JABATAN itu tidak kekal!" Ini nasehat datang dari seorang bekas
gubemur kepada rekan gubernur yang masih aktif Yaitu dari bekas
gubemur Jawa Barat Solihin kepada gubemur Sulawesi Utara Worang.
Solihin mengucapkannya setelah penyematan bintang Satyalencana
Pembangoan oleh Menteri Dalam Negeri mingu lalu. Nasehat lain
ialah: agar Worang belajar jadi "bekas gubernur" - suatu status
yang akan ada pada Ali Sadikin sebentar lagi.
Di bawah ini beberapa pengalaman bekas gubernur yang berhenti
dalam masa pemerintahan Orde Baru:
MOENADI, Dari Jawa Tengah.
Begitu selesai menjabat sebagai gubernur Jawa Tengah, tahun 1975
Moenadi memang pernah ditawari menjadi duta besar di Spanyol. Ia
menolak. 'Peninggalannya' untuk Jawa Tengah sekarang: Piala
Moenadi, untuk kegiatan bulutangkis, masih diperebutkan orang
hingga kini sampai putaran ke V.
Mayor jenderal ini sekarang berumur 53 tahun. "Saya tidak tahu,
apakah tenaga saya masih diperlukan oleh pemerintah atau tidak".
Hampir setiap malam ia nonton bioskop. Sendirian karena nyonya
Moenadi telah meninggal dunia beberapa waktu yang lalu, akibat
kanker ganas. Sekarang masih mondar-mandir ke Semarang,
"mengurus beberapa yayasan sosial". Sekali tempo ke Ungaran. Di
sana ada peternakannya yang memelihara "2000 ekor ayam".
Menjabat gubernur untuk satu kali masa jabatan banyak
pengalamannya. la, katanya, cukup mendapat kesulitan untuk
menyesuaikan keinginan mengembangkan daerahnya dengan
kebijaksanaan pemerintah pusat. Ia ingin memutarkan kegiatan
desa. "Karena saya gubernur desa". Yaitu,"dengan potensi saya
sendiri - tanpa harus menunggu bantuan dari bank dunia atau
dana-dana inpres". Semua genteng, seperti yang dapat dilihat di
rumah penduduk sekitar Semarang, harus dicat dengan tulisan:
Modes. Gagasan Moenadi memang: modernisasi desa.
Tapi tak banyak yang dilakukan dengan gagasannya itu. Terbentur
dengan soal keharusan taat kepada kebijaksanaan pemerintah
pusat. Bank-bank desa yang dibentuknya berantakan, "karena
dianggap tak sesuai dengan peraturan mengenai perbankan".
Padahal, "tujuan saya tak jauh-jauh: menggerakkan desa dengan
uang desa sendiri". Dalam soal gagasan modesnya, "saya memang
dianggap ekstrim". Modal asing, ketika Moenadi di sana,
hampir-hampir tak masuk ke Jawa Tengah. "Lalu saya dicap anti
modal asing".
Ali Sadikin, menurut Moenadi, lebih beruntung. Sekalipun
gagasannya berbeda dengan keinginan pemerintah pusat, karena
letaknya di ibukota, dapat diselesaikan dengan mudah. "Koran
juga banyak menyampaikan keinginan Ali Sadikin untuk Jakarta,
tapi keadaan saya .... ?"
Keinginan bekas gubernur ini dulu: "Otonomi yang lebih luas bagi
daerah".
Jakarta, menurut pendapatnya, gambaran yang sehat sebagai
ibukota negara: parpol bisa menang di sini.
SUMITRO, Dari Maluku
Bekas gubernur Maluku sekarang tinggal di Jakarta. Sumitro,
kolonel, meninggalkan jabatan gubernur Maluku tahun 1973.
"Sekarang saya menunggu anak-anak sekolah, menganggur, dan
menunggu dari pemerintah: apa yang masih dapat saya lakukan lagi
bagi negara".
Sebagai gubernur di Maluku, katanya, tak banyak yang dapat
dilakukannya. "Pendapatan daerah memang sedikit". Pajak hutan
dari orang asing sudah masuk ke pusat. "Dari perikanan masih
sedikit dapat masuk", katanya. Pendapatan daerah hanya menunggu
bantuan dari pusat saja. Sekolah dibangun dari dana inpres.
"Tapi untuk merawatnya, susah, daerah tak berpenghasilan". Kalau
kabupaten masih dapat langsung menerima uang dari kayu, seperti
dulu, sedikit-sedikit daerah masih 'hidup'. Ikhtiar memperoleh
dana dari daerah sendiri? "Sebenarnya kalau sudah dicukupi
dengan subsidi, ketaatan kepada pusat dengan sendirinya akan
ada".
Dalam usianya yang 54 tahun, kolonel ini masih efektif sebagai
ABRI. Sambil menunggu pensiun, dan ngallggur, "saya masih
seperti tahun 1945: dulu pakai sarung bisa sampai ke mana-mana,
sekarang jadi rakyat biasa juga tidak apa-apa".
SOLIHIN, Dari Jawa Barat
Begitu selesai bertugas untuk pemerintah, dari mulai sebagai
perajurit hingga menjabat gubernur Jawa Barat, Solihin Gautama
Prawiranegara baru merasa capek. Pencernaannya dirasakan kurang
beres. "Nir saya juga sudah tidak bekerja 100% lagi", kata mayor
jenderal berumur 51 tahun ini. Tulang punggungnya yang pernah
retak, akibat terjun payung di masa silam, sekarang ini baru
dirasakan mengganggu. "Sekarang", katanya, "psikhis baru bisa
bernafas".
Dengan helikopter dan sawah-sawahnya adakah ia petani kaya?
"Bukan, petani biasa-biasa saja", bantahnya. "Saya baru belajar
bertani". Taraf belajar ini, bagi Mang Ihin, sudah cukup mantap:
Di desa Pasir Ipis, Sukabumi Selatan, ia ada punya kebun kelapa,
jeruk dan peternakan domba. Perkebunan cengkehnya ada di dataran
Cidaun, Cianjur Selatan. Pertanian dan peternakan yang sama juga
ada di selatan kota Garut. Lalu itik dan kerbaunya dipelihara di
Lakbok, yaitu suatu daerah di perbatasan antara Jawa Barat dan
Jawa Tengah--Ciamis bagian selatan. Di Bayah, Banten, Mang Ihin
merencanakan suatu perkebunan pisang, "yang sedikit modern dan
intensiP'. "Semua daerah itu saya beli dengan harga layak dan
prosedur jual beli yang wajar".
Yang sedang dipersiapkan sekarang ialah suatu proyek yang
dikerjakan bersama dan orang bekas pejuang. Yaitu membuat pabrik
bata modern di Citanam, Bandung. Tapi semua kerja bekas gubernur
ini, "baru taraf persiapan untuk menuju pola pemikiran:
bertransmigrasi". Keinginan untuk membuka daerah baru di luar
Jawa, katanya, sudah direncanakan sebelum turun dari kursi
Gubernur tahun 1975. Tempat bertransmigrasi juga sudah ada dalam
kepalanya: di suatu daerah baik di Sulawesi Tenggara. Ia ingin
suatu pertanian berbentuk mixed-farming.
Kini Mang Ihin masih tetap jenderal, perwira tinggi
diperbantukan pada Menteri Dalam Negeri, tapi diperkenankan
melakukan kegiatan di luar pemerintahan. Prestasinya sebagai
kepala daerah? Dengan rendah hati pengalamannya disimpulkan,
"banyak yang tidak berhasil". Keadaan daerahnya, katanya, tidak
seberhasil menarik investor asing seperti Jakarta. Kalau proyek
Jabotabek (jaringan Jakarta-Bogor-Tanggerang-Bekasi) berhasil,
mungkin keadaan Jawa Barat akan lain dari sekarang. "Urbanisasi
ke Jakarta tentu akan berkurang pula".
Tapi ia merasa berhasil dalam penertiban administrasi kredit
bimas. Pengembalian kredit bimas dari cuma 17% sudah berhasil
ditingkatkan sampai 90%. Yang lain, setidaknya, ia sudah
berhasil merebut hati rakyat Jawa Barat dengan kelincahannya
berketuk-tilu dan mendapat sebutan akrab: Mang Ihin.
ACUB ZAINAL, Dari Irian Jaya
Akan Acub Zainal (49 tahun), brigjen, hanya dua tahun memangku
jabatan gubernur di Irian Jaya. Tahun 1975 ia turun kursi
disertai pengungkapan keuangan daerah oleh Menteri Dalam Negeri.
Kabarnya ada sekitar Rp 10 milyar keuangan yang tak dapat
dipertanggungjawabkan oleh Acub Zainal. Betulkah? Acub masih
belum bersedia membicarakan angka-angka anggaran pembangunan
daerah yang pernah dihebohkan orang dulu. Ia menyatakan, masih
'dilarang' membuka mulut mengenai soal itu.
Bagaimana sekarang? Ia mengulang kalimat yang pernah diucapkan
kepada isterinya, selesai upacara serah terima jabatan di gedung
DPRD Irian Jaya: "We are free now!" (Kita kini bebas!). Ia juga
masih mengenang perpisahannya dengan masyarakat Irian. Ketika
itu ia ada meneteskan air mata dalam dukungan pundak masyarakat
yang melepaskannya. Acub merasa dicintai oleh warganya, begitu
pula sebaliknya: "Saya sangat mencintai mereka".
Yang ditinggalkannya sebagai kenang-kenangan dalam masa
jabatannya yang tidak sampai satu masa jabatan ialah: sebuah
gedung kantor gubernur yang dianggap orang terlalu mewah. Kepada
warganya dulu Acub, bekas panglima militer di Irian ini, pernah
berpesan soal gedung mewah itu: "Cedung ini memang mewah, tapi
kalianlah yang akan duduk di sana nanti pada saatnya".
Acub sekarang masih resmi di bawah komando Departemen Pertahanan
dan Keamanan. Tapi kesibukannya sudah menyangkut soal hobby:
menjadi ketua organisasi balap sepeda, ikut memimpin
persepakbolaan Persija dan Perkesa. Apa yang diinginkan kini?
"Saya masih sangat mencintai ABRI!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini