Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Wawancara Bernard Krisher:"BK Enggan Bicara Soal Kejatuhannya"

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR musim bunga di Tokyo, Jepang, tahun 1964. Di kota yang semarak dengan bunga sakura itu, berlangsung sebuah pertemuan tingkat tinggi.

Dua tokoh penting Asia Tenggara menjadi tamu terhormat, yakni Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Malaya Tunku Abdul Rahman. Dua pemimpin negeri serumpun itu berunding untuk meluruskan hubungan negara mereka yang merenggang akibat konfrontasi.

Bernard Krisher, seorang wartawan mingguan Newsweek, meliput peristiwa tersebut. Ia mewawancarai Bung Karno. Dari situlah kemudian terbentang persahabatannya yang panjang dengan sang Presiden. Kemudahan Krisher bergerak di Istana Merdeka juga membuat Newsweek beberapa kali menurunkan laporan panjang tentang Bung Karno dan Indonesia. Krisher pun bisa menuliskan beberapa artikel eksklusif tentang elite politik Indonesia, justru ketika pintu imigrasi di sini tak terbuka lebar bagi wartawan asing.

Dilahirkan di Frankfurt, Jerman Barat, pada 9 Agustus 1931, Krisher melewatkan masa kanak-kanak di Paris. Pada 1941, kedua orang tuanya berimigrasi ke New York, Amerika. Di kota itu, Krisher merampungkan pendidikannya di Queens College, pada 1953. Ia mengaku sejak kecil sudah bercita-cita menjadi wartawan. Pada usia 12 tahun, ia sudah menerbitkan dua majalah anak-anak: Pocket Mirror dan Little Magazine Namun, ia baru benar-benar menjadi wartawan seusai wajib militer pada 1956.

Karir wartawan dirintisnya di World Telegraph . Pada 1964, ia berangkat ke Tokyo. Di ibu kota Jepang itu, ia bekerja sebagai koresponden asing Newsweek. Tiga tahun kemudian, ia menjadi kepala biro Tokyo hingga 1970. Krisher pun mengakhiri masa lajangnya di kota itu. Pernikahannya dengan Akiko, seorang gadis Jepang, memberinya sepasang anak, Debra dan Joseph. Di sela-sela kesibukannya menjadi wartawan, ia juga menjadi anggota peneliti kehormatan untuk Asian Center, di Harvard University.

Setelah meninggalkan Newsweek , Krisher bekerja sebagai koresponden untuk Fortune Magazine dan menjadi chief editorial advisor untuk Focus, sebuah majalah fotografi Jepang. Masa-masa berikutnya lebih banyak diisinya dengan bekerja sosial di Kamboja dan Korea Utara. Ia menerbitkan koran The Cambodia Daily di Phnom Penh dan mendidik wartawan lokal agar bisa menulis berita dalam bahasa Inggris.

Ia pun aktif dalam seminar dan pelatihan untuk para wartawan—khususya Asia. Ia juga giat membantu pendidikan anak-anak di beberapa negara miskin. Tak aneh bila Krisher acap bepergian. Meskipun demikian, ia tak lupa melewatkan waktu bersama keluarganya di sebuah kediaman yang nyaman di Hiroo, sebuah kawasan elite di distrik tengah Tokyo.

Pada akhir Januari lalu, Krisher menjadi pembicara dalam Forum Young ASEAN Journalists 2000 di Thailand. Wartawan TEMPO Hermien Y. Kleden menemuinya di Bangkok dan Hua Hin untuk sebuah wawancara. Ingatan Krisher tentang persahabatannya dengan Sukarno ternyata masih sangat terang. "Indonesia adalah mosaik penting dalam hidup saya sebagai wartawan," kata Krisher. Petikannya:


Bagaimana mula perkenalan Anda dengan Sukarno?

Awal 1964, pemerintah Jepang mengundang Tunku Abdul Rahman (Perdana Menteri Malaya tahun 1953-1970) dan Sukarno ke Tokyo. Jepang khusus mengadakan pertemuan untuk menengahi hubungan kedua negara yang tegang akibat konfrontasi. Newsweek meminta saya meliput peristiwa itu.

Apa yang Anda ketahui tentang Indonesia dan Malaysia waktu itu?

Wah, saya tidak tahu apa-apa. Jadi, saya menemui dua orang diplomat Amerika. Salah satunya, Duta Besar Jones (Duta Besar Amerika di Indonesia pada 1958-1963). Dia memberikan penjelasan tentang Indonesia. Jones punya hubungan baik dengan Sukarno. Saya mendapat gambaran cukup simpatik tentang Sukarno.

Perkenalan itu lantas berlangsung di mana?

Beberapa hari sebelum pertemuan Sukarno-Tunku, saya sudah di Tokyo. Saya memutuskan untuk meliput peristiwa ini dengan cara menghabiskan waktu seharian bersama dua tokoh itu. Untuk menemui Sukarno, saya datang ke kamar 202 dan 206 di Hotel Imperial. Ia selalu tinggal di situ kalau ke Jepang. Ternyata, ia sedang berada di toko barang antik di lantai bawah hotel. Saya menemukannya di sana bersama Soebandrio, menteri-menteri kabinet, serta sekitar 20 pengawal.

Anda langsung berkenalan?

Tidak juga. Saat itu, Sukarno sedang menawar sebuah barang antik. Sukarno minta diskon 50 persen. Pemiliknya bilang, tidak ada diskon. Presiden dan tuan toko sama-sama ngotot Akhirnya Sukarno bilang, "Saya presiden Indonesia yang punya rakyat seratus juta lebih. Jadi, tolong Anda kasih diskon 50 persen." Ha-ha-ha....
Lalu saya keluarkan notes, mencatat kata-kata itu. Sukarno bertanya, "Siapa kamu?" Saya bilang, "Saya Bernard Krisher, koresponden Newsweek." Ia berujar, "Saya benci Newsweek, yang selalu mengkritik negara saya." Dua orang pengawal mencekau badan saya dan hendak mengusir saya keluar dari toko. Tapi Presiden mencegah, "Stop, stop..., kasih saya notes kamu." Ia menulis, "Krisher, you are crazy, but I like you." Setelah itu, Sukarno membubuhkan tanda tangannya. Tulisan itu saya bingkai dan masih saya pajang di rumah sampai hari ini.

Setelah itu, bagaimana hubungan Anda dan Bung Karno?

Baik sekali. Saya diperbolehkan ikut dalam rombongan berkeliling ke berbagai toko. Setelah itu, Bung Karno mengundang saya makan malam dan menghadiri pesta bangsa-bangsa Asia yang diadakan sebuah perusahaan perdagangan Jepang. Pada lain hari kami pergi menonton di Ginza. Dewi Sukarno ikut.
Di bioskop, Bung Karno mencopot pecinya. Waktu itu ia sudah botak. Tanpa peci, ia kelihatan sangat berbeda. Itu sebabnya ia sangat tidak suka bila orang melihat kebotakannya. Di bioskop ada lampu kecil di atas langit-langit yang menerangi tangga. Ia minta manajer bioskop mematikan lampu itu. Tapi, agar tidak melanggar aturan keamanan, lampu cuma dikecilkan sedikit. Meski merasa terganggu, Presiden mengerti itu negeri orang. Jadi, ia tidak bisa seenaknya terus. Itulah awal hubungan panjang kami selama bertahun-tahun.

Anda juga menemui Tunku Abdul Rahman?

Tentu. Sehari setelah bertemu Bung Karno, saya mencari Tunku. Ia menghabiskan waktu seharian dengan berdoa di masjid. Saya menunggunya mengaji di masjid sekitar satu jam. Tapi bukan berarti Tunku tak suka bersenang-senang. Seperti Bung Karno, Tunku juga gemar mengunjungi rumah geisha dan makan di restoran.

Perundingan kedua pemimpin dengan Jepang sebagai penengah, kan, tidak menghasilkan konklusi berarti. Jadi, apa yang Anda liput?

Memang, tidak ada konklusi. Setelah pertemuan itu, mereka masih terus berkonfrontasi. Tapi saya bisa terus berkeliling dengan Sukarno, yang masih bertahan di Tokyo. Bung Karno banyak ditemani Dewi Sukarno, yang saat itu belum jadi istrinya.

Dengan para istri Bung Karno, Anda juga kenal baik?

Saya tidak pernah bertemu dengan Fatmawati. Dengan Hartini, hubungan saya cukup baik. Dewi? Well, tidak dekat dalam arti pertemanan. Kami sama-sama tahu. Tapi waktu ia melahirkan Karina di Tokyo pada 1965, saya datang menjenguk. Saya pula yang menggendong bayi Karina tatkala Dewi meninggalkan rumah sakit. Oh ya, setelah pertemuan saya dengan Bung Karno di Jepang, saya kerap mondar-mandir ke Indonesia.

Bukankah pada tahun 1960-an wartawan Barat sulit masuk ke Indonesia?

Betul. Saat itu jurnalis Barat tidak diizinkan masuk Indonesia. Saya pernah meminta visa ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo. Ditolak. Atas perintah Bung Karno, Soebandrio (menteri luar negeri dan wakil perdana menteri ketika itu) lalu memberi memo ke KBRI. Dengan memo itu, saya hanya perlu satu hari untuk mendapat visa ke Indonesia. Saya datang ke Indonesia sekitar Oktober 1964.

Masih ingat wawancara pertama dengan Bung Karno?

Bung Karno mengundang saya makan pagi. Tapi wawancara tidak langsung terjadi. Ia bilang, "Kamu tidak boleh membuat wawancara apa pun sebelum melihat keadaan negara saya." Saya jawab, "Mana mungkin? Banyak tempat masih tertutup untuk orang asing, kecuali Jakarta." Akhirnya, Bung Karno mengizinkan saya ke Jawa Tengah, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Newsweek sudah menunggu lima minggu dan menagih wawancara dengan Sukarno. Saya menyabar-nyabarkan mereka. Bung Karno amat sibuk, sehingga wawancara pertama selama dua jam baru berlangsung di Istana Bogor. Itu sehari sebelum saya pulang ke Tokyo. Waktu itu, saya mendadak harus pulang karena istri saya mengalami kesulitan bersalin.

Apa saja yang Anda bicarakan dalam wawancara tersebut?

Banyak hal, termasuk soal hubungan Indonesia dengan PBB dan konfrontasi Indonesia dengan Malaysia.

Anda lebih sering menemui Sukarno di Jepang atau di Indonesia?

Saya berkali-kali bertemu dengan Bung Karno dalam kesempatan berbeda, di Jepang maupun di Indonesia. Suatu ketika, saya menemuinya lagi di Tokyo. Ia sedang makan pagi bersama Dewi. Ada juga Menteri Luar Negeri Jepang, Shiina, serta Direktur Pan Am—perusahaan penerbangan Amerika yang selalu digunakan Bung Karno bila bepergian ke luar negeri.

Apakah memang kebiasaan Bung Karno mengundang Anda sekalian untuk sarapan bersama?

Kami semua diundangnya, kecuali Direktur Pan Am. Ia datang dari Amerika ke Tokyo khusus untuk meminta maaf kepada Presiden. Ceritanya begini. Dalam setiap perjalanan ke luar negeri, Bung Karno biasa menggunakan Pan Am, dengan kru penerbangan yang sama, termasuk para pramugari cantik. Dalam perjalanan kali itu, pesawat terpaksa berhenti satu malam di Alaska karena masalah teknis. Tapi pemerintah Amerika tidak mengizinkan semua penumpang, termasuk presiden Indonesia, turun dari pesawat karena mereka tidak punya visa.

Dan Bung Karno marah kepada Pan Am?

Ha-ha-ha…, tepat. Bung Karno sangat marah. Ia harus duduk di kursinya sepanjang malam. Ia langsung memutuskan tidak akan pernah lagi terbang dengan Pan Am. Makanya, dalam acara makan pagi di atas, Direktur Pan Am minta menghadap. Berkali-kali ia minta maaf. Padahal, Bung Karno justru sibuk memesan buah kiwi. Rupanya, ia mendapat info bahwa makan buah kiwi dapat menumbuhkan rambut. Ia memesan kiwi sebanyak-banyaknya.
Dari berbagai pertemuan saya dengan Sukarno, saya mendapat kesan ia memang seorang demokrat berkepribadian hangat. Karena itu, saya paham kenapa banyak orang mencintainya.

Tahukah Anda, tidak semua generasi di Indonesia mempunyai pandangan seperti itu terhadap Bung Karno.

Saya tahu. Generasi pertama Indonesia merdeka akan setuju bahwa Sukarno memiliki karisma, mempersatukan bangsa, memberikan identitas kepada rakyatnya, dan menularkan rasa percaya diri pada bangsa ini. Memang, generasi belakangan cenderung memandangnya secara lebih kritis.

Di mana Anda biasa menemui Presiden ketika berada di Indonesia?

Di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, maupun Istana Bogor. Sekali waktu, kami makan pagi bersama di Istana Merdeka. Ia memberi saya kopi tubruk. Sembari makan pagi, ia menerima kunjungan sekelompok murid sekolah. Sikapnya seperti seorang ayah. Salah seorang anak berbisik kepada Presiden bahwa sekolah mereka butuh piano.
Eh, Presiden langsung berdiri lalu mengajak saya ke kamarnya. Ia memperlihatkan sebuah lemari setinggi dada manusia yang penuh uang rupiah. Ia mengambil dua gepok uang dan menyerahkannya kepada dua kelompok anak-anak sekolah.

Seperti apa kamar tidur Bung Karno di Istana Merdeka?

Menurut saya, sangat menarik. Sebuah kamar sederhana tanpa pendingin udara, selain kipas angin di lantai dasar. Ada dua tempat tidur dalam kamar itu. Satu untuk Bung Karno, yang satu lagi penuh buku. Saya rasa Fatmawati tidur di tempat lain. Bung Karno bilang, ia sering kesulitan tidur sehingga banyak menghabiskan malam dengan membaca.

Soal lemari tadi, apakah selalu penuh uang?

Menurut cerita Bung Karno, lemari itu selalu terisi. Ada teman-teman pengusaha yang telaten mengisinya. Itu sebabnya, Bung Karno bisa memberikan uang kepada orang yang memintanya. Tapi, sejauh yang saya kenal, Bung Karno bukan seorang yang korup. Ia bahkan tidak punya sense of money, tidak ada investasi, tidak ada tabungan di bank.

Pernahkah Bung Karno marah karena hasil wawancara Anda?

Dia pernah marah oleh salah satu laporan utama Newsweek. Banyak hal dalam artikel tersebut yang tak mengenakkan perasaannya. Artikel itu hasil rangkuman redaktur. Laporan saya hanya salah satu bagian dari cerita tersebut. Tapi, sekali waktu, ia benar-benar marah akibat tulisan saya. Biasanya, bila bertemu di Istana Bogor maupun di Istana Merdeka, ia sering mengajak saya berkeliling menikmati lukisan-lukisannya. Waktu itu, sembari jalan-jalan, ia berkata, "Bernie, saya mengoreksi lukisan-lukisan ini." Saya jawab, "Tuan Presiden, maksudnya Anda mengoleksi lukisan?" Ia membalas, "Bukan mengoleksi, tapi mengoreksi." Lalu dengan sebuah kuas, ia mengubah beberapa detail lukisan. Entah bentuk hidung, bunga, ataupun daun. Ketika itu saya tulis, "Bung Karno marah. Cuma begitu, kok ya, ditulis."

Anda juga dekat dengan mereka yang berhubungan sejarah dengan Bung Karno. Bung Hatta, misalnya?

Saya sering pula berkunjung ke Hatta pada masa itu. Ia tinggal di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Saya banyak bercakap-cakap dengan Hatta. Ia berani mengkritik Sukarno secara terbuka. Tapi, menurut saya, Hatta tidak akan bisa jadi pemimpin yang baik. Ia lebih terkesan sebagai akademisi yang bersih. Cara hidupnya juga terlalu "steril".

Justru kepribadian Hatta bisa menjadi penyeimbang sosok Bung Karno yang flamboyan, bukan begitu?

Keduanya saling menghormati. Bahkan mereka pernah bahu-membahu pada masa awal berdirinya Republik. Tapi memang sulit untuk membuat mereka terus bekerja sama. Seperti halnya mustahil memaksa Beatles bertahan dalam kekompakan.

Sebabnya?

Saya tahu, banyak orang menginginkan keduanya tetap sebagai duo yang kompak. Tapi keduanya berbeda. Kontribusi Sukarno paling besar adalah mempersatukan bangsa. Dan, Hatta adalah demokrat yang mencoba menerapkan demokrasi terlalu awal, sejak sekitar 1945.

Pada perkembangannya, Bung Karno menginginkan kelompok nasional, agama, dan komunis bekerja sama. Tak satu pun dari mereka berani melawannya. Bagaimana menurut Anda?

Bung Karno mempertahankan rivalitas di antara mereka dan mendorong tiga kelompok itu untuk bersaing. Ia menerima D.N. Aidit (Ketua Komisi Sentral dan Politbiro PKI pada 1954-1965) sebagai penyeimbang terhadap kekuatan militer.

Tapi konsep itu ternyata sulit bertahan, sehingga persaingan sehat yang diinginkan Bung Karno akhirnya gagal.

Itu satu hal. Kegagalan penting lainnya di bidang ekonomi. Ia tidak tahu cara mengembangkan ekonomi negara dan tidak mengerti perdagangan. Ia juga anti-formalitas, PBB-fobia, serta tidak realistis terhadap prinsip investasi asing.

Kegagalan itu di antaranya yang menyebabkan kejatuhan Bung Karno. Pernahkah Anda bertanya tentang kemungkinan kejatuhannya?

Ia kerap berbicara tentang kejatuhan, tapi menyangkut pemimpin lain. Mao Zedong dikatakannya tidak berumur panjang karena tidak berhenti merokok. Khrushchev pasti jatuh karena sikap para bawahannya. Lucunya, ia tidak pernah bicara tentang dirinya sendiri.

Apakah Sukarno banyak memberi waktu kepada wartawan asing pada masa itu?

Barangkali hanya untuk saya. Ada satu-dua wartawan lain, seperti Bernard Kalb, Kepala Biro Jakarta untuk New York Times. Namun, hubungan kami berdua, menurut saya, jauh lebih dari sekadar seorang wartawan dan narasumber. Ia lebih menganggap saya semacam keponakan ketimbang wartawan. Banyak juga jurnalis asing berusaha menemuinya, tapi selalu ada birokrasi yang menjadi kendala.

Dengan kedekatan begitu, tidakkah tulisan Anda menjadi bias?

Sebagai reporter, laporan saya, toh, tidak dipublikasikan begitu saja. Ada editor yang mengedit dan merangkumnya. Menurut saya, laporan-laporan kami tentang Bung Karno dan Indonesia kala itu cukup berimbang dan obyektif.

Sebagai seorang narasumber, Bung Karno cukup terbuka?

Sangat. Pernyataan off the record hanya muncul saat ia bicara tentang para istrinya. Ia tidak mau memicu pertikaian di antara istri-istrinya.

Apakah kalangan pers di Amerika mengetahui kedekatan Anda dengan Bung Karno?

Beberapa pihak di Amerika menyoroti hubungan baik itu. Saya pernah menemukan sebuah dokumen tua yang menyebutkan bahwa CIA (badan intelijen Amerika) di Indonesia pernah minta izin kepada CIA di Washington agar menjadikan saya insider informan, ketika Bung Karno sakit ginjal. Washington menolak karena menurut mereka saya bukan orang yang dapat dipercaya.

Setelah kejatuhan Bung Karno, Anda masih menemuinya?

Saya sempat menemuinya tak lama setelah ia jatuh. Saat itu, ia sedang dipijat, sehingga saya diminta pulang. Setelah itu, ia meminta saya menemuinya. Tapi, saat itu Bung Karno sudah berstatus tahanan rumah. Ia tak boleh ditengok siapa pun kecuali istri dan anak-anaknya.

Anda juga sempat mewawancarai Soeharto tak lama setelah pengalihan kekuasaan?

Soeharto memberi wawancara karena tahu saya beberapa kali mewawancarai Sukarno. Katanya, ia tidak melakukan kudeta. Ia sangat ingin mengesankan dirinya loyal pada Sukarno. Terus-terang, Soeharto adalah pribadi yang tidak menarik untuk diwawancarai. Jawaban-jawabannya datar, panjang, dan membosankan.

Apa yang dikatakannya tentang Sukarno?

Ia berusaha menjelaskan, bila Sukarno mengakui komunisme sebagai suatu kesalahan, semuanya bisa berakhir berbeda. Tapi Sukarno menolak. Karena itu, ia merasa harus menyingkirkan Sukarno.

Di mana Anda menemui Soeharto?

Di Jalan Cendana. Anak-anaknya masih kecil. Seluruh keluarga ada dalam ruangan itu. Saya sempat mengambil gambar mereka. Istrinya, Nyonya Tien Soeharto, menghidangkan kopi dan kue-kue. Saat itu, Nyonya Soeharto masih ibu rumah tangga. Ia ramah, langsing, dan jauh dari penampilan seorang primadona.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus