Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Srikandi Penolong Ribuan Wanita

Penggagas koperasi wanita dengan sistem tanggung renteng itu telah menolong ribuan wanita memperbaiki ekonomi keluarga.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN langkah ringan, seorang wanita keluar masuk beberapa kios di Pasar Besar di tengah Kota Malang, Jawa Timur. Hari sudah beranjak siang. Saat itu, empat puluh delapan tahun lalu, para penjual tampak santai karena pembeli sudah berkurang. Semua pedagang mengenal perempuan itu. Nyonya Dokter, begitu mereka menyapanya. Mursia, si wanita itu, memang istri dokter kandungan ternama di Malang, Zaafril Ilyas. Ia masih muda, kaya, terpandang. Namun anak jaksa dari Madura ini tak cepat berpuas diri. Ayunan langkah di Pasar Besar itu menuntunnya jadi penolong banyak orang lewat gerakan koperasi. Ribuan wanita bisa diyakinkan bahwa mereka bukanlah makhluk lemah penghias rumah tangga, melainkan juga pilar ekonomi keluarga. Institusi yang didirikannya, Koperasi Setia Bhakti Wanita, menjelma menjadi satu dari sepuluh koperasi besar di Indonesia. Di tengah gelombang kerakusan manusia untuk memperkaya diri sendiri, Ny. Zaafril terus menularkan sistem tanggung renteng yang sudah diterapkan dengan sukses di koperasinya. Dengan kesehatannya yang masih prima di usianya yang kini 77 tahun—ke mana-mana ia naik angkot—Ibu Zaafril aktif mendatangi berbagai kelompok untuk memberi konsultasi dan membagi ilmunya, mulai dari pengusaha sekelas Teddy Rachmat hingga kumpulan ibu-ibu di Depok. Semuanya gratis. Apa sebenarnya yang dicari lulusan sekolah menengah tinggi di Surabaya ini? Ia awam dalam bidang ekonomi. Satu-satunya ilmu ekonomi yang diketahuinya berasal dari tokoh yang dihormatinya dan pernah dekat dengannya di awal kemerdekaan, Sutan Sjahrir. Kata-kata Sjahrir bagai api yang membakar dirinya: "Koperasi bisa menjadi saluran perjuangan perekonomian, tempat kepentingan orang banyak lebih mengedepan ketimbang kepentingan pribadi." Asas kekeluargaan, yang jadi intisari Pasal 33 UUD 1945, diyakininya dengan kuat. Koperasi adalah sarana menumbuhkan rasa saling memperhatikan, membantu, dan menghargai di antara sesama warga. Tentu kerja pionir yang juga ibu empat anak ini dalam mendirikan koperasi simpan-pinjam bukan suatu hal yang mudah dilakukan. Namun, Nyonya Dokter tak mengenal kata putus asa ataupun malu. Perjalanannya ke Pasar Besar itu bukanlah untuk berbelanja, melainkan menjual "dagangan"-nya kepada para pedagang. Mereka ditawari menjadi anggota. Sebagai gerakan baru, banyak dari mereka yang menampik tawarannya. Ny. Zaafril tak jeri. Pelbagai bujuk rayu dicobanya. Tak jarang ia mengiming-imingi mereka dengan pinjaman uang. "Saya katakan, mau enggak saya pinjami uang, tapi nanti harus bersedia jadi anggota koperasi," ujarnya. Saat itu Ny. Zaafril belum punya gambaran bentuk koperasi yang akan didirikannya. Perempuan kelahiran Pamekasan, Madura, 5 Januari 1925, itu lalu bergerak cepat. Ia berkeliling melihat praktek koperasi di berbagai tempat. Meski digembar-gemborkan sebagai salah satu pilar ekonomi negara, perkembangan koperasi ternyata begitu lamban. Satu kegiatan ekonomi yang menurut pengamatannya mampu bertahan dan berkembang—terutama di kalangan wanita— adalah arisan. Kunci sukses kegiatan yang tampaknya sepele ini lantaran, kalau ada anggota belum membayar, anggota yang lain bersedia menalangi dulu. Cara talangan dan metode berkelompok seperti arisan inilah yang kemudian diadopsinya. Di tahun 1954 itulah ia mendirikan Koperasi Setia Bhakti Wanita. Sistem tanggung renteng yang digunakan di koperasinya sedikit berbeda dengan arisan. Di sini, bila seorang anggota gagal melunasi kewajibannya, semua anggota lain dalam kelompok harus menanggung kewajiban tersebut secara merata. Karena itu, tiap anggota bertanggung jawab dan saling mengingatkan anggota lainnya. Rekomendasi dari anggota lama menentukan apakah seseorang bisa jadi anggota baru atau tidak. Sejak awal Ny. Zaafril memutuskan membidik kalangan wanita untuk menjadi anggota koperasinya. "Soalnya, wanita yang mengatur rumah tangga dan ikut mendukung ekonomi keluarga," begitu alasannya. Lewat koperasi, ia ingin mendidik mereka agar berhati-hati dalam mengatur pengeluaran. Ibarat kata pepatah: jangan sampai besar pasak daripada tiang. Para ibu anggota koperasi diingatkan supaya terlebih dahulu mementingkan kebutuhan dasar, misalnya kebutuhan dapur, sebelum membelanjakan uangnya untuk keperluan lain. Aktivitas Mursia didukung penuh oleh suami dan keempat anaknya. Tinggal di Jalan Tenis, Kelurahan Bareng, yang termasuk daerah elite di tengah Kota Malang, keluarga ini justru menggunakan keluasan rumahnya untuk hidup sosial. Sejak dulu halaman rumah Nyonya Dokter kerap dipakai untuk parkir gerobak para pedagang keliling. Kini, garasi rumahlah yang dipakai untuk menggerakkan Koperasi Setia Bhakti. Sementara semula koperasi ini cuma bergerak di bidang simpan-pinjam, belakangan mereka juga menjual kebutuhan bahan pangan untuk para anggota yang saat itu sulit diperoleh. Hanya berselang empat tahun, Koperasi Setia sudah menghimpun 2.000 anggota. Namun, kisah Ny. Zaafril bukanlah cerita dongeng yang selalu manis. Sembilan tahun setelah didirikan, saat koperasi telah berkembang pesat, gerakan ini "dibubarkan" sendiri oleh anggota dan pengurusnya. Penyebabnya, Ibu Mursia dipenjara di Jakarta selama dua bulan. "Ada yang memfitnah koperasi itu gerakan untuk menggulingkan Presiden Sukarno," ujarnya. Sembilan tahun wanita ini tak menengok usahanya lagi. Ia begitu terpukul. Tapi cita-citanya untuk membantu sesama warga tak pernah pupus dan ia melihat hal itu mudah dicapai lewat koperasi. Maka, di tahun 1972 Ibu Zaafril merintis kembali usaha koperasinya, yang pelan-pelan berkembang lagi. Tahun 1977 sampai 1981 adalah masa gemilang koperasinya. Anggotanya mencapai 5.000 orang. Koperasi yang sudah membesar ini tak bisa lagi diurus secara kekeluargaan. Itulah agaknya kesalahan Ibu Zaafril, yang percaya saja pada para manajernya. Akibatnya, terjadi salah urus dan Koperasi Setia terbelit kredit macet senilai Rp 450 juta—untungnya, ia bisa ditolong dengan bantuan dari Bank Indonesia. Akibat kasus ini, jumlah anggota sempat menyusut. Tapi Koperasi Setia bangkit kembali pada 1987. Kini, dengan dua usahanya, simpan-pinjam dan pertokoan, mereka adalah koperasi yang sehat. Angka kredit macet hanya sekitar lima persen dari total pinjaman. Tak hanya Koperasi Setia Bhakti yang ia bidani. Ibu Zaafril juga ikut mendirikan Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur, yang kini menaungi 43 koperasi dengan aset miliaran rupiah dan anggota 30.000-an orang. Selain itu, pada 1990, ia menghidupkan kembali Induk Koperasi Wanita di tingkat nasional, yang sebelumnya mati suri. Berkat jasanya, koperasi wanita dengan sistem tanggung renteng kini berkembang di mana-mana dan membuat para wanita bisa ikut menopang ekonomi keluarga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus