Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arkeolog Universitas Indonesia, Hasan Djafar, 73 tahun, membuka buku jilid II Tatanegara Majapahit Sapta Parwa karya Muhammad Yamin di pangkuannya. Tebalnya 353 halaman. Seluruh kertasnya menguning dimakan usia. Hampir setiap lembar buku itu penuh coretan dan catatan yang ditulis Hasan. Ada coretan yang menggunakan pensil, ada juga yang dengan bolpoin merah.
Telunjuk Hasan terarah pada satu rangkaian angka di halaman 135. Di halaman itu terdapat terjemahan tulisan atau naskah kuno "Sendang-Sedati" 1463 Masehi yang diterjemahkan dari bahasa Jawa kuno oleh epigraf (ahli naskah kuno) Belanda, D.K. Bosch. "Ini seharusnya tahun saka 1395, bukan 1385," kata Hasan meralat apa yang ditulis Yamin. "Tampaknya Yamin menggunakan bacaan yang salah. Ia tidak mengikuti perkembangan terbaru," ucap ahli epigrafi yang menguasai bahasa Jawa kuno itu.
Di halaman lain, masih banyak catatan ralat Hasan atas buku Yamin. Hasan memang jeli meneliti buku Sapta Parwa karena skripsinya saat kuliah di Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1970-an berkaitan dengan Majapahit. Buku Yamin batal jadi acuan karena Hasan menilai datanya kurang akurat. "Hampir seperempat isi buku-buku itu keliru," ujarnya.
Sapta Parwa yang dibicarakan Hasan adalah buku bikinan Yamin yang diterbitkan pada 1962. Buku ini terdiri atas tujuh jilid, karena itu disebut Sapta Parwa. Dalam bahasa Jawa kuno, sapta berarti tujuh, sementara parwa berarti bagian.
Melalui tujuh jilid buku itu, Yamin bermaksud memberi gambaran bagaimana negara Majapahit dijalankan (ia tak menggunakan kata "kerajaan" untuk menjelaskan Majapahit). Ia memaparkan hukum yang berlaku dan susunan pemerintahan dari kepala negara, menteri, pengadilan daerah, hingga pemerintah daerah. Yamin juga membahas hubungan antara istana dan masyarakat desa.
Sebenarnya semua jilid buku Sapta Parwa sudah selesai dibuat, tapi yang diterbitkan hanya empat jilid. Buku yang paling tebal adalah jilid IV (sampai 353 halaman) dan yang paling tipis adalah jilid pertama (263 halaman).
Sudah sejak mahasiswa Yamin membulatkan nazar membuat buku tentang macam-macam praktek tata negara yang pernah berlangsung di wilayah Nusantara. Sudah lama pula ia menyimpan hasrat menulis sejarah Nusantara dalam bahasa Indonesia. Memang, pada masa itu, belum ada buku sejarah yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
Awalnya ia berencana membuat buku tentang sejarah dan hukum adat Minangkabau. Namun situasi Republik yang pada saat itu belum merdeka tak memungkinkan Yamin berkonsentrasi menuntaskan rencananya. Malah naskah yang sebagian besar sudah selesai dikerjakan hilang saat pendudukan Jepang. Walhasil, rencana menulis buku sejarah Minangkabau tak terwujud.
Kesempatan menulis panjang ada lagi setelah gejolak revolusi kemerdekaan di Indonesia reda. Pada 1954, saat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Yamin memulai proses tulis-menulis. Ia merasa yakin menulis kembali karena sudah memegang banyak bahan bacaan. "Terutama setelah waktu agak luang dan perkunjungan kepada perpustakaan sedunia telah berlaku," kata Yamin dalam kata pengantar Sapta Parwa.
Sebagai bahan analisis, Yamin menggunakan sumber sekunder, terutama buku-buku terjemahan tulisan prasasti yang dibuat arkeolog yang meneliti prasasti secara langsung. Merekalah para ahli pembaca prasasti yang menguasai bahasa Sanskerta, Jawa Tengahan, dan Jawa kuno. Hampir semua terjemahan itu ditulis dalam bahasa Belanda dan Inggris, lalu Yamin menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. "Yamin tak pernah ke lapangan mengamati prasasti. Dia tak bisa baca prasasti. Yamin bukan penerjemah prasasti sebagaimana para arkeolog," ujar Hasan.
Terbitan yang banyak digunakan Yamin sebagai sumber terjemahan penulisan antara lain buku seri Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen, yang biasa disingkat VBG oleh para arkeolog. Khusus untuk bahan-bahan prasasti, ia mengandalkan dua buku. Pertama buku yang disusun J.L.A. Brandes pada 1913, yakni Oud-Javaansche Oorkonden (VBG van Kon W.). Kedua adalah buku J.G. de Casparis, Inscropties uit de Cailendra-tijd (Prasasti Indonesia I, 1950, dan Prasasti Indonesia II, 1956).
Masih banyak buku yang menjadi acuan dan sumber data Yamin. Setidaknya ada 50 tulisan yang dia gunakan, baik yang berasal dari prasasti, loyang, maupun piagam perunggu. Yang paling tua adalah tulisan Gunung Butak (1294 M) dan paling baru adalah Batur Padjaran (1541 M). Ada selang waktu sekitar 250 tahun antara tulisan tertua dan terbaru yang digunakan Yamin.
Hasan mengatakan arkeolog Belanda, J.G. de Casparis, yang memberi referensi buku kepada Yamin. Casparis arkeolog termasyhur sekaligus filolog (ahli bahasa) yang bekerja di Dinas Purbakala pada saat Yamin menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan. Hasan tahu persis soal ini karena ia akrab dengan Casparis. Sebagai mahasiswa arkeologi UI, ia sering main ke Dinas Purbakala. "Pak Casparis yang bercerita bahwa Pak Yamin selalu bertanya kepadanya, 'Ada buku apa lagi soal Majapahit?' Casparis segera memberikan buku-buku itu kepada Yamin," kata Hasan.
Setelah Sapta Parwa diterbitkan, Hasan mengatakan isi buku ini jadi buah bibir di kalangan arkeolog pada saat itu. Banyak yang mempermasalahkan akurasi terjemahannya. Namun tak ada satu pun di antara mereka yang berani menyampaikan langsung kekeliruan yang ditemukan kepada Yamin, termasuk Casparis. "Saat itu kan Pak Yamin menteri, sementara Pak Casparis bawahannya. Pasti ada rasa sungkan," ucap Hasan.
Menurut Hasan, ada dua hal yang menyebabkan kurang akuratnya isi buku Sapta Parwa. Pertama, Yamin menggunakan referensi usang. "Barangkali dia belum tahu kalau sudah ada terbitan yang lebih baru." Kedua, kata Hasan, Yamin tak bisa membaca tulisan Jawa kuno ataupun Sanskerta sehingga terjemahannya acap keluar dari konteks. Arkeolog dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, berpendapat serupa. Menurut dia, penguasaan bahasa adalah hal yang amat penting dalam penelitian sejarah Majapahit. Setidak-tidaknya peneliti mesti menguasai bahasa Jawa Tengah, Jawa kuno, dan Sanskerta. Buku Sapta Parwa, menurut Dwi, mencerminkan Yamin yang tidak menguasai ketiga bahasa itu. "Ia memang mampu menggambarkan tata negara Majapahit, tapi tidak sampai ke rohnya. Tidak menukik sampai ke tingkat filosofis," ujar Dwi.
Kendati ada rasa sungkan di kalangan arkeolog, Hasan menduga gaung kritik itu terdengar juga oleh Yamin. Itulah sebabnya, Sapta Parwa jilid V, VI, dan VII batal diterbitkan. Padahal semua jilid sebenarnya sudah rampung dikerjakan Yamin. "Jilid V, VI, dan VII tak sempat direvisi sampai akhirnya ia wafat," kata Hasan.
Walau Yamin menuai banyak kritik, baik Hasan maupun Dwi mengakui perannya dalam penulisan sejarah Majapahit. Sapta Parwa adalah kontribusi berharga bagi sejarah Nusantara. Pada zamannya, kata Dwi, belum ada referensi tentang Majapahit yang ditulis dalam bahasa Indonesia. "Kalaupun ada, sifatnya umum. Buku yang ini sangat mendalam," ucapnya.
Bagi Dwi, Yamin berjasa karena membuka jalan kepada sejarawan dan arkeolog lain untuk menulis sejarah dalam bahasa Indonesia. Lagi pula, kata dia, untuk ukuran sejarawan otodidak, karya Yamin bisa dibilang prestisius. Latar belakang pendidikan Yamin tak ada sangkut pautnya dengan sejarah dan arkeologi. "Sebagai sejarawan otodidak, Pak Yamin luar biasa," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo