BATU bara di perut Kalimantan Timur memang belum sempat diolah. Tapi endapan kekayaan alam itu kini malah membara bagai sekam menyimpan api, yang belum padam sejak lima tahun lalu. Dari situlah datang lidah api yang menari-nari di belantara tropis ini. Terpanggang tanpa henti, sampai ada kebun di kawasan Bukit Soeharto anjlok sedalam 20 meter pada areal seluas 100 m2. "Mungkin, beberapa tahun lagi kebun saya yang tiga hektar ini akan menjadi kebun api abadi," kata Musa kepada Muin Akhmad dari TEMPO. Petani merica ini hampir sepuluh tahun berkebun di sana -- 60 km di luar Kota Samarinda arah ke Balikpapan. Musa niscaya tak sendirian dalam perkara cemas ini. Sebab, hutan Kalimantan terbilang bagian hajat hidup paru-paru bumi kita -- selain hutan tropis yang juga kian binasa di Afrika dan Amerika Selatan. Kobaran api mengganas lagi akhir September lalu, karena masih ada pembabatan hutan oleh penduduk. Mereka membakar pepohonan dan ilalang untuk membuka lahan baru. Tak terelakkan, api merambat ke areal perkebunan PTP VI dan melalap 70 hektar hutan anggrek, yang 400 km dari Samarinda itu. Bukit Soeharto adalah kawasan hutan lindung. Luasnya 68.450 hektar. Di sana ada permukiman dengan penduduk sekitar sepuluh ribu jiwa. Dalam kebakaran kali ini belum diketahui jumlah areal yang pasti, karena api munculnya terpencar-pencar. Tapi untuk pertama kalinya, akhir September lalu, upaya besar memadamkan api dipusatkan di kawasan Bukit Soeharto, dengan menggunakan bom air. Biayanya lumayan: 2.600 dolar Amerika per jam, yaitu ongkos sewa pesawat Transal dari Pelita Air Service. "Dengan gerakan ini penduduk bisa melihat betapa besar biaya yang diperlukan untuk memadamkan api," ujar seorang pejabat di sana. Tentu saja, penduduk tahu atau, paling tidak, mereka ramai-ramai menonton dari balik jendela rumahnya. Apalagi dua jam setelak penyemburan air mahal itu, hujan pun jatuh mengguyur bumi (lihat Lingkungan dan Selingan).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini