Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelopor Soneta-soneta Nasionalis
Muhammad Yamin adalah perintis puisi Indonesia modern. Dalam perkembangan sastra, dialah penyair yang mempopulerkan bentuk soneta.
Pada batasan, Bukit Barisan
Memandang aku, ke bawah memandang
Tampaklah hutan, rimba, dan ngarai
Lagipun sawah, sungai yang permai
Serta gerangan, lihatlah pula
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk, daun kelapa
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya, tumpah darahku.
Inilah bait pertama dari tiga bait puisi legendaris karya Muhammad Yamin berjudul "Tanah Air". Puisi yang ia tulis ketika berusia 17 tahun ini menyuarakan gagasannya tentang konsep tanah air dan tumpah darah yang dibayangkannya. "Muatan pesan puisi itu menekankan semangat cinta tanah air. Namun tanah air dalam puisi tersebut masih merujuk ke Sumatera, bukan Indonesia," kata Rachmat Djoko Pradopo, guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
"Tanah Air" menjadi tonggak perjalanan Yamin sebagai sastrawan. Dan, ketika muncul di Jong Sumatra, majalah berbahasa Belanda yang diterbitkan organisasi pemuda Sumatera, Jong Sumatranen Bond, Nomor IV Tahun III, 1920, puisi itu menyentak jagat sastra di Tanah Air. Yamin memperkenalkan bentuk puisi baru yang tidak mengikuti pakem lama yang berjumlah enam atau delapan baris. "Puisi 'Tanah Air' terdiri atas tiga bait. Satu bait bisa sembilan baris atau jumlahnya ganjil, bukan genap. Bunyi rima barisnya juga aa-bb-cc-dd dan bukan ab-ab," Rachmat menjelaskan.
Bentuk puisi baru yang disuguhkan Yamin dikenal dengan soneta. Ini merupakan sajak yang lahir di Italia pada sekitar abad ke-12 dan berkembang di Eropa hingga sekarang. Penyair Sapardi Djoko Damono mengatakan Yamin adalah pelopor yang mengimpor soneta dan kemudian mempopulerkannya di jagat sastra Indonesia. Saat itu, para penyair di Tanah Air, baik penyair Melayu maupun Melayu Tionghoa, belum ada yang secara serius memilih bentuk soneta dalam sajak-sajaknya. "Yaminlah orang pertama yang paling setia dengan bentuk soneta dalam karya-karya puisinya," kata Sapardi.
Pilihan Yamin terhadap bentuk soneta juga cukup nyeleneh. Saat itu, banyak penyair di Tanah Air yang terpukau oleh gaya puisi prosa Rabindranath Tagore, sastrawan asal India. Tapi Yamin memilih bentuk soneta asal Italia. "Dan dia berhasil dengan pilihannya tersebut," ujarnya.
Sapardi menuturkan soneta memaksa penulisnya bisa mengendalikan perasaan. Sebab, penulis harus mengikuti aturan ketat dan bentuk yang rumit dari soneta. Misalnya aturan rima dan jumlah baris dalam setiap baitnya. Dia menulis puisi dengan sangat rapi. "Itu jelas tidak mudah, dan Yamin memilih bentuk tersebut."
Karena itu, menurut Sapardi, sumbangan Yamin yang sangat penting dalam dunia sastra Indonesia adalah bentuk soneta yang digunakan dalam sajak-sajaknya. Soneta-soneta Yamin dimuat di Jong Sumatra pada 1920-an. Selain membuat puisi "Tanah Air", Yamin menulis soneta seperti puisi "Permintaan", "Cita-cita", dan "Niat"."Tanah Air" sendiri kemudian diterbitkan dalam buku puisi berjudul sama pada 9 Desember 1922. Buku ini terdiri atas 30 bait dan tiap bait terdiri atas 9 baris. Penerbitan buku ini dipersembahkan Yamin untuk menyambut peringatan lima tahun berdirinya Jong Sumatranen Bond.
Pada 26 Oktober 1928, dua hari menjelang Kongres Pemuda, yang melahirkan Sumpah Pemuda, Yamin menerbitkan buku puisinya yang kedua: Indonesia, Tumpah Darahku. Buku itu terdiri atas 88 bait dan tiap bait terdiri atas 7 baris. Yang menarik, puisi-puisi Yamin dalam buku yang kedua terjadi perubahan pesan tema nasionalisme yang disampaikannya. Di dalamnya, tanah air dan tanah tumpah darah Yamin tidak lagi sebatas Sumatera atau Pulau Perca, tapi berubah menjadi Indonesia.
Karya-karya soneta Yamin pun kemudian kian populer dan diikuti para penyair Pujangga Baru, yang muncul bersamaan dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada Juli 1933, yang dipelopori Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Amir Hamzah. Bisa dikatakan Yamin adalah salah satu pelopor puisi Indonesia modern. Sebab, jauh sebelum majalah Pujangga Baru terbit, dia telah menulis puisi dengan pakem modern. Bila dipetakan dalam jagat sastra Indonesia, Yamin berada di antara sastrawan Balai Pustaka dan Pujangga Baru. "Kalau boleh disebut, Yamin merupakan sastrawan pra-Pujangga Baru bersama Rustam Effendi dan Sanusi Pane," ujar Sapardi. "Makanya, dalam Polemik Kebudayaan di era Pujangga Baru, nama Yamin juga jarang disebut-sebut."
Kesamaan Yamin dengan para penyair Pujangga Baru, tutur Sapardi, kecenderungan ke arah romantisisme Eropa. Romantisisme itu mengagungkan alam. Jadi alam merupakan tumpuan dan pemikiran mereka. Alam sebagai satu kesatuan semesta yang utuh. Di dalamnya ada pohon, hewan, manusia, dan kekuatan adikodrati. "Alam menjadi tumpuan dan alat berbicara dalam karya-karya mereka," katanya.
Kecintaan Yamin pada dunia sastra bertunas sejak dia masih sangat belia. Lingkungan Nagari Talawi, Sawahlunto, Minangkabau, tempat kelahiran Yamin, ikut berpengaruh. Menurut sejarawan Taufik Abdullah, Yamin kecil tumbuh dalam lingkungan tradisi pantun dan syair. Dalam masyarakat Minangkabau dan Melayu umumnya, pantun dan syair menjadi tradisi yang telah mengakar, dibacakan dalam upacara-upacara adat, untuk mengungkapkan pikiran, dan kisah masa lampau. "Yamin juga tumbuh dalam tradisi bercerita tambo atau hikayat," ucap Taufik.
Sutrisno Kutoyo dalam buku biografi Prof. H. Muhammad Yamin S.H. menyebutkan, sejak kecil, Yamin sangat suka membaca. Terlebih buku yang ditulis dengan gaya bahasa nan indah. Dia tidak mau melepaskan buku itu sebelum tamat dibaca. Saat malam hari, dia kerap membaca buku di bawah lampu penerangan di pinggir jalan, karena lampu di rumah yang ditumpanginya tidak selalu cukup terang.
Dan kecintaan Yamin terhadap sastra kian menemukan jalannya ketika ia memasuki Algemene Middelbare School (AMS) di Surakarta pada 1926. Dia memilih Jurusan Oostersch Letterkundige Afdeling—kira-kira sama dengan sekolah menengah atas jurusan budaya. Selama menjadi siswa AMS, Yamin sangat tertarik pada mata pelajaran sastra, bahasa, dan budaya. Saat itulah dia belajar sastra Romantik, yang tengah berkembang di Eropa, dari guru-guru Belandanya. "Boleh dibilang inilah yang kemudian banyak berpengaruh pada karya puisi Yamin," ujar Sapardi.
Sejak hijrah ke Jawa, Yamin menjadi penulis yang produktif. Di samping menulis puisi, dia menulis naskah drama Ken Arok dan Ken Dedes. Ide cerita drama itu diambil dari sejarah Kerajaan Singasari pada 1222-1292, yang menggambarkan cita-cita menyatukan Kerajaan Singasari dengan Kediri setelah dibagi dua oleh Airlangga. Ken Arok dan Ken Dedes pertama kali dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta pada 1930. Drama itu kemudian sangat populer. Hingga 1950, Ken Arok dan Ken Dedes sudah dipentaskan sebanyak 50 kali. Dan naskah karya Yamin itu telah dijadikan induk dalam setiap pementasan drama tersebut.
Yamin juga aktif menerjemahkan karya penulis asing. Dia menerjemahkan karya klasik William Shakespeare, Julius Caesar. Lalu Yamin menerjemahkan dua prosa karya Rabindranath Tagore, Di Dalam dan di Luar Rumah Tangga serta Menantikan Surat dari Raja. Yang pasti, menurut Sapardi, meski menerjemahkan karya Tagore, Yamin tidak terpengaruh atau mengikuti gaya penulisan puisi sastrawan India tersebut. "Yamin seratus persen sangat terpengaruh gaya soneta dari Barat," katanya.
Sayangnya, periode Yamin dalam dunia sastra relatif singkat. Sejak masuk menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda) pada 1939, dia tak lagi banyak menulis karya sastra, terutama puisi. Waktunya kemudian lebih banyak dicurahkan di dunia politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo