Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seperti Berebut Sisa-Sisa Pesta

Penjarahan perusahaan negara makin sulit dilakukan. Kemewahan yang kini mereka nikmati tidak lagi langgeng. Tapi, jika penegakan hukum kendur, korupsi bisa makin meriah.


30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IBARATNYA pesta, acara makan sudah selesai. Kini saatnya cuci-cuci piring. Boleh jadi seperti itulah gambaran umum perusahaan negara saat ini. Sebagian besar "daging" perusahaan milik negara, yang sering disebut sebagai BUMN itu, sudah hampir ludes. Selama puluhan tahun, mereka ramai-ramai digerogoti, baik untuk kepentingan partai politik maupun pribadi. Perusahaan-perusahaan negara itu dipaksa meneken kontrak kerja yang tidak cuma menguras penghasilan, tapi juga menghancurkan peluang untuk hidup secara normal.

Nah, kalau sekarang para pemimpin politik berebut kursi pengelola BUMN, apa yang mereka impikan? Jangan-jangan bukan setoran dana yang mereka dapat, melainkan pekerjaan rumah yang luar biasa rumit.

Harus diakui, sebagian besar perusahaan negara bukanlah unit usaha yang gemuk, subur, dan berbuah lebat. Sebagian besar malah kurus, penyakitan, dan mesti dipupuk. Bukan cuma tak bisa dipanen, mereka malah harus ditomboki modal agar tetap bertahan hidup. Apalagi, di masa depan, sejumlah kemewahan yang selama ini mereka nikmati tidak mungkin lagi didapatkan.

Contoh paling nyata adalah Pertamina. Hampir di setiap lini produksi, dari pencarian sumur, konstruksi pengeboran, pembuatan rig, penimbaan minyak, pengilangan, pengangkutan, bahkan sampai pemasaran dan distribusi, ratusan benalu siap menyedot sari pati Pertamina sampai ke sumsum-sumsumnya. Audit PricewaterhouseCoopers menunjukkan, selama dua tahun anggaran dari April 1996 sampai Maret 1998, tingkat kebocoran (baik inefisiensi maupun hilangnya kesempatan mendapat tambahan penghasilan) yang diderita Pertamina mencapai Rp 43 triliun.

Betul, sampai hari ini, tulang-belulang yang bernama Pertamina itu tetap tegak, tidak tenggelam dalam kebangkrutan. Tahun lalu, perusahaan minyak negara ini malah mencatatkan keuntungan sekitar Rp 3 triliun. Tapi itu bukan petunjuk ia beroperasi dengan sehat. "Ini berkah dari sumber dana yang tak terbatas," kata seorang bekas pejabat tinggi di Departemen Pertambangan dan Energi.

Bayangkan saja, seluruh biaya operasi—selain gaji pegawai dan administrasi—industri minyak dan gas bumi (migas) ditanggung negara. Jadi, biarpun ongkos membengkak gara-gara digerogoti tikus-tikus kontraktor dan supplier, posisi keuangan Pertamina tak akan terancam. Perusahaan minyak ini tinggal mengklaim biaya-biaya itu agar dibayar dari kas negara.

Dan alhamdulillah, kersaning Allah, berkat kemurahan Tuhan, harga minyak di pasar internasional, kok, ya tidak pernah anjlok lebih rendah dari ongkos produksi yang sudah melambung-lambung itu. Akibatnya, pembengkakan biaya, mark-up, dan pencatutan kanan-kiri itu tak terasa membebani keuangan negara, kecuali bahwa sumber migas kita makin lama makin terkuras habis.

Meski begitu, jangan berharap bisa menggaruk banyak-banyak dari Pertamina. Di masa depan yang tak terlalu jauh, bisnis Pertamina yang kini jaya perkasa dengan monopoli kilang dan distribusi migas itu tak akan semewah ini lagi. Hak monopoli itu bukan takdir yang langgeng. Megamerger antarprodusen minyak dunia hari ini, suka tidak suka, akan menekan ongkos produksi migas di masa depan. Eksplorasi pencarian sumber minyak dunia makin giat, teknologinya kian maju. Karena itu, efisiensi merupakan keniscayaan yang tak bisa ditolak.

Akibatnya, Pertamina mustahil bertahan dengan pipa usaha yang bocor di mana-mana. Apa yang diisyaratkan Rancangan Undang-Undang Migas yang baru tentang liberalisasi industri minyak, mau tak mau, harus diterima. Pertamina akan menjadi perusahaan minyak biasa—persis seperti perusahaan minyak asing yang beroperasi di sini. Mereka harus mencari sumber minyak dan memproduksinya dengan biaya yang harus ditanggung sendiri—karena itu, harus dikalkulasi secermat-cermatnya. Setiap sen pemborosan, setiap ketip kebocoran, adalah racun yang menikam kelangsungan hidup perusahaan.

Kilang-kilang Pertamina, bahkan juga jaringan distribusinya, harus bersaing dengan kilang dan distributor milik asing. Uang belasan triliun rupiah yang selama ini memasuki kas Pertamina tanpa harus digiring, kelak, mesti didapat dengan pertarungan yang sengit. Singkat kata, akan ada upaya habis-habisan untuk menghajar setiap benih korupsi agar perusahaan tetap bertahan.

Mereka yang berniat memalak perusahaan penerbangan Garuda atau Merpati mungkin juga akan kecele. Dulu, dari pembelian dan sewa pesawat, pengadaan suku cadang, perawatan pesawat, dukungan pembiayaan, pelatihan pegawai, jasa pemasaran, jasa angkutan darat bandara, bahkan sampai urusan katering dan segala macam, hampir semuanya bisa dijadikan duit. Tapi kini, di atas kertas, Garuda sudah bangkrut. Menurut audit Athur Andersen, modal perusahaan penerbangan itu sudah minus US$ 234 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun. Artinya, beban kewajibannya sudah jauh melebihi kekayaannya.

Jika Garuda ditutup dan dilikuidasi, pemerintah masih harus menomboki utang senilai US$ 660 juta atau sekitar Rp 4,6 triliun. Kalau Garuda masih hidup, itu karena pemerintah tak punya pilihan lain. Melihat biaya likuidasinya yang besar, pemerintah mau tak mau harus mengoperasikan Garuda. Konsekuensinya, pemerintah terpaksa menyetor tambahan modal US$ 400 juta lebih.

Dengan suntikan rupiah ini, posisi keuangan Garuda memang lebih leluasa. Tapi itu bukan berarti Garuda bisa diperas-peras lagi. Jika operasinya tetap bobrok, jika badannya tetap digerogoti tikus-tikus serakah, suntikan modal itu tak berumur lama. Dua-tiga tahun mendatang, bukan mustahil atas nama Garuda, Anda akan kembali mengemis suntikan modal baru, yang—karena keuangan negara terbatas—tak akan mudah diperoleh.

Perusahaan negara seperti Telkom dan Indosat, harus diakui, memang cukup elok kinerjanya. Keuntungannya melimpah, masing-masing mendekati angka satu triliun. Tapi, kelak di masa depan yang tak terlalu jauh, tantangan perusahaan-perusahaan ini tidak enteng, tapi rumit dan berat. Telkom dan Indosat mau tak mau harus tunduk kepada kesepakatan internasional tentang liberalisasi telekomunikasi.

Tiga tahun mendatang, Indosat tak bisa lagi seenaknya "memajaki" hubungan telepon internasional seperti selama ini. Dua tahun kemudian, giliran Telkom yang harus bertarung dengan perusahaan asing untuk memperebutkan pulsa halo-halo di dalam negeri. Pendek kata, untuk mempertahankan kue usaha yang ada saat ini, para pengelola Telkom dan Indosat harus bekerja dua kali lebih keras—dan dua kali lebih bersih.

Lalu, bagaimana dengan bank,
gudang duit yang tak pernah
kering? Memang betul, Bank BNI
dan Mandiri, yang kabarnya diperebutkan partai-partai, relatif sudah bersih. Dengan biaya ratusan triliun, kedua bank ini dibersihkan pemerintah dari belitan kredit macet. Tapi bisnis bank satu-dua tahun mendatang tidak cuma harus berhadapan dengan persaingan yang makin kencang. Bank-bank asing dengan izin kepemilikan 100 persen akan menyerbu pasar perbankan hingga ke kota-kota kecil.

Lebih dari itu, para bankir yang mau mengutil banknya sendiri harus berhadapan dengan para pengawas yang lebih sulit diajak kongkalikong. Hingga tiga tahun ke depan, Indonesia masih akan didokteri oleh Dana Moneter Internasional (IMF). Setiap kebocoran di industri keuangan akan lebih mudah dideteksi. Jorjoran kredit kepada kelompok sendiri, yang beberapa tahun lalu gampang diatur, kini makin sulit dilakukan. Itu bukan hanya karena secara teknis tidak lagi mudah. Teropong pengawasannya juga makin ketat.

Selain semua itu, peluang mengutip BUMN makin tipis karena peraturan dan kesempatan makin terbatas. Jangan lupa, dunia keuangan makin tanpa batas. Aliran modal makin cepat, makin tak terkendali. Jagat industri keuangan menyatu. Begitu juga aturan main yang mendukungnya. Telkom yang terdaftar di bursa New York, misalnya, harus mengikuti aturan keterbukaan laporan keuangan yang berlaku di Amerika Serikat. Akibatnya, tak mudah lagi bagi direksi Telkom untuk menyembunyikan harta yang mereka jarah.

Singkat kata, di masa datang, agak sulit membayangkan perusahaan negara akan menjadi tambang uang bagi partai-partai seperti saat ini. Itu bukan cuma karena tantangan bisnis dan tuntutan efisiensi BUMN makin tinggi, tapi karena perangkat hukumnya pun makin sulit ditembus. Hanya, sekeras apa pun ancaman hukumnya, jika tidak ditegakkan, toh letoy juga.

Kasus direksi Indosat yang memarkir deposito ke rekening pribadi bisa menjadi contoh. Indosat merupakan perusahaan publik yang terdaftar di New York. Mestinya, otoritas pasar modal AS, yaitu Securities Exchange Committee (SEC), menuntut keteledoran Indosat yang abai dalam melaporkan deposito salah parkir itu. Toh, ternyata tidak. SEC seperti tenang-tenang saja. Direktur yang dianggap lalai itu juga cuma diganti. Selesai begitu saja.

Markus Handowo Dipo, ekonom lulusan London School of Economics, yakin bahwa sepanjang belum ada contoh, belum ada bukti pelaku korupsi diganjar hukuman yang keras, "Semangat mengutil akan tetap meriah."

Johan Budi S.P. dan Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus