengar ledakan-ledakan, itulah pasti bambu-bambu kami sudah termakan api. Dan itu berarti pula api semakin dekat. Suatu hari, sebuah rumah paling pinggir atapnya terkena jilatan api. Ramai-ramai rumah itu segera kami robohkan. Kami capek. Letih. Kami keder: Kami putus asa. Orang kota bilang hutan terbakar. Sebenarnya yang terbakar adalah kehidupan: pohon-pohon, tanaman-tanaman, dan sumber air. Binatang-binatang bermunculan, keluar dari hutan, tak lagi liar. Mereka diburu api dan kalah. Babi dan pelanduk, yang bila mencium bau orang lalu menyelinap dan cepat menghilang, kini justru masuk kampung. Ketakutan mereka kepada api jauh lebih besar daripada kepada kami. Monyet-monyet berloncatan di atap rumah. Anak-anak, ya namanya anak-anak, memburui monyet-monyet yang ketakutan itu. Banyak yang akhirnya tertangkap. Hampir tiap hari sekelompok kecil, atau satu-dua, babi dan pelanduk masuk kampung dengan terseok-seok, napasnya tersengal-sengal, matanya basah. Kuku-kuku binatang itu ternyata telah terkelupas. Mereka tentu telah berlari berkilometer di tanah terbakar. Sungguh, pemandangan yang sangat memilukan. Tak susah menangkapi babi, pelanduk, dan monyet-monyet itu. Dalam keadaan biasa, tentu kami akan berpesta pora. Tapi sekarang, melihat mereka serasa melihat saudara-saudara sendiri terbakar api. Penderitaan pelanduk itu adalah penderitaan kami juga. Sungguh berat rasanya menyembelih hewan-hewan yang telah tak berdaya itu. Tapi kami sendiri kelaparan. Ladang-ladang kami hangus. Naluri untuk mempertahankan hidup lebih muncul daripada rasa belas dalam situasi kepepet seperti ini. Tapi sungguh, mengunyah daging pelanduk itu yang terasa adalah getir. Kami benar-benar kepepet, dan menyembelih mereka hanya sekadar untuk mempertahankan hidup. Seekor burung enggang tiba-tiba jatuh terkapar di jalan kampung. Dan kemudian, hampir tiap hari, ada saja burung yang jatuh. Mereka kehausan, paruhnya ternganga, dadanya kembang kempis. Mereka kecapekan, tak ada pohon tempat hinggap lagi. Hutan-hutan di utara, selatan, timur, barat Desa Tanjungmanis habis hangus. Kami terancam. Kampung dikepung api, dengan jarak terdekat sekitar 20 meter. Panas terasa di semua sudut kampung. Bila malam kami berkumpul dan berdoa merenungi nasib kami. Mula-mula nasib terasa terang ketika mahasiswa-mahasiswa Pak Sardono menyumbang bibit cengkeh. Kini nasib terasa gelap. Kerugian tidak dapat saya katakan di sini. Pokoknya, ladang dan pondok dan alat-alat kerja hangus. Kebun cengkih, lada, pohon buah, pisang terbakar. Tak dapat saya lukiskan perasaan hati kami. Seperti dunia segera kiamat. * * * (Catatan Sardono W. Kusumo tentang Kampung Tanjungmanis dan Ngang Bilung, ketika ia hidup beberapa bulan di tengah suku Kenyah, pada 1978). CENGKIH dan lada adalah harapan Ngang Bilung dan warga sukunya. Dari hasil cengkih itulah terutama, yang akan mereka panen pada 1985, harapan digantungkan. Tiba-tiba surat Ngang Bilung terasa bagaikan keputusan eksekusi. Harapan mereka, agar anak-anak terangkat dari kemiskinan, dilalap api. Sembilan tahun yang lalu, pada 1978, saya masih melihat harapan itu. Sebuah kandang yang besar, sebuah rumah panjang, di Kampung Tanjungmanis. Sebuah bangunan yang terbentuk dari tonggak-tonggak tak keruan bentuknya. Dari bawah, lewat lantai kayu yang tak rapat, meruak bau kotoran babi bercampur lumpur. Bila malam kepak ayam yang tidur di kayu-kayu penopang atap, dan kemersak daun-daun diterjang angin mengisi kesunyian. Sering kali tahi ayam meluncur langsung ke badan. Juga lipas dan kecoak. Lumpur kering dan basah menjadi bagian interior rumah tanpa dimaui. Tentu, tak sekadar lumpur, tapi lumpur bercampur kotoran anjing, kotoran babi, dan lain-lain. Lalat-lalat beterbangan, hinggap di kudis, di kepala, ke tanah, ke anjing, kembali ke luka di kaki. Orang-orang suku Kenyah ini tak lagi punya waktu untuk sekadar membersihkan badan. Tenaga dan waktu mereka habis hanya untuk sekadar bertahan bisa makan. Secara fisik, orang-orang Tanjungmanis ini sedikit lebih baik daripada gelandangan. Tapi mereka memiliki sejarah panjang, semangat, dan harapan. Mereka tetap menyimpan kepandaian merencanakan wilayah kampung, yang selalu disesuaikan dengan keadaan hutan. Mereka tetap menyimpan angan-angan untuk maju. Mereka pun masih menyimpan keinginan berekspresi, menciptakan tembang-tembang seperti karya-karya nenek moyang. Ada kekayaan rohani yang tersimpan dalam di lubuk orang-orang yang tampak kotor dan dekil dan bau ini. Kekayaan yang berakar pada tradisi yang panjang, tradisi yang melahirkan mandau dan sumpitan. Dan sekarang, api itu, yang "sungguh aneh bisa membakar tanah," kata Ngang Bilung, seperti telah memusnahkan semuanya. Bukan hanya kebun cengkih, tapi juga mimpi-mimpi. Bukan hanya pohon pisang, tapi juga rantai tradisi. Adakah Ngang Bilung telah melihat bintang mati -- dan itulah sukunya sendiri?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini