Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seperti dulu juga

Kota sigli berudara panas, air asin & jorok, berpen duduk 20.000 jiwa bermata pencarian utama dagang. lalu lintas kereta api bangkrut, pelabuhan tutup. pusat perbelanjaan sepi, kios mahal.

18 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI ibukota Kabupaten Aceh Pidie, Sigli dapat disebut banyak terlambat. Lebih-lebih bila dibanding kota-kota kabupaten di kawasan Propinsi Aceh. Berudara panas, air serba asin dan jorok. Begitulah kesan yang segera terasa jika berkunjung kemari. Belum lagi bau apak ikan asin, dan saluran got tersumbat, ditambah lobang tinja semraut di rumah-rumah penduduk. Itulah Sigli sekarang. Berpenduduk tak lebih dari 20.000 jiwa, kota kabupaten ini sering digolongkan sebagai kota dagang. Barangkali karena penduduknya sejak dulu memang terkenal pintar dalam urusan jual beli ini. Bahkan karena kelihaian dalam berniaga mereka kerap disebut sebagai "Cina hitam" oleh penduduk Aceh pada umumnya. Sayang kegesitan dalam berdagang ini tak terlihat dalam bentuk membenahi rumah, toko-toko maupun bangunan-bangunan lainnya. Di mana-mana bangunan kedai tua masih tetap utuh berhimpitan dengan rumah-rumah penduduk: seperti dulu-dulu juga. Jika boleh dikenang, Sigli dulu pernah cerah oleh lalu-lintas kereta-api. Waktu itu bahkan kota ini dijadikan pusat bengkel bagi keretaapi-keretaapi untuk seluruh jalur di kawasan Aceh ini. Lebih dari itu, perumahan buruh dan kantor-kantor perkeretaapian benar-benar menghidupkan Sigli sebagai kota. Tapi semua ini sekarang hanya tinggal sisa-sisa kenangan. Bersamaan dengan semakin gelapnya perkeretaapian di sini, buruh-buruh itu pun meninggalkan Sigli dan keretaapinya sendiri hanya Senen-Kemis sudi berkunjung. Bangunan-bangunan hanya tinggal rubuh dirongrong usia. Pelabuhan & Pasar Tak kalah dengan semua itu. adalah nasib pelabuhan yang terletak di depan pendopo kabupaten. Dulu pelabuhan ini cukup ramai juga dan disinggahi kapal-kapal lokal maupun nasional dan samudera. Tapi sekarang - sekarang ini hampir tak terlihat sisa-sisa gemilang itu. Bahkan dermaga yang tinggal tiang nan sudah keropos itu ibarat satu-satunya sisa yang tertinggal sehabis perang berkecamuk. Begitu pula kantor bea-cukai di hadapannya, hampir tumbang digerogoti rayap. Dalam hal ini apa boleh buat. Sebab Pemerintah Pusat sudah berketetapan hati untuk hanya menghidupkan pelabuhan Malahayati di Krueng Raya (Banda Aceh). Tapi pantas juga disebut pembangunan baru kantor-kantor kepolisian, pengadilan negeri dan balai pertemuan di kota ini. Begitu pula pembenahan saluran-saluran air minum yang sebelumnya penuh karat dan bocor dimakan usia. Hanya usaha Bupati Sayed Zakaria membangun pusat perbelanjaan di tengah kota masih belum seluruhnya difahami warga kota. Pasar yang diresmikan Menteri P & K Syarief Thayeb bulan lalu itu, berlantai 2 dengan 132 kios menelan biaya Rp 18 juta. Entah karena menterengnya pasar ini atau karena tebusan yang harus dibayar dirasa terlampau mahal maka para pedagang masih banyak enggan berjualan. Terutama di lantai atas. "Kita harus jualan apa di sana", ucap seorang pedagang. Maka kios-kios itupun masih banyak tanpa penghuni.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus