Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah pada salah satu celengan teÂrakota yang mejeng di Museum Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, itu berpipi gembil dan bermata sipit. Alis kanan dan kirinya tersambung, melengkung dramatis seperti ombak. Sedangkan bagian bibirnya seolah-olah tersenyum samar, melebarkan dagu yang tebal.
Itulah celengan yang berapa puluh tahun lalu dilihat Muhammad Yamin dan kemudian ditahbiskannya sebagai paras Gajah Mada. Wajah itu, menurut penyair Sapardi Djoko Damono, mirip dengan raut muka Yamin sendiri. Tapi Sapardi merasa wajah Gajah Mada sejatinya tak setembem sosok pria di terakota. Pun arkeolog Universitas Indonesia yang meneliti soal Gajah Mada, Agus Aris Munandar, punya tafsiran berbeda dengan Yamin ihwal wajah pencetus Sumpah Palapa tersebut.
Wajah Gajah Mada yang disodorkan Yamin menjadi "ketetapan umum" setelah ia menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada 1953. Saat itulah tafsir Yamin soal wajah Gajah Mada masuk kurikulum pendidikan dan menyusup ke buku-buku sejarah. "Karena Yamin sudah memberi instruksi, ketetapan soal wajah Gajah Mada secara legal kuat sekali. Jadi, walaupun ia salah, apa yang diucapkannya mempengaruhi opini masyarakat," ujar arkeolog Hasan Djafar.
Sapardi menjelaskan, Yamin yang asal tanah Minang memang tergila-gila pada Jawa, khususnya pada Majapahit dan Gajah Mada. Keterpesonaan Yamin pada kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Indonesia itu berawal sejak ia bersekolah di Algemene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Ketika itu, ia banyak membaca buku sejarah serta kitab sastra kuno Pararaton dan Nagarakretagama saduran profesor asal Belanda, H. Kern. "Sejak Yamin pindah ke Jawa, pikiran soal Sumateranya sudah 'hilang'. Dia pun diam-diam 'menjadi Jawa'," katanya.
Setelah "tenggelam" dalam segepok literatur soal Majapahit, Yamin makin jatuh hati pada karakter Gajah Mada. Ia pun kian getol menambang informasi soal Gajah Mada baik dari prasasti maupun datang langsung ke Trowulan. Semangat nasionalisme Yamin ini dinilai Agus sejalan dengan kondisi Indonesia yang ketika itu tengah butuh sejarah untuk modal pergerakan nasional. "Bagi Yamin, sahih atau tidaknya sejarah yang dia dapat itu urusan belakangan. Yang penting sejarah tersebut bisa dipakai untuk acuan pergerakan nasional. Cara itulah yang belakangan diikuti Presiden RI pertama, Sukarno," ucapnya.
Interpretasi Yamin terhadap wajah Gajah Mada bermula dari ketidaksengajaan. Pada awal 1940-an, dia menyambangi situs Majapahit di Trowulan. Namun ia datang bukan untuk mencari wajah Gajah Mada, melainkan karena penasaran terhadap tempat berdirinya kerajaan yang dikaguminya itu.
Ketika menjelajahi Trowulan itulah Yamin menemukan pecahan-pecahan celengan. Salah satunya berupa wajah pria berambut ikal dan berpipi tembem. Di mata Yamin, yang paham fisiologi atau ilmu membaca karakter seseorang dari air muka, guratan wajah pada terakota tersebut merepresentasikan Gajah Mada, yakni sosok yang tabah, berkemauan keras, dan gagah berani. "Yamin menganggap Gajah Mada cocok berwajah seperti itu," ujar Agus.
Sepulang dari Trowulan, Yamin meminta seniman Henk Ngantung melukis wajah Gajah Mada berdasarkan wajah pria di celengan. Lukisan itu lalu dipampangkan Yamin sebagai sampul bukunya, yang berjudul Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara, yang diterbitkan Balai Pustaka pertama kali pada 1945. Jika ada yang tak sepakat dengan tafsirnya, Yamin meminta mereka balik membuktikan bahwa wajah pada terakota bukan rupa si Gajah Mada.
Menurut Hasan, tafsir Yamin tidak tepat karena mustahil wajah tokoh sebesar Gajah Mada dipampangkan di celengan. Yang memungkinkan adalah Gajah Mada dibuatkan arca, tapi hingga kini tidak teridentifikasi. "Yamin memang suka membuat pernyataan dulu, buktinya belakangan. Tafsir wajah Gajah Mada-nya pun bukan berdasarkan bukti arkeologis dan malah seperti penghinaan. Masak, wajah 'orang besar' dibikin celengan."
Adapun Agus Aris Munandar, penulis buku Gajah Mada: Biografi Politik, menganggap patung Bima dan Brajanata lebih mewakili sosok Gajah Mada. Brajanata adalah tokoh cerita rakyat zaman Majapahit. Ia digambarkan sebagai sosok kakak pelindung Raden Panji, yang diduga sebagai personifikasi Hayam Wuruk, Raja Majapahit yang tersohor.
Di Museum Nasional Jakarta, arca Brajanata bernomor inventaris 310d, yang diambil dari Gunung Penanggungan. Arca tersebut berwujud pria berbadan tegap, berkumis melintang, serta mempunyai rambut ikal berombak dan diikat pita dengan lingga atau alat kelamin pria yang menonjol hingga menyingkap kain penutupnya.
Agus berpendapat tampang Gajah Mada lebih mirip Bima yang diarcakan itu. Menurut dia, menjelang keruntuhan Majapahit pada abad ke-15, di Trowulan banyak dibuat arca Bima. Para arkeolog sering menemukan arca Bima tersebar di situs Trowulan, baik di lingkungan bangunan candi maupun lereng gunung yang jauh dari keramaian. Dugaan Agus, sosok Bima yang berperawakan tinggi-besar dan berkekuatan luar biasa menyimbolkan Gajah Mada. "Berdasarkan namanya saja, Gajah Mada, sudah terbayangkan orang yang memiliki nama itu berperawakan tinggi-besar dan bertenaga besar sebagaimana hewan gajah," katanya.
Wajah arca Bima sendiri mirip wajah Brajanata, kecuali bentuk rambutnya. Sementara rambut Brajanata dibentuk dengan pita, rambut Bima berbentuk supit urang yang melengkung. Kemiripan dua patung tersebut—termasuk lingganya yang sama-sama menonjol—dianggap Agus disengaja citralekha atau pemahat prasasti pada masa itu.
Kendati demikian, Agus menilai tafsir Yamin terhadap wajah Gajah Mada tak perlu berlebihan dipertentangkan. Apalagi sampai menuduh Yamin sengaja memilih wajah pada terakota yang mirip wajahnya sebagai personifikasi Gajah Mada. "Saya sendiri menilai wajah keduanya berbeda. Jidat Pak Yamin lebih lebar dibanding milik pria di celengan. Mata Pak Yamin juga lebih belo," ujarnya.
Agus meyakini pada dasarnya Yamin adalah pengabdi republik yang terkagum-kagum pada Majapahit dan Gajah Mada karena cita-cita persatuan nusantaranya. "Kalau argumentasi saya, Pak Yamin hanya berusaha berbuat sesuatu untuk Indonesia, yang saat itu dalam kondisi darurat butuh figur panutan," kata Agus. "Dan Pak Yamin menganggap, kalaupun ia salah, ilmu kan bisa diperbaiki pada masa Âberikutnya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo