Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

"Saya Tak Setuju Dana Abadi Dihapuskan"

27 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah "dana taktis" menjadi kosakata terpopuler semenjak terkuaknya kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum beberapa waktu lalu, kini agaknya "Dana Abadi Umat" (DAU) yang terkait dengan kasus dugaan korupsi di Departemen Agama, segera akan menyusul sebagai kosakata yang paling sering ditulis dan disebut oleh media massa.

Hingga kini, sudah dua orang yang disidik dan ditahan oleh aparat penegak hukum terkait dugaan penyimpangan dana yang sumbernya dipetik dari efisiensi pengelolaan dana haji itu. Pertama, Taufik Kamil, mantan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, yang masuk tahanan pada Jumat dua pekan lalu. Menyusul kemudian mantan Menteri Agama Said Agil Husin al-Munawar yang dibawa pada Kamis malam pekan berikutnya.

Menurut mantan Menteri Agama (1993-1998) Tarmizi Taher, dalam kasus ini yang terlihat adalah mismanajemen pengelolaan DAU. "Saya melihat kenaifan," katanya kepada Abdul Manan dan Tulus Wijanarko dari Tempo, yang mewawancarainya secara terpisah, Jumat pekan lalu. Berikut petikannya:


Konsep Dana Abadi Umat muncul saat Anda menjabat Menteri Agama. Bagaimana kisahnya?

Saya berterima kasih kepada tokoh-tokoh umat Islam yang meminta diadakan Seminar Nasional Haji pada 1994 silam. Dalam seminar itu, saya undang juga Menteri Agama Malaysia Datok Abang Abubakar untuk kita dengar pendapatnya mengenai perlu-tidaknya di Indonesia dibentuk tabungan haji.

Kehadiran beliau ini dilihat oleh Pak Alamsyah (Menteri Agama sebelumnya). Dia telepon saya. Dia meminta saya mengajak Menteri Agama Malaysia itu menghadap Pak Harto guna meyakinkan Presiden perlunya semacam tabungan haji di Indonesia.

Pak Alamsyah bilang, semasa menjabat sebagai Menteri Agama ada hal-hal yang sukses dan ada yang tidak. Salah satu yang tidak sukses adalah meyakinkan Pak Harto untuk membuat semacam tabungan haji. Setelah bertemu, Pak Harto menyatakan menunggu hasil rekomendasi seminar. Dan, ternyata salah satu rekomendasinya adalah kita tak perlu tabungan haji karena bank-bank sudah mulai membuka cicilan untuk naik haji.

Jadi, apa tepatnya rekomendasi seminar?

Tidak perlu bank tabungan haji, tetapi semacam dana abadi. Tetapi waktu itu masih disebut Badan Pengelola ONH (ongkos naik haji). Kemudian pada 1995, kita siapkan segala macam peraturannya. Pada 1996 awal, keluar keputusan presiden tentang Badan Pengelolaan Dana Ongkos Naik Haji Indonesia. Keppresnya Nomor 35 Tahun 1996. Memakai keppres, karena kalau undang-undang terlalu lama.

Kemudian karena Bank Muamalat waktu itu agak guncang alias tidak tumbuh cepat, kita lalu membayarkan saham MUI (yang sebelumnya hanya berupa saham kosong) sebesar Rp 20 miliar ke bank itu. Supaya dari hasil penyertaan ini sebagian bisa dipakai untuk kegiatan harian MUI. Untuk itu dibuatlah Keppres Nomor 52 Tahun 1996 tentang penempatan dana abadi di Bank Muamalat itu.

Berapa total aset Bank Muamalat saat itu?

Nggak tahu. Sahamnya Rp 20 M. Dana abadinya sebanyak itu. (Dana abadi) lainnya di bank pemerintah. Ini kan bank swasta yang disponsori umat Islam. Sampai sekarang masih ada surat-suratnya. Lengkap.

Setelah itu, bagaimana kelanjutan dana abadi?

Alhamdulillah, pada pertengahan periode menjabat sebagai Menteri Agama, kita mempersiapkan organisasi dan sistemnya. Baru saya dapat membagi dalam laporan itu setelah 1997. Mulai tahun itu sampai April 2004 sudah tersalurkan Dana Abadi Umat sebanyak Rp 473 miliar. Waktu delapan tahun lalu, itu besar sekali artinya.

Pada mulanya, dari mana sumber dana abadi itu?

Pertama, dari efisiensi di Departemen Agama. Berbagai perjalanan seremonial pejabat Depag ke daerah kita efisienkan. Lalu, ada efisiensi dalam rombongan pejabat Depag di pusat dan daerah yang naik haji. Sebelumnya, mereka ini kan bayar ONH biasa tapi minta perlakuan ONH plus. Jumlahnya pernah mencapai 500 orang. Bayangkan, pembiayaan satu orang bisa mencapai 10 ribu dolar, jadi total 5 juta dolar.

Kedua, berkat adanya sistem floating dolar waktu itu. Waktu itu kan nilai rupiah terus melemah pada awal 1997 terhadap dolar AS. Saya memutuskan mempercepat perencanaan haji 1998, sebab itu sangat krusial. Akhirnya jemaah haji 1998 "hanya" membayar Rp 7 juta, ketika satu dolar saat itu mencapai Rp 20 ribu. Padahal, dalam ongkos Rp 7 juta itu sudah termasuk living cost 1.500 riyal. Artinya, jemaah haji untung pada saat itu, ketika semua perusahaan konglomerat hancur. Itu pertolongan Allah SWT.

Sumber ketiga, dari upaya penertiban administrasi keuangan ONH.

Pada saat awal, Dana Abadi Umat ada di satu rekening atau banyak rekening?

Rekeningnya banyak sekali, tetapi diketahui semua. Tetapi semuanya itu harus berpedoman pada keppres tadi. Waktu itu Dana Abadi ada di BNI, Exim, BBD, dan BRI, atas nama Departemen Agama. Kita tak boleh kacau antara dana rutin Departemen, Dana Abadi Umat, dan dana Badan Pengelola Dana ONH Indonesia.

Bagaimana pengelolaan Dana Abadi diatur?

Pada 1999, diatur dengan Undang-Undang Nomor 17. Kemudian disempurnakan lagi dengan UU Nomor 22 Tahun 2001. Di sana sudah diperluas penggunaan Dana Abadi Umat. Bertambah dari yang semula empat fungsi, yakni pertama, jemaah haji; kedua, pendidikan; ketiga, bantuan rumah ibadah; keempat, mengentaskan kemiskinan. Setelah itu, bertambah jadi enam dengan pemanfaatan untuk pendidikan dan dakwah, kesehatan, dan sosial keagamaan.

Jadi, sebelumnya hanya empat fungsi. Yang perlu diingat, fungsi ketiga adalah bantuan. Sebab, kalau kita bikinkan rumah ibadah kayak di Malaysia atau Brunei, habis uang negara ini. Masjid dan musala itu jumlahnya sekitar sejuta. Madrasah ratusan ribu. Pemberian bantuannya pakai indeks. Pesantren kecil dengan 300 orang ke bawah, sumbangannya Rp 10 juta. Pesantren sedang, Rp 15 juta. Yang lebih besar dapat Rp 30 juta. Jadi, ada kriterianya. Selain itu, bantuan dapat diberikan kalau proposal itu pakai akta yayasan. Sekali-kali kita teliti secara acak kebenarannya.

Struktur pengelolanya seperti apa?

Pembina Dana Abadi Umat itu presiden ex officio. Pelaksananya Menteri Agama. Sekretaris Dirjen Haji. Yang juga ikut tanda tangan pencairan dana adalah bendahara. Dia yang menyiapkan cek dan segala macam. Saya juga memberikan indeks. Untuk bantuan di bawah 10 juta ditangani sekretaris dan bendahara. Untuk 10 juta ke atas, sekretaris dan bendahara lapor ke menteri. Tidak mesti menteri yang tanda tangan. Kalau lebih lagi, dalam miliaran, harus minta izin presiden. Jadi, ada jenjang-jenjang pertanggungjawaban.

Bagaimana dengan pengawasan?

Pengawasnya organisasi umat Islam. Dalam periode saya, rapat setiap enam bulan diadakan secara teratur. Dalam kasus sekarang, Pak Syafi'i Ma'arif (Ketua Umum Muhammadiyah) mengaku tidak pernah diundang rapat. Kalau zaman saya, kita rapat teratur.

Pada akhir masa jabatan Anda, berapa aset Dana Abadi Umat?

Akhir Februari 1998 sebanyak US$ 15 juta dan Rp 249 miliar. Itu kan hampir Rp 40 miliar kalau diambil 10 persen. Jumlah ini otomatis masuk ke rekening (Dana Abadi Umat) itu. Dana inilah yang kita bagi (untuk kemaslahatan umat). Tak boleh induknya yang dibagi.

Selama periode Anda, dananya tidak banyak digunakan?

Saya lebih banyak mengumpulkan. Kenapa? Karena ini semua dimulai di pertengahan periode jabatan saya sebagai menteri berdasarkan rekomendasi seminar haji nasional itu. Lalu pada 1997 baru ada permintaan-permintaan bantuan.

Akibat kasus yang kini meruyak, rekening Departemen Agama diblokir.…

Hal itu tentu sudah diberitahukan kepada Menteri Agama bahwa pemblokiran dimaksudkan hanya untuk pemeriksaan. Tak mungkin uang itu diblokir polisi (seterusnya). Mau diserbu umat apa, kantor polisi itu? Walau saya sudah pensiun, saya orang pertama yang akan teriak kalau dana abadi itu dihilangkan. Sampai 2004, saya cek dari pemeriksaan BPK dana itu masih utuh.

Cuma tak bertambah banyak?

Kemampuan orang berdagang kan beda-beda.

Komentar Anda atas penyidikan kasus ini?

Saya menyesalkan satu hal, tim penyidik ini belum apa-apa sudah ngomong (banyak). Tiap hari cerita soal hasil penyidikan. Kalau udah selesai, dong, baru bisa ngomong. Wartawan juga jangan desak-desak polisi. Kalau sekarang saya cerita, ini soal sejarah awal mula adanya DAU. Jadi, bukan (tentang) orang yang sedang diperiksa.

Saya selalu berprinsip orang itu harus kita perlakukan dengan asas praduga tak bersalah. Coba lihat Nurdin Halid, semua orang, termasuk saya, tidak akan mikir dia bebas. Kok, dia bebas? Nah, sekarang ini seorang Said Agil Husin al-Munawar. Suatu kesalahan itu, menurut agama, ada dua macam: pertama, karena orang bodoh; kedua, orang zalim.

Saya lihat apa yang dilakukan Pak Said Agil ini sebuah mismanajemen. Saya melihat kenaifan. Atau, istilah dokter: tangannya panas. Pertama, dia pernah terkena kasus Batutulis, lalu kasus banyaknya calon haji yang gagal berangkat. Jadi, menurut saya, seorang menteri itu haruslah seorang leader, manajer, dan administrator.

Bagaimana dampak kasus ini bagi citra departemen yang selama ini berurusan dengan masalah moral ini?

Pokoknya saya prihatin. Tapi saya berpikir positif, ambil hikmahnya, sehingga orang yang berniat melakukan sesuatu di era reformasi, era Pak SBY ini, supaya mikir dua kali. Kedua, saya tidak ingin terjadi ekses. Belum terbukti maling, sudah diteriaki koran sebagai maling. Bahaya itu. Hak asasi manusianya dilanggar.

Dalam laporan BKPK, nama Bapak ada dalam laporan tahun 2001 sebagai penerima dana dari Menteri Agama Said Agil sebesar US$ 3.000. Apa komentar Anda?

Saya tidak ingat persis. Tahun 2001 itu saya masih di luar negeri. Masih sebagai duta besar di Norwegia. Saya kan baru pulang Juni 2002. Sekitar 3,5 tahun jadi duta besar di Norwegia. Tetapi saya mengira-ngira, jika dana itu memang diberikan, mungkin ketika saya menghadiri Konferensi Rabithah `Alam Islami (Liga Dunia Islam, sebuah lembaga yang bergerak di bidang keagamaan dan sosial budaya).

Jika memang demikian, apakah hal itu masih dimungkinkan dan sesuai dengan peruntukan DAU?

Dimungkinkan, dong, karena Rabithah kan lembaga yang masih berkaitan dengan kemaslahatan umat.

Anda tidak bermaksud mengklarifikasi ke pihak berwenang mengenai penyebutan nama Anda itu?

Angka 3.000 dolar merupakan setengah bulan gaji sebagai dubes. Maka, saya lupa-lupa ingat. Karena saya sibuk. Rabithah itu kan bukan suatu konferensi ringan. Tetapi, sekali lagi saya katakan, saya tak tahu persis apakah pernah menerima uang itu. Saya tanya istri saya, apakah kita pernah terima duit itu, dia jawab rasanya tidak pernah. Nah, dalam ketidakpastian itu, bagaimana mau mengklarifikasi? Wong di ingatan saya saja belum clear.


Dr dr Tarmizi Taher

Lahir

  • Padang 7 Oktober 1936

Pendidikan

  • Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
  • Doctor Honoris Causa dari UIN Syarif Hidayatullah (2003)

Pengalaman Organisasi

  • Ketua Dewan Mahasiswa Unair (1962)
  • Korps Nasional Muballigh Muhammadiyah

Pengalaman Kerja

  • 1993-1998 : Menteri Agama
  • 1998-2002 : Duta Besar di Norwegia
  • 2003-sekarang: Rektor Universitas Islam Az-Zahra, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus