(Mereka telah beratus tahun berdialog dengan hutan, dan bersatu dengan hutan, dan hutan tetap lestari. Mungkinkah orang-orang ini yang merusakkan hutan itu.) TEMAN-temanku suku Dayak Kenyah tak bisa paham mengapa mereka tak lagi boleh bebas di hutan-hutan leluhurnya. Banyak batas yang dijaga. Penjaga itu tak membolehkan mereka lebih jauh masuk ke hutan. Biar itu sekadar mengejar babi hutan atau menguntit burung. Mereka orang-orang Kenyah itu, juga kaget, di pertengahan 1970-an, sungai tak lagi aman. Tiba-tiba bisa saja beberapa batang balok meluncur dengan deras menghantam perahu mereka, atau menerjang jamban-jamban di pinggir sungai. Padahal, dulu, di sungai musuh mereka paling berbahaya adalah buaya. Toh, buaya-buaya itu bisa mereka taklukkan dengan akal dan keberanian. Masih ada orang yang bisa bercerita, bagaimana seorang Kenyah melepaskan diri dari sereten buaya. Ia, begitu ceritanya, dengan tenang menotok mata buaya itu, yang lalu melepaskan seretannya. Tapi terhadap balok-balok yang menerjang ganas itu, yang ditebangi oleh pendatang-pendatang berkendaraan traktor, mereka tak berdaya. Bukan karena balok itu tak bisa dikalahkan hanya dengan menotok matanya (mata pun balok itu tak punya). Tapi karena begitu banyaknya balok ditebang dan dihanyutkan ke sungai. Herannya lagi, areal hutan yang dibabat ternyata cuma dibiarkan begitu saja, tak dijadikan ladang sebagaimana bila mereka melakukan babat hutan. Pendatang-pendatang dengan binatang besi itu cuma mengambil pohon, lain tidak. Dan tak cuma sampai di situ. Para penebang pohon lalu mengundang mereka, mempekerjakan mereka dengan upah. Makin dikenallah uang. Tapi di tengah hutan, untuk apa alat perdagangan itu? Maka, muncullah judi. Muncullah minuman keras, yang semula hanya konsumsi untuk para penebang penunggang kerbau-kerbau besi itu. Lalu muncullah tuduhan yang tak enak. Orang-orang Kenyah cuma suka mabuk-mabukan. Tak salah benar tudingan ini. Tapi, ketika hutan dibabat, untuk apa kepiawaian mereka memburu hewan? Di mana pula mereka bisa berladang bila aturan-aturan baru tak mereka pahami? Lalu mereka tahu cara termudah mengatasi frustrasi. Mabuk, apa lagi? Ini memang perbenturan dua budaya yang terlalu berbeda dengan tiba-tiba. Orang-orang Kenyah dituntut berubah dengan cepat, untuk tak lagi berladang tapi bekerja sebagai penebang kayu, umpamanya. Untuk tak tinggal di rumah-rumah lamin, tapi terpisah sekeluarga-sekeluarga, di rumah-rumah model Perumnas. Untuk meninggalkan hutan mereka sementara seluruh tubuh mereka, dari ujung ke ujung, juga darah yang mengalir di pembuluh-pembuluh, sama sekali masih berbau dan bersemangat hutan. Maka, kesenian mereka pun ikut tersia-sia. Kebudayaan mereka pun hancur. Bukan karena tak lagi lahir empu-empu, tapi budaya yang membentur mereka secara tiba-tiba menjadikan mereka kecil tanpa harga diri. Satu kejadian tragis mungkin bisa menggambarkan bagaimana kekalahan ini. Suatu hari rombongan kesenian yang hendak diberangkatkan ke Jawa kehilangan pemain direk-nya yang kepiawaiannya tak tergantikan. Setelah dicari, seniman itu ditemukan tergeletak di bawah jurang, di sampingnya sebotol minuman keras. Dan kemudian api pun berkobar, membakar hutan. Apa yang kini tinggal di antara suku Kenyah itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini