SEHARUSNYA ini bukan berita besar: posisi-posisi puncak di badan usaha milik negara diperebutkan sejumlah orang. Biasa. Lumrah. Tapi, ketika sekian banyak pos strategis itu "dijatah-jatah" hanya di antara kader partai politik besar, ini jelas tak biasa. Dan jadilah isu "main bagi kapling" BUMN ini sebagai berita penting pekan ini.
Indikasi adanya "bagi kapling" itu kentara benar ketika Presiden Abdurrahman Wahid berencana mengumumkan delapan direktur utama (dirut) baru BUMN, Selasa pekan lalu. Pagi harinya, Presiden sudah meneken surat keputusan pengangkatan delapan dirut baru. Tapi, mendadak sontak, Menteri Negara Investasi dan Pembinaan BUMN, Laksamana Sukardi, dan wakilnya, Rozy Munir, datang menghadap Presiden. Ada apa? Rupanya, dua BUMN ikut kena ganti pimpinannya, padahal dua dari delapan BUMN itu—Telkom dan Indosat—sudah masuk bursa. Artinya, yang berhak mengganti dirut adalah rapat umum pemegang saham (RUPS), dan Presiden Wahid tidak bisa main gusur begitu saja. Selain dua BUMN tadi, yang segera akan berganti bos adalah Bank BRI, Bank Mandiri, Garuda, dan Pertamina—dan sejumlah calon dari parpol sudah berancang-ancang untuk mengisinya.
Sumber TEMPO di kalangan pemerintah mengakui adanya usaha membagi-bagi BUMN itu. Katanya, sekarang tengah berlangsung persaingan sangat ketat di kalangan partai-partai untuk mendudukkan orangnya di jabatan-jabatan strategis. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pimpinan Megawati Sukarnoputri, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang menggotong Gus Dur sebagai presiden, dan Partai Amanat Nasional (PAN) pimpinan Amien Rais adalah partai yang paling getol menyiapkan kadernya. Ketiga partai itu kabarnya sudah menyiapkan pendukungnya untuk menduduki pos-pos penting di pemerintahan. PAN, misalnya, menyiapkan 2.000 kadernya untuk menduduki posisi di departemen dan BUMN, sementara PDIP memasang 185 nama. Bahkan, sumber TEMPO yang lain mengatakan bahwa persaingan antara ketiga partai itu kini sudah sampai pada pengkaplingan sektor usaha. Setiap partai agaknya secara sadar mengincar BUMN tertentu yang bisa dijadikan andalan sekaligus sandaran di masa depan.
PKB kabarnya sudah mengincar BUMN yang bergerak di sektor minyak dan gas bumi (migas) dan energi seperti Pertamina, Timah, dan PLN, kata sumber TEMPO tadi. Sementara itu, PAN sudah menyiapkan para pendukungnya untuk menduduki posisi strategis di bank-bank milik negara, sedangkan PDIP memilih BUMN yang bergerak sektor riil. Bukan cuma rencana agaknya yang sudah disiapkan, kata sumber ini. "Komandan" pun telah bermunculan—entah atas inisiatif siapa mereka bergerak. Barisan PAN dipimpin Menteri Keuangan Bambang Sudibyo, bekas Ketua Departemen Ekonomi PAN. PDI Perjuangan dikomandani Laksamana Sukardi, sedangkan PKB diimami oleh Rozy Munir. "Sampai ada guyonan di kalangan PDIP, biarlah PAN yang pegang duit, tapi PDIP yang pegang makanannya," kata sumber TEMPO tadi. Dia menambahkan, "PKB mengincar BUMN migas dan pertambangan."
Dalam waktu dekat ini, setidaknya ada lima posisi dirut BUMN yang diperebutkan. Di Telkom, misalnya, nama Wisnu Marantika menduduki posisi teratas sebagai kandidat dirut salah satu BUMN terkaya itu. Wisnu sendiri bukan orang baru bagi Telkom karena, sebelum Asman Akhir Nasution menjadi dirut, nama Wisnu sudah disebut-sebut bakal menggantikan Setyanto P. Santosa. Namun, belakangan namanya menguap dan yang muncul justru Nasution. Perusahaan telekomunikasi yang lain, Indosat, disebut-sebut akan dipimpin oleh Hadi Sulistyo, bekas Dirut IBM Indonesia, yang akan menggantikan Indra Setiawan. Padahal, Indra baru beberapa bulan menggantikan dirut lama, Tjahjono Surjodibroto. Baik Wisnu maupun Hadi, menurut sumber TEMPO, agak dekat atau setidaknya simpatisan PDI Perjuangan.
Bagaimana dengan "sapi gemuk" bernama Pertamina? Sejumlah nama asal parpol juga dimunculkan: Arifin Panigoro (PDIP), Hatta Radjasa (PAN), dan sejumlah nama lain. Tapi, sementara ini, calon kuatnya adalah calon "nonparpol", yaitu Baihaki Hakim, bekas Dirut Caltex Pacific Indonesia. Presiden Gus Dur kabarnya sudah bulat menunjuk Baihaki untuk menggantikan Martiono Hadianto. Penunjukan itu diputuskan dalam pertemuan 15 menit sebelum Presiden bertolak ke luar negeri, pekan lalu. Malah, keputusan presiden untuk Baihaki diberitakan sudah diteken sebelum Gus Dur berangkat. Pelantikan dirut baru Pertamina ini akan dilakukan sepulang Gus Dur dari Eropa nanti—itu pun kalau dalam perjalanan tak ada "bisikan" yang bisa mengubah penunjukan itu.
Peran bisik-bisik "orang sekitar" Gus Dur memang sentral. Seperti sudah menjadi "pola", bila yang diganti adalah dirut bank-bank pelat merah, pastilah yang akan berperan adalah suara-suara kalangan PAN dan Poros Tengah. Maklum saja, Menteri Keuangan Bambang Sudibyo adalah pihak pertama yang harus dimintai pendapat soal jabatan penting di BUMN di lingkungan kerjanya. Dan Menteri Sudibyo ini pernah secara gamblang mengakui bahwa dia memang "orangnya Amien Rais" dalam sebuah wawancara di televisi. Dan Bambang Sudibyo pula yang jelas-jelas mengatakan bahwa politik itu adalah "bagi-bagi kekuasaan" dan itu wajar saja dilakukan dalam sebuah pemerintahan.
Dalam batas tertentu, Menteri Sudibyo mungkin saja benar. Tapi kasus BRI bisa membantah "hipotesis" Sudibyo. Posisi Djokosantoso Mulyono sebagai dirut kabarnya tidak bisa diutak-atik lagi. Djoko berprestasi hebat? Sebaliknya, banyak yang mencurigai "kebersihan" Djoko, terutama berkaitan dengan kasus kredit macet Rp 572 miliar BRI di tangan bos tekstil The Ning King (Argo Manunggal Group) dan US$ 50 juta kepada PT Mulia Griya Indah (Mulia Group), yang dimiliki Joko Soegiarto Tjandra. Kasus itu sudah dideponir pada 14 September 1999. "Tapi, karena digaransi Pak Amien Rais, posisi Djoko tampaknya aman," kata sumber TEMPO di pemerintahan. Setidaknya, untuk kasus Djoko ini, seharusnya ada pemeriksaan yang menyeluruh untuk membuktikan bahwa dia benar "bersih". Djoko sendiri tak dapat ditemui untuk menjelaskan kasus ini.
Dalam urusan Bank Mandiri, sumber TEMPO di kalangan perbankan nasional mengatakan bahwa Robby Djohan dianggap tidak "sealiran" dengan "bosnya" dan diperkirakan segera digusur. Penggantinya adalah Binhadi, yang turun panggung dari jabatannya sebagai Presiden Komisaris Bank Mandiri. Sementara itu, Bank BNI masih belum akan berganti bos. Soalnya, bank yang terlibat dalam kredit macet Texmaco Group senilai Rp 9,8 triliun ini belum juga melaksanakan RUPS yang seharusnya sudah dilakukan pada Desember lalu. Ternyata, RUPS belum juga dilaksanakan setelah diundurkan sampai 17 Januari 2000. Kabarnya, Menteri Keuangan masih mencari orang yang tepat untuk menduduki kursi nomor satu di BNI. Seorang anggota Dewan Ekonomi Nasional mengatakan, salah satu yang dicalonkan untuk menjadi Dirut BNI adalah Presiden Direktur Astra International, Rini Mariani Sumarno Soewandhi, yang pernah dicalonkan oleh Fuad Bawazier sebagai Kepala BPPN untuk menggantikan Glenn Yusuf. Tentu sudah banyak diketahui bahwa Bawazier ini dianggap sebagai "kasirnya" Poros Tengah—barisan yang mengusung Gus Dur ke kursi kepresidenan. Rini akhirnya gagal duduk di puncak BPPN. Jabatan itu jatuh ke tangan Cacuk Sudarijanto.
Ketika diwawancarai, Fuad Bawazier berpendapat, kalau benar ada desakan kuat dari partai-partai untuk mengegolkan calonnya, Menteri Laksamana harus membendungnya. "Dia harus bersikap tegas agar BUMN tidak dimasuki orang-orang partai," kata Fuad kepada Dewi Rina Cahyani dari TEMPO. Dia menambahkan, presiden atau menteri tidak bisa mengganti begitu saja dirut-dirut BUMN tanpa alasan yang jelas. "Sekarang bukan zamannya lagi menaruh orang yang disukai dan memecat mereka yang tidak disenangi," ujarnya.
Tak semua sependapat. Analis keuangan lembaga sekuritas asing, Mirza Adityaswara, mengatakan bahwa persoalannya tidak terletak pada apakah calon itu orang partai atau bukan. "Yang lebih penting adalah orang itu cakap atau tidak dan punya integritas atau tidak," katanya. Analis Socgen, Lin Che Wei, setuju dengan Mirza. Menurut dia, tak semua orang partai berperangai buruk, sehingga tidak semua harus ditolak duduk di BUMN. "Di Amerika Serikat, pergantian pimpinan dengan orang partai itu hal biasa," kata Lin Che Wei. Laksono Widodo, analis ING Baring, juga sepakat. "Singtel, misalnya, kan dipimpin B.G. Lee, anaknya Lee Kuan Yew. Toh, mampu bersaing di tingkat dunia," katanya.
Soalnya memang profesionalisme itu. Namun, siapa yang bisa menjamin kenetralan para calon pejabat itu agar mereka tak memihak kepentingan parpol yang didukungnya? Apalagi, selama 32 tahun ini, bukan rahasia lagi bahwa BUMN memang dijadikan "andalan" dalam penggalangan dana ke kas partai Golkar. Sekarang ini kondisinya berbalik 180 derajat. "Majikan" BUMN sekarang bukan cuma pemerintahan yang dibentuk dari satu partai, tapi dibentuk dari kompromi banyak partai. Dan sebagai partai politik, "Paling tidak, mereka punya kesempatan untuk mengisi lumbungnya menghadapi pemilu nanti," kata sumber TEMPO.
Tapi, Ketua Umum PAN Amien Rais membantah keras tudingan itu. "Itu tuduhan tak berdasar," katanya kepada Edy Budiyarso dari TEMPO. Menurut dia, PAN sama sekali tak menyiapkan anggotanya untuk "menyerbu" posisi puncak BUMN. Bantahan serupa datang dari Ketua PDI Perjuangan Dimyati Hartono. "Tidak benar kita secara khusus menyiapkan orang untuk menjadi direksi di BUMN, termasuk soal pencalonan Arifin Panigoro menjadi Dirut Pertamina. Secara formal, PDIP tak pernah mencalonkannya," kata Dimyati. Meski demikian, sumber TEMPO yang dekat dengan pejabat pemerintah mengatakan bahwa ada daftar sejumlah nama yang beredar di kalangan sangat terbatas. "Buktinya, ada nama-nama yang ternyata benar (duduk di posisi yang ada dalam daftar)," katanya.
Ini barangkali "nasib" sebuah kabinet kompromi: semua hal harus disusun dengan menimbang kekuatan politik yang ada, sembari sedikit "menyisihkan" rapor kompetensi sang calon. Lihat saja pergantian pejabat di lingkungan Departemen Kehutanan dan Perkebunan, yang kabarnya didominasi kader-kader Partai Keadilan, atau kantornya Menteri Laksamana, yang sekarang dipenuhi titipan partai-partai. Ada kabar, Laksamana cuma boleh memilih dua pembantunya, yakni Riza Primadi sebagai Asisten Bidang Komunikasi dan Benny Pasaribu sebagai Deputi Bidang Industri Strategis, Pertambangan, dan Komunikasi. "Yang lain, semua titipan partai, termasuk Rozy Munir yang disodorkan PKB," kata sumber TEMPO.
Semua kejadian ini menegaskan satu hal: perlu aturan main yang jelas tentang jabatan karir dan jabatan politis. Aturan ini penting dibuat agar mereka yang bertahun-tahun mendaki karir tak cuma melongo melihat pos puncak di lembaganya dibagi-bagi di antara mereka yang sukses mengusung presiden ke puncak kekuasaan.
Bisa juga "pola baru" memilih Dirut Pertamina—dengan menyerahkannya kepada DPR dan kemudian presiden memilih satu dari sekian usulan DPR—dijadikan acuan baru. Memang cara ini jelas hanya akan menguntungkan calon yang didukung partai kuat di DPR, tapi setidaknya ada proses terbuka yang bisa diikuti rakyat luas, dan itulah yang harus dilakukan Gus Dur untuk membedakan pemerintahannya dengan pemerintahan masa lalu.
Bagaimana dengan sejumlah jabatan puncak BUMN yang sudah telanjur "dikapling-kapling" ini? Masyarakat tinggal menguji, adakah mereka yang terpilih itu benar-benar orang yang cakap, punya integritas yang bagus, dan tidak partisan. Jika kelak terbukti bahwa mereka sebenarnya hanya bekerja untuk "menggemukkan" kantong partai untuk menambang suara dalam pemilu mendatang, apalagi kantong pribadi, pemerintahan Gus Dur semestinya berani segera menggantinya.
Kalau Presiden Gus Dur sekarang ini mudah saja meneken surat pengangkatan, tentu ia akan ringan juga mengganti mereka yang kelak ternyata terbukti tak becus—setidaknya itulah harapan banyak orang kepada Gus Dur. Gampang, kan? Ya, begitu saja kok repot-repot.
M.Taufiqurohman, Agus S. Riyanto, Hendriko L. Wiremmer, dan Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini