Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anda, apakah Pilkada DKI Jakarta telah berlangsung cukup jujur dan adil? (8-15 Agustus 2007) | ||
Ya | ||
32,04% | 132 | |
Tidak | ||
55,83% | 230 | |
Tidak tahu | ||
12,14% | 50 | |
Total | 100% | 412 |
Pasangan Fauzi Bowo-Prijanto pada Kamis pekan lalu resmi dinyatakan sebagai pemenang pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Pasangan Fauzi-Prijanto meraih 2,11 juta suara. Sedangkan pesaingnya, Adang Daradjatun-Dani Anwar, 1,54 juta suara. Namun pemilih yang tidak menggunakan haknya ternyata juga cukup besar, yakni 1,99 juta suara.
Meskipun menang, suara yang diperoleh Fauzi-Prijanto ternyata hanya terpaut 122 ribu dibanding pemilih yang tidak menggunakan haknya. Apa boleh buat, itu di luar kuasa panitia pemilu. Tapi, masalahnya, banyak warga kehilangan hak pilih justru karena kesalahan panitia, sengaja ataupun tidak. ”Banyak yang tidak terdaftar, padahal memiliki KTP,” ujar ketua panitia pengawas pemilihan kepala daerah DKI, Jamaluddin Faisal Hasyim.
Memang, panitia akhirnya membolehkan sejumlah warga—yang tak masuk daftar—untuk mencoblos, asal mereka bisa menunjukkan KTP Jakarta. Tapi jumlah mereka kecil. ”Sekitar delapan persen,” ujar Agus Susilo, anggota Sekretariat Jaringan Pendidikan Pemilihan untuk Rakyat (JPPR), Provinsi DKI Jakarta.
Namun, sementara ada pemilih tak terdaftar boleh mencoblos, banyak pemilih terdaftar justru ditolak di beberapa tempat pemungutan. Ini membuat Agus heran. Mereka yang hak pilihnya ditolak itu antara lain 140 sukarelawan JPPR yang terpaksa pindah TPS karena sedang bertugas. ”Mereka ditolak karena tak membawa surat keterangan pindah mencoblos,” ujar Agus.
Kekacauan menyangkut daftar pemilih ini membuat banyak pihak mempertanyakan kemurnian pilkada, termasuk bagian terbesar responden Tempo Interaktif dalam jajak pendapat sepanjang pekan lalu. Mereka percaya kekacauan itu adalah sebuah kecurangan yang disengaja. ”Ada bau permainan kotor di sana,” ujar Mustary Kusumah, responden di Jakarta.
Indikator Pekan Depan: Politikus partai mulai pasang barikade menyusul keputusan Komisi Yudisial membuka peluang bagi calon independen untuk ikut pencalonan kepala daerah. Anggota Badan Legislasi DPR, misalnya. Mewakili lembaga ini, mereka mengusulkan perseorangan yang ingin maju sebagai calon kepala daerah harus mendapat dukungan minimal 10 persen pemilih di separuh kabupaten/kota atau kecamatan. Usul ini mendapat dukungan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). ”PPP ingin antara 10 dan 15 persen, tidak boleh kurang dari itu,” ujar Suryadharma Ali, Ketua PPP. ”Ini adil bagi setiap orang dan partai politik.” Jika sampai lolos, itu jelas bukan syarat yang gampang bagi calon independen. Itu sebabnya, meski Ketua DPR Agung Laksono mengatakan bahwa usul tersebut masih bisa berubah, banyak yang mulai khawatir bahwa calon perseorangan akhirnya tak akan pernah tampil dalam pemilihan. Salah satunya Hadar Navis Gumay, Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform. ”Sebenarnya partai politik rela nggak, sih?” ujarnya. Dia menganggap partai sengaja membuat aturan yang berat untuk menjegal calon perseorangan. Setujukah Anda, syarat calon independen minimal didukung 10 persen pemilih? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo