Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tersebutlah nama Seberang Ulu, sebuah kawasan pesisir Sungai Musi di Palembang. Kawasan ini adalah perkampungan Islam. Di sepanjang jalan ini, mulai dari Seberang Ulu 10, 11, 13, dan 14, berderet bangunan peribadatan dan lembaga Islam, berupa masjid, langgar, kelompok pengajian, atau pondok pesantren.
Di sebuah rumah panggung khas Palembang yang sudah termakan usia di Jalan Kiai Haji Azhari yang berada di kawasan tersebut, berkantor Yayasan Pendidikan Islam Azharyah (YPIA), yang memiliki sekitar seribu murid dari jenjang taman kanak-kanak hingga sekolah menengah.
Pada akhir Desember tahun lalu, seorang anggota tim pemeriksa Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mendatangi sekolah ini. Ali Irfan, sang pemeriksa, membuat terkejut K.H. Rojali Aguscik, Ketua Pengurus YPIA. Lembaga pemeriksa ini meminta bukti sumbangan Rp 25 juta yang dikirim Dana Abadi Umat ke yayasan tersebut. ”Kami tak pernah terima sumbangan itu,” kata Rojali sambil tampak terkejut.
Diakui Rojali, yayasannya pernah membuat proposal ke Departemen Agama di Jakarta. Isinya, mohon bantuan dana untuk pembangunan ruang sekolah. ”Kami ajukan proposal itu ke bendaharawan DAU, Mei tahun lalu,” kata Rojali kepada Tempo. Ketika utusan mereka mencari jawaban proposal itu ke Jakarta, didapat jawaban proposal disetujui dan uang sudah dikirim melalui rekening di BNI 46 Cabang 7 Ulu Palembang. ”Ini yang membuat kami heran. Masalahnya, di 7 Ulu, tak ado Bank BNI,” katanya. Apalagi yayasan itu juga tak punya rekening di bank tersebut.
Dari fotokopi slip setoran yang ditunjukkan kepada Tempo, tertera keterangan bahwa Departemen Agama sudah mentransfer ke rekening yayasan bernomor 130. 000028846.001 sebesar Rp 24.994.500. Namun, pada slip setoran tadi juga ada keterangan, karena tidak terdapat nomor rekening tersebut, setoran ini dikembalikan ke Departemen Agama.
Berselang bulan, awal Oktober tahun lalu, tiba-tiba datang surat penolakan dari Departemen Agama. Surat itu menjelaskan perihal keterbatasan finansial Departemen Agama, karena itu bantuan yang diminta YPIA tidak bisa diberikan. ”Jadi, sampai saat ini kami belum pernah menerima bantuan dari Departemen Agama,” ujar Rojali. Padahal, dalam bukti catatan pengeluaran DAU yang dibawa Ali Irfan tertulis, duit itu sudah diberikan.
Selain Rojali, takmir atau badan pelaksana Masjid Agung Palembang atau Masjid Raya juga dibikin terperangah. Sebagai petugas BPK, Ali meminta agar dapat memeriksa bukti pemakaian duit DAU Rp 150 juta. Namun yang didapat jawaban yang berbeda dengan data yang ada di tangannya. ”Kami memang menerima sumbangan langsung dari Pak Menteri, tapi jumlahnya Rp 50 juta. Semua wong Palembang tahu itu,” kata Jalaludin, Ketua Badan Pelaksana Masjid Raya. Sumbangan itu, tutur Jalaludin, diberikan ketika Menteri Agama Said Agil Husin al-Munawar diundang dalam acara peletakan batu pertama pembangunan Ma’had Ali, September tahun lalu.
Sumbangan itu kini sudah habis terpakai untuk pembebasan lahan dan pembuatan fondasi. ”Kami senang sekali dibantu. Malah laporannya sudah kami kirim ke Menteri Agama yang baru,” ujar mantan Kepala Humas Kota Madya Palembang ini.
Bukti pengeluaran DAU juga tercatat diberikan ke Langgar Al-Falah milik Yayasan Pendidikan dan Wira Usaha Ibnu Sina di Seberang Ulu. Menurut keterangan dari tim pemberantasan tindak pidana korupsi yang didapat Tempo, sumbangan senilai Rp 20 juta itu fiktif. Tempo, yang menelusuri jalanan padat di kawasan Seberang Ulu, pun tak menemukan langgar di sana.
Kisah lain terjadi di Semarang. Tersebutlah sebuah kantor penerbit bernama Asy Syifa milik Achmad Toha Putra, salah satu penerbit Al-Quran yang diakui pemerintah. Sejak 1970, bersama ayahnya, Achmad sering mondar-mandir Semarang-Jakarta mengurus izin penerbitan Al-Quran di Lajnah Penerbitan Mushaf Al-Quran, sebuah badan di lingkungan Departemen Agama yang memberikan kewenangan penerbit untuk menerbitkan Al-Quran. Alhasil, dirinya dan Asy Syifa sudah tidak asing lagi di lembaga tersebut.
Alkisah, pada awal 2001 melalui tender tertutup yang diminati tiga peserta lainnya—penerbit Toha Putra (Semarang), Menara Kudus (Kudus), serta Penerbit Diponegoro (Bandung), Asy Syifa dinyatakan berhasil menyisihkan ketiga pesaingnya itu. Dengan nilai proyek Rp 5 miliar, penerbit Asy Shifa disepakati menerbitkan 100 ribu eksemplar Al-Quran dengan ukuran standar, serta 100 ribu eksemplar ukuran khusus (lebih kecil).
Dalam perjanjiannya, seluruh biaya akan dibayar setelah semua mushaf dikirim ke Departemen Agama. Achmad kaget ketika Tempo menginformasikan bahwa sesuai dengan temuan BPKP, Departemen Agama telah melakukan pembayaran proyek tersebut senilai Rp 654 juta di atas jumlah yang disebutkan Achmad. ”Setahu saya, proyek itu senilai Rp 5 miliar, karena uang itu pula yang saya terima. Saya tidak tahu kalau terjadi mark up,” ujarnya.
Arif Kuswardono, Arif Ardiansyah (Palembang), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo