Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Senyum di Sela Gundah

Sri Mulyani akan meninggalkan Indonesia selama empat tahun. Gundah memikirkan putra-putrinya.

10 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEWAT sambungan telepon jarak jauh, pekan lalu, Dewinta Illinia memprotes ibunya. ”Ini tidak fair!” kata Dewinta, yang kini belajar hukum perdagangan di The University of New South Wales, Australia. Ibunya mengabarkan dari Jakarta akan mengemban tugas baru yang mengharuskan pindah ke Washington, DC, Amerika Serikat.

Pada percakapan lintas negara itu, Dewinta, 20 tahun, mengingatkan janji ibunya sekitar empat tahun lalu. Ketika itu ibunya, yang menjabat Menteri Keuangan Republik Indonesia, mengizinkan Dewinta kuliah di luar negeri setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 8, Jakarta, dengan syarat paling jauh sampai Australia, agar mudah bertemu jika sedang kangen.

Sebagai pejabat negara, ibunya juga akan mudah meminta izin Presiden terbang selama tujuh jam ke Australia jika Dewinta sakit dan perlu ditengok. ”Kok, sekarang malah Mama yang pindah jauh?” sang anak bertanya kepada ibunya, Sri Mulyani Indrawati. Mulai 1 Juni 2010, Sri akan menempati satu dari tiga kursi jabatan Direktur Pelaksana Bank Dunia hingga 2014. Selama itu pula dia akan meninggalkan Jakarta dan bermukim di ibu kota Amerika Serikat, markas Bank Dunia.

Dewinta adalah anak sulung pasangan Sri Mulyani-Tonny Sumartono. Dua adiknya adalah Adwin Haryo Indrawan, 17 tahun, baru saja lulus dari SMA Islam Al-Azhar 1, Kebayoran Baru, Jakarta; dan Luqman Indra Pambudi, 13 tahun, kini kelas II Sekolah Menengah Pertama Lab School Jakarta. Ketiga anaknya itulah yang menyebabkan hati Sri gundah akhir-akhir ini.

Adwin sebenarnya sudah diterima di Universitas Gadjah Mada lewat jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan. Jauh-jauh hari, Adwin sudah bilang kepada ibunya betapa hidupnya akan berubah, menjadi mandiri, tinggal di kos-kosan kota pelajar itu. ”Lucu juga, keren katanya. Maklum, sweet seventeen,” ujar Sri sambil tertawa.

Sri senang akan niat putranya. Tapi terus terang saja, ia lebih senang bila sang putra tak begitu jauh darinya. Karena itu, hatinya bersorak ketika nama putranya tercantum di antara mereka yang lulus seleksi masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2010, akhir pekan lalu. Dan hati Adwin bulat sudah, ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

Tapi, kini Sri pun bingung. Sekolah di mana pun Adwin, selama masih di Indonesia, tetap saja akan jauh dari Washington. ”Itu akan jadi pilihan yang dilematis,” katanya. ”Tapi saya, sih, terserah keputusan mereka.”

Sejak dulu Sri dikenal tak bisa jauh dari keluarga. Ia bahkan sering pulang sekadar melihat putra-putrinya, sebelum mengikuti jadwal di luar kantor, seperti mengikuti rapat di Gedung DPR. Cintanya terhadap keluarga sudah tertanam dari orang tuanya, Profesor Satmoko (almarhum) dan Profesor Dr Retno Sriningsih (almarhumah).

Sri anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Dari orang tua yang berlatar belakang akademis itu pula Sri belajar mendidik anak-anaknya dengan tegas. ”Dia sangat berdisiplin, kerangkanya jelas,” kata Wimar Witoelar. ”Dia sangat tidak suka pada orang yang tak mau berupaya menjadi pintar.”

Sofyan Djalil, kolega Sri di Kabinet Indonesia Bersatu I, menceritakan betapa suatu hari Sri mengakui kesulitannya ketika hendak menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Kepada anaknya itu—yang tak lain adalah Dewinta—Sri menitipkan tabungannya selama menjabat Executive Director International Monetary Fund pada 2002-2004.

”Kamu harus hidup dengan ini. Mama enggak punya uang sekarang, beda dengan dulu,” kata Sofyan menirukan cerita Sri. Menurut Sofyan, gaji menteri tak lebih dari Rp 19 juta. Pendek kata, kata Sofyan, Sri tak mau anaknya berfoya-foya di negeri orang, dan sebisa mungkin cepat pulang ke Indonesia.

Mungkin akibat didikan disiplin itu pula, putra bungsunya, Luqman, mulai mengerti arti tanggung jawab. Ketika ibunya mengabarkan rencana pindah ke Amerika Serikat, pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah SMP Lab School Jakarta itu mengajukan persyaratan. ”Boleh pindah, asal menunggu masa kepengurusan OSIS saya berakhir,” kata Luqman. Yakin anaknya tak bermaksud menyindir, Sri hanya tersenyum.

Agoeng Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus