Di bawah pemerintahan Gus Dur, bagaimana nasib "industri Habibie"? Sejak zaman Soeharto, orang mengenal istilah industri strategis, julukan umum untuk industri yang membutuhkan teknologi tinggi, atau gampangnya industri yang disponsori Menteri Negara Riset dan Teknologi (ketika itu) B.J. Habibie.
Berjaya pada zaman Soeharto, industri strategis justru kembang-kempis sejak Habibie naik panggung. Bukan karena Habibie mengabaikannya, tapi lantaran harga dolar melonjak tiga kali lipat. Industri yang bahan bakunya harus dibeli dengan mata uang asing itu, untuk sementara, harus berhenti berproduksi.
Lalu, bagaimana nasibnya kini setelah harga dolar relatif anteng? Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi, tampaknya tak punya agenda khusus. Ia memakai resep umum untuk menangani industri Habibie sama persis seperti ia mengelola BUMN yang lain. Pokoknya, kalau untung, ya, (sebagian) dijual. Kalau belum bisa untung, ya, dibuat untung. Dan kalau sakit parah? "Ya, ditutup," kata Riza Primadi, juru bicara Kantor Menteri Negara BUMN.
Resep umum itu barangkali akan jadi ancaman bagi industri strategis. Soalnya, dari sepuluh industri Habibie, tak banyak yang sehat walafiat. Salah satu yang paling parah, PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), misalnya, merugi Rp 186 miliar (data 1997) dengan timbunan utang Rp 2,17 triliun.
Memang betul, harus diakui, mereka bukan tak berbenah. IPTN, misalnya, kini tak lagi ngotot mau membuat pesawat terbang, tapi membuat apa saja yang bisa dijual dan menguntungkan. Tabung gas, komponen Toyota, parabola, bahkan juga menyewakan tenaga ahlinya ke industri pesawat di Jerman.
Selain IPTN, sembilan perusahaan pengelola industri strategis lain juga ramai-ramai mendongkrak kinerjanya. PT PAL, misalnya, yang masih merugi Rp 19 miliar (1997), sejak tahun lalu sudah mulai untung. Ketika itu, tingkat penjualan PAL mencapai Rp 850 miliar.
Hanya, kendati tak membantah beberapa dari industri Habibie itu sudah mulai berjalan lumayan, Deputi Bidang Industri Strategis, Benny Pasaribu, mengakui bahwa prospek mereka masih jauh dari cerah. "Saya sudah membayangkan mereka bakal kesulitan arus kas," katanya.
Atau mau ditutup saja, Pak Benny?
Agung Rulianto, IG.G. Maha Adi, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini