Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGALIRLAH dana ke banyak kantong, ya, Dana Abadi Umat itu. Audit BPKP 2001-2004 menemukan: duit itu terkucur ke sejumlah pejabat dan tokoh masyarakat—tanpa masyarakatnya pernah diajak berunding. Ada yang berupa ”bantuan”, uang saku, atau ongkos naik haji. BPKP menyebutnya ”penyimpangan”. Sekadar ”berkenalan” dengan para penerima dana itu:
Taufikurrahman Saleh Mantan Ketua Komisi VI DPR RI
KETIKA menjadi Ketua Komisi VI DPR, Taufikurrahman disebut-sebut menerima duit Dana Abadi Umat untuk pergi ke Amerika Serikat. Jumlah ”uang saku” itu menurut audit BPKP Rp 26.642.000. Taufikurrahman mengaku pada 2001 memang pergi ke Amerika karena diundang menghadiri konferensi agama-agama sedunia. Ia berangkat bersama Wakil Ketua Komisi VI, Chodidjah. ”Tapi saya tidak tahu dari mana dana yang diberikan kepada saya,” katanya.
Menurut dia, ketika itu setiap peserta konferensi diminta menceritakan kelemahan dan problem yang dihadapi negara masing-masing dalam soal kehidupan beragama. Wakil rakyat Partai Kebangkitan Bangsa ini menyatakan siap memberi keterangan jika diperiksa seputar Dana Abadi Umat ini. ”Habis, mau ngomong apa lagi?”
Sri Rejeki Sumaryoto Mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
BERSAMA suaminya, menurut audit BPKP, Sri Rejeki masuk daftar anggota rombongan naik haji Menteri Agama Said Agil Husin al-Munawar pada 2002. Ongkos masing-masing yang ikut rombongan ini US$ 2,677 (kini sekitar Rp 25 juta), ditambah uang saku Rp 800 ribu per orang. Ketika itu ada sekitar 32 anggota rombongan.
Sri mengakui pada tahun itu ia memang naik haji bersama rombongan Menteri Agama. Ia diminta menjadi tim pendamping jemaah haji. ”Ketika itu saya sudah haji, jadi saya pergi bukan karena belum haji,” kata Sri. Kepergiannya, kata Sri, juga atas penugasan Presiden Megawati. ”Kalau tidak ada izin, saya tidak berani.”
Seraya berhaji dan menjadi tim pendamping itu, Sri—katanya—juga meninjau keadaan jemaah haji perempuan dan mendatangi Konsulat Jenderal RI karena ada sekitar 99 tenaga kerja wanita Indonesia yang terkena masalah. ”Saya tidak tahu dari mana asal dana itu,” katanya.
Sri mendukung pengusutan tuntas kasus penyelewengan Dana Abadi Umat ini. ”Saya siap jika dimintai klarifikasi,” katanya. Ia juga berharap penyelidikan kasus ini dilakukan proporsional. ”Jangan sampai karena mungkin di situ ada Pak Jusuf Kalla kemudian tidak diusut tuntas. Itu tidak benar juga.”
Habib Husin Al Habsy Pengurus Ikhwanul Muslimin
MENURUT BPKP, ketika naik haji dalam rombongan Menteri Agama Said Agil Husin al-Munawar pada 2002, Husin Al Habsy didampingi istrinya, dan keduanya ”diongkosi” Dana Abadi Umat. Benar? ”Haram hukumnya bagi siapa pun yang pergi haji dengan Dana Abadi Umat,” kata Husin Al Habsy dengan nada tinggi.
Habib menyatakan ketika itu menyetorkan Rp 27 juta ke Departemen Agama. Menurut Al Habsy, hampir setiap tahun ia menunaikan ibadah haji. Pada 2002 itu ia berkesempatan naik haji bersama rombongan Said Agil. ”Ada beberapa keuntungan yang saya dapat kalau ikut rombongan menteri,” ujarnya.
Keuntungan itu, antara lain, bisa terhindar dari pemeriksaan ketat di Arab Saudi. Akan halnya penginapan, ikut rombongan menteri dianggapnya justru tak nyaman. ”Saya menginap di Luk Luk Khotim. Itu hotel kelas kambing,” Habib bercerita.
Menurut pendapatnya, Dana Abadi Umat hanya boleh dipakai membantu pembangunan masjid, lembaga pendidikan Islam, dan sekolah. ”Tak seorang pun berhak atas Dana Abadi Umat, termasuk gubernur dan bupati yang biasanya menghajikan orang,” katanya.
Jimly Asshidiqie Ketua Mahkamah Konstitusi
MENURUT audit BPKP, Jimly Asshidiqie mendapat bantuan biaya umrah Rp 56.980.000. Kepada Tempo, Jimly mengakui pada 2000 pernah diundang Departemen Agama untuk berangkat umrah. Hanya, ketika itu, karena kesibukannya, ia tak mengambil tawaran tersebut.
Pada 2001 datang lagi tawaran. Kali ini ia tak menampik. ”Karena diundang, ya, saya tidak tahu dari mana asal dananya,” kata Jimly. Dia mengatakan, kalau betul bantuan itu dari Dana Abadi Umat, tentu dia akan menolak. Jimly menyatakan bersedia mengembalikan dana itu jika pemerintah menggolongkan bantuan tersebut sebagai pelanggaran. Mengapa tak langsung dikembalikan saja? ”Saya khawatir nanti dikira cari muka,” katanya.
Abdul Manan, Arif Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo