Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH itu sederhana: dua bangunan tipe 36 dengan dinding yang dipulas warna krem. Di pagar terdapat papan reklame usaha cuci pakaian. Dua mobil dan sebuah sepeda motor tercagak di halaman. Saat Tempo berkunjung ke sana, Rabu malam pekan lalu, pagar besi rumah itu rapat digembok meski jam baru menunjukkan pukul 21.00.
Rumah di kawasan perumahan padat di pinggiran Depok, Jawa Barat, itu menyimpan sosok penting. Di sanalah Raden Muhammad Patma Anwar alias Ucok bermukim. Berkat kesaksian tokoh ini, polisi dan jaksa kini meyakini ada benang merah antara Badan Intelijen Nasional (BIN) dan kematian Munir tiga tahun silam. Mereka juga yakin kesaksian Patma akan membui Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang sebelumnya dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Agung.
Kesaksian Patma sudah dikantongi polisi dua tahun lalu, namun nama dan keterangannya disimpan rapat-rapat sampai awal Agustus lalu. Namanya bocor ke publik saat sidang pemeriksaan permohonan Peninjauan Kembali dari Kejaksaan Agung digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu.
SEPULUH menit menunggu, seorang pria berperawakan kecil diikuti perempuan muda berkulit cerah membukakan pintu untuk Tempo. Mereka membenarkan Patma tinggal di sana. ”Tapi dia sekarang tidak ada,” kata si pria, yang mengaku masih kerabat jauh Patma. Saat ditanya kapan sang empunya rumah akan pulang, mereka angkat bahu.
Kehadiran wartawan di rumah Patma tampaknya telah membuat polisi risau. Lima menit setelah Tempo meninggalkan permukiman itu, seorang anggota satuan tugas intelijen Polri menghubungi redaksi Tempo untuk mengecek identitas jurnalis yang datang malam itu. Polisi tampaknya tak ingin Patma terluka: kesaksiannya amat berharga bagi pengungkapan kasus pembunuhan Munir.
Patma mengaku sebagai agen muda BIN golongan III/C. Ia juga bersaksi pernah ditugasi membunuh Munir sebelum Pemilihan Presiden 2004. Tanpa nyanyian pria kelahiran Jakarta 35 tahun silam ini, polisi akan kesulitan membuktikan keterlibatan BIN dalam kasus ini. Jadi, siapa sebenarnya Patma?
Kepada polisi, Patma mengaku sebagai alumnus Fakultas Sastra Universitas Indonesia angkatan 1994. Selepas kuliah, dia sempat aktif di Partai Rakyat Demokratik (PRD), organisasi politik yang sempat diburu pemerintah Orde Baru. Di sana ia bertanggung jawab untuk urusan propaganda dan penggalian dana di Koordinator Wilayah Kecamatan PRD Tanah Tinggi. Dia juga aktif di Komite Pemenangan Pemilu partai itu pada Pemilu 1999.
Sehari-hari, selain sebagai agen dinas rahasia, Patma mengaku bekerja sebagai fotografer lepas di sejumlah media dan kantor berita terkemuka di Ibu Kota. Nama aliasnya berderet: selain Ucok, dia juga dikenal sebagai Empi atau A’a.
Sebagai agen muda BIN, Patma bertugas membantu atasannya memonitor rencana aksi kelompok kanan dan kiri di seluruh Indonesia. Untuk membuktikan kesahihan pengakuannya sebagai intel, Patma mengaku memiliki kartu anggota BIN, surat perintah tugas, dan dua senjata api. ”Gaji saya Rp 1,5 juta per bulan,” katanya kepada polisi. Sumber Tempo di BIN membenarkan bahwa Patma pernah bertugas sebagai informan di lembaga dinas rahasia itu.
Di luar soal BIN, pengakuan Patma tentang dirinya mengundang pertanyaan, misalnya tak ada satu pun aktivis PRD mengenal nama tokoh ini. Wilson, mantan Ketua Departemen Propaganda pada Pusat Perjuangan Buruh Indonesia, mengaku tak tahu ada aktivis partai itu yang bernama Patma Anwar. Dia juga menggeleng saat disodori satu per satu nama-nama alias Patma.
Padahal, jika benar Patma aktif di PRD, besar kemungkinan Wilson kenal. Wilson yang pernah dibui bersama 13 aktivis PRD lain pascaperistiwa 27 Juli 1996 adalah pendiri partai itu. Namun, sumber Tempo yang lain di PRD membenarkan ada kemungkinan kepengurusan PRD di Tanah Tinggi pada masa itu disusupi aparat keamanan. ”Menjelang Pemilu 1999, ada banyak anggota baru, yang kemudian menghilang,” katanya.
Penelusuran Tempo ke sejumlah media yang disebut-sebut pernah mempekerjakan Patma juga menemui jalan buntu. Pemimpin Redaksi Majalah Aneka, Vivid Argarini, mengaku tidak pernah punya karyawan bernama Patma alias Ucok. ”Banyak orang mengaku-aku pernah bekerja di sini,” katanya. Sejumlah fotografer lepas yang sering berkumpul di warung kopi dekat Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, juga memberi jawaban senada.
Di Fakultas Sastra Universitas Indonesia—sekarang Fakultas Ilmu Budaya—nama Patma juga tidak dikenal. Kepada Tempo, Rahayu Hidayat, Wakil Dekan fakultas itu, menunjukkan daftar 128 nama mahasiswa angkatan 1994 pada program S1 dan D3 Sastra Inggris. Tak ada nama Patma di sana.
Pengakuan Patma soal pertemuan pertamanya dengan Munir juga janggal. ”Saya kenal almarhum Munir sejak 27 Juli 1996, di mana saya sering mengikuti diskusi di kantor Kontras, membahas dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan rezim Orde Baru,” katanya kepada polisi.
Entah lupa atau hanya keseleo lidah, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) baru didirikan pada 1998. Kantor Kontras pun di awal masa berdirinya masih menumpang pada kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Koordinator Kontras Usman Hamid pun geleng-geleng kepala. ”Ada banyak aktivis yang dicurigai sebagai agen intelijen, tidak hanya satu-dua,” katanya. Saking banyaknya, Usman mengaku tidak bisa mengingat mereka satu per satu. Hanya saja, dia membenarkan bahwa Munir pernah membuka kedok seorang agen intelijen yang menyamar menjadi aktivis prodemokrasi beberapa tahun lalu. ”Tapi bisa saja itu bukan Patma,” katanya lagi.
Di lingkungan rumahnya sendiri pun tak banyak yang tahu siapa Patma sebenarnya. Padahal, sudah lebih dari lima tahun pria dengan tiga anak itu hidup di sana. ”Mereka jarang bergaul dengan tetangga,” kata seorang pria yang tinggal di depan rumah Patma. Juga, ”Tak ada yang tahu di mana dia bekerja,”.
Ibu dan adik iparnya yang ditemui Tempo, Kamis pekan lalu, juga menggeleng saat ditanya di mana Patma bekerja. ”Sebagai ibu, saya hanya mendoakan dia aman dan tidak ada masalah,” katanya.
Adik ipar Patma, yang menolak disebut namanya, berkisah panjang soal perangai kakaknya yang misterius. ”Dia memang pendiam, bahkan pada keluarga sendiri.” Ia sering meninggalkan rumah berpekan-pekan tanpa kabar. ”Kadang sebulan baru pulang.”
Kamis pekan lalu, untuk pertama kalinya Patma muncul di depan publik. Dia dijadwalkan bersaksi pada sidang pemeriksaan Peninjauan Kembali putusan MA dalam kasus Pollycarpus di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Badannya kecil kerempeng. Wajahnya tenang. Hari itu ia mengenakan safari warna gelap dengan rambut lurus yang disisir rapi. Ke mana pun dia pergi, tujuh polisi berpakaian preman mengikutinya dengan senapan M-16 terhunus.
Saat Tempo menyapanya dan menanyakan kebenaran kesaksiannya kepada polisi, Patma menoleh dan tersenyum kecil. Ia tak mau bicara. Sebentar kemudian, ia berlalu bersama para pengawal.
Wahyu Dhyatmika, Budi Setyarso dan TNR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo