Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Belajar jadi "bekas gubernur"

Kesan-kesan dari bekas gubernur moenadi, somitro, solihin & acub zainal tentang pensiunan gubernur. gagasan mengembangan daerah secara otonom banyak terbentur kebijaksanaan pemerintah pusat. (nas)

18 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JABATAN itu tidak kekal!" Ini nasehat datang dari seorang bekas gubemur kepada rekan gubernur yang masih aktif Yaitu dari bekas gubemur Jawa Barat Solihin kepada gubemur Sulawesi Utara Worang. Solihin mengucapkannya setelah penyematan bintang Satyalencana Pembangoan oleh Menteri Dalam Negeri mingu lalu. Nasehat lain ialah: agar Worang belajar jadi "bekas gubernur" - suatu status yang akan ada pada Ali Sadikin sebentar lagi. Di bawah ini beberapa pengalaman bekas gubernur yang berhenti dalam masa pemerintahan Orde Baru: MOENADI, Dari Jawa Tengah. Begitu selesai menjabat sebagai gubernur Jawa Tengah, tahun 1975 Moenadi memang pernah ditawari menjadi duta besar di Spanyol. Ia menolak. 'Peninggalannya' untuk Jawa Tengah sekarang: Piala Moenadi, untuk kegiatan bulutangkis, masih diperebutkan orang hingga kini sampai putaran ke V. Mayor jenderal ini sekarang berumur 53 tahun. "Saya tidak tahu, apakah tenaga saya masih diperlukan oleh pemerintah atau tidak". Hampir setiap malam ia nonton bioskop. Sendirian karena nyonya Moenadi telah meninggal dunia beberapa waktu yang lalu, akibat kanker ganas. Sekarang masih mondar-mandir ke Semarang, "mengurus beberapa yayasan sosial". Sekali tempo ke Ungaran. Di sana ada peternakannya yang memelihara "2000 ekor ayam". Menjabat gubernur untuk satu kali masa jabatan banyak pengalamannya. la, katanya, cukup mendapat kesulitan untuk menyesuaikan keinginan mengembangkan daerahnya dengan kebijaksanaan pemerintah pusat. Ia ingin memutarkan kegiatan desa. "Karena saya gubernur desa". Yaitu,"dengan potensi saya sendiri - tanpa harus menunggu bantuan dari bank dunia atau dana-dana inpres". Semua genteng, seperti yang dapat dilihat di rumah penduduk sekitar Semarang, harus dicat dengan tulisan: Modes. Gagasan Moenadi memang: modernisasi desa. Tapi tak banyak yang dilakukan dengan gagasannya itu. Terbentur dengan soal keharusan taat kepada kebijaksanaan pemerintah pusat. Bank-bank desa yang dibentuknya berantakan, "karena dianggap tak sesuai dengan peraturan mengenai perbankan". Padahal, "tujuan saya tak jauh-jauh: menggerakkan desa dengan uang desa sendiri". Dalam soal gagasan modesnya, "saya memang dianggap ekstrim". Modal asing, ketika Moenadi di sana, hampir-hampir tak masuk ke Jawa Tengah. "Lalu saya dicap anti modal asing". Ali Sadikin, menurut Moenadi, lebih beruntung. Sekalipun gagasannya berbeda dengan keinginan pemerintah pusat, karena letaknya di ibukota, dapat diselesaikan dengan mudah. "Koran juga banyak menyampaikan keinginan Ali Sadikin untuk Jakarta, tapi keadaan saya .... ?" Keinginan bekas gubernur ini dulu: "Otonomi yang lebih luas bagi daerah". Jakarta, menurut pendapatnya, gambaran yang sehat sebagai ibukota negara: parpol bisa menang di sini. SUMITRO, Dari Maluku Bekas gubernur Maluku sekarang tinggal di Jakarta. Sumitro, kolonel, meninggalkan jabatan gubernur Maluku tahun 1973. "Sekarang saya menunggu anak-anak sekolah, menganggur, dan menunggu dari pemerintah: apa yang masih dapat saya lakukan lagi bagi negara". Sebagai gubernur di Maluku, katanya, tak banyak yang dapat dilakukannya. "Pendapatan daerah memang sedikit". Pajak hutan dari orang asing sudah masuk ke pusat. "Dari perikanan masih sedikit dapat masuk", katanya. Pendapatan daerah hanya menunggu bantuan dari pusat saja. Sekolah dibangun dari dana inpres. "Tapi untuk merawatnya, susah, daerah tak berpenghasilan". Kalau kabupaten masih dapat langsung menerima uang dari kayu, seperti dulu, sedikit-sedikit daerah masih 'hidup'. Ikhtiar memperoleh dana dari daerah sendiri? "Sebenarnya kalau sudah dicukupi dengan subsidi, ketaatan kepada pusat dengan sendirinya akan ada". Dalam usianya yang 54 tahun, kolonel ini masih efektif sebagai ABRI. Sambil menunggu pensiun, dan ngallggur, "saya masih seperti tahun 1945: dulu pakai sarung bisa sampai ke mana-mana, sekarang jadi rakyat biasa juga tidak apa-apa". SOLIHIN, Dari Jawa Barat Begitu selesai bertugas untuk pemerintah, dari mulai sebagai perajurit hingga menjabat gubernur Jawa Barat, Solihin Gautama Prawiranegara baru merasa capek. Pencernaannya dirasakan kurang beres. "Nir saya juga sudah tidak bekerja 100% lagi", kata mayor jenderal berumur 51 tahun ini. Tulang punggungnya yang pernah retak, akibat terjun payung di masa silam, sekarang ini baru dirasakan mengganggu. "Sekarang", katanya, "psikhis baru bisa bernafas". Dengan helikopter dan sawah-sawahnya adakah ia petani kaya? "Bukan, petani biasa-biasa saja", bantahnya. "Saya baru belajar bertani". Taraf belajar ini, bagi Mang Ihin, sudah cukup mantap: Di desa Pasir Ipis, Sukabumi Selatan, ia ada punya kebun kelapa, jeruk dan peternakan domba. Perkebunan cengkehnya ada di dataran Cidaun, Cianjur Selatan. Pertanian dan peternakan yang sama juga ada di selatan kota Garut. Lalu itik dan kerbaunya dipelihara di Lakbok, yaitu suatu daerah di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah--Ciamis bagian selatan. Di Bayah, Banten, Mang Ihin merencanakan suatu perkebunan pisang, "yang sedikit modern dan intensiP'. "Semua daerah itu saya beli dengan harga layak dan prosedur jual beli yang wajar". Yang sedang dipersiapkan sekarang ialah suatu proyek yang dikerjakan bersama dan orang bekas pejuang. Yaitu membuat pabrik bata modern di Citanam, Bandung. Tapi semua kerja bekas gubernur ini, "baru taraf persiapan untuk menuju pola pemikiran: bertransmigrasi". Keinginan untuk membuka daerah baru di luar Jawa, katanya, sudah direncanakan sebelum turun dari kursi Gubernur tahun 1975. Tempat bertransmigrasi juga sudah ada dalam kepalanya: di suatu daerah baik di Sulawesi Tenggara. Ia ingin suatu pertanian berbentuk mixed-farming. Kini Mang Ihin masih tetap jenderal, perwira tinggi diperbantukan pada Menteri Dalam Negeri, tapi diperkenankan melakukan kegiatan di luar pemerintahan. Prestasinya sebagai kepala daerah? Dengan rendah hati pengalamannya disimpulkan, "banyak yang tidak berhasil". Keadaan daerahnya, katanya, tidak seberhasil menarik investor asing seperti Jakarta. Kalau proyek Jabotabek (jaringan Jakarta-Bogor-Tanggerang-Bekasi) berhasil, mungkin keadaan Jawa Barat akan lain dari sekarang. "Urbanisasi ke Jakarta tentu akan berkurang pula". Tapi ia merasa berhasil dalam penertiban administrasi kredit bimas. Pengembalian kredit bimas dari cuma 17% sudah berhasil ditingkatkan sampai 90%. Yang lain, setidaknya, ia sudah berhasil merebut hati rakyat Jawa Barat dengan kelincahannya berketuk-tilu dan mendapat sebutan akrab: Mang Ihin. ACUB ZAINAL, Dari Irian Jaya Akan Acub Zainal (49 tahun), brigjen, hanya dua tahun memangku jabatan gubernur di Irian Jaya. Tahun 1975 ia turun kursi disertai pengungkapan keuangan daerah oleh Menteri Dalam Negeri. Kabarnya ada sekitar Rp 10 milyar keuangan yang tak dapat dipertanggungjawabkan oleh Acub Zainal. Betulkah? Acub masih belum bersedia membicarakan angka-angka anggaran pembangunan daerah yang pernah dihebohkan orang dulu. Ia menyatakan, masih 'dilarang' membuka mulut mengenai soal itu. Bagaimana sekarang? Ia mengulang kalimat yang pernah diucapkan kepada isterinya, selesai upacara serah terima jabatan di gedung DPRD Irian Jaya: "We are free now!" (Kita kini bebas!). Ia juga masih mengenang perpisahannya dengan masyarakat Irian. Ketika itu ia ada meneteskan air mata dalam dukungan pundak masyarakat yang melepaskannya. Acub merasa dicintai oleh warganya, begitu pula sebaliknya: "Saya sangat mencintai mereka". Yang ditinggalkannya sebagai kenang-kenangan dalam masa jabatannya yang tidak sampai satu masa jabatan ialah: sebuah gedung kantor gubernur yang dianggap orang terlalu mewah. Kepada warganya dulu Acub, bekas panglima militer di Irian ini, pernah berpesan soal gedung mewah itu: "Cedung ini memang mewah, tapi kalianlah yang akan duduk di sana nanti pada saatnya". Acub sekarang masih resmi di bawah komando Departemen Pertahanan dan Keamanan. Tapi kesibukannya sudah menyangkut soal hobby: menjadi ketua organisasi balap sepeda, ikut memimpin persepakbolaan Persija dan Perkesa. Apa yang diinginkan kini? "Saya masih sangat mencintai ABRI!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus