Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
No Country for Old Men Sutradara dan skenario: Joel dan Ethan Cohen Pemain: Tommy Lee Jones, Javier Bardem, Josh Brolin
Bayangkan dunia Cormack McCarthy menjadi sebuah gambaran Texas pada 1980-an yang disemprot ke layar lebar oleh duo Cohen bersaudara. Dahsyat!
Seperti novelnya yang mengungkap suatu peristiwa ”sederhana”, film ini juga dimulai dengan adegan yang sunyi dan menekan. Llewelyn Moss (Josh Brolin) menemukan mayat bertebaran dan satu koper berisi US$ 2 juta. Dia berdiri di tengah pertempuran narkotik, setumpuk uang dan mayat, serta satu orang korban sekarat yang melenguh minta air. Apa yang harus dilakukannya?
Moss tidak memberikan air kepada sang korban, dan ia menyambar duit itu. Itulah pangkal dari segala bencana. Dalam kamus kehidupan dunia beradab, duit itu tentu saja harus dikembalikan ke polisi, sekaligus urusan penyidikan mayat yang bergelimpangan itu. Tapi dunia McCarthy—novelis yang anti-pedantik dan bertumpu pada kemampuan bertutur pada rangkaian peristiwa—adalah dunia yang menjungkirbalikkan peradaban.
Pada saat tokoh Anton Chigurh (Javier Bardem) muncul, kita tahu: peradaban tidak menjadi perhitungan. Chigurh, pembunuh bayaran berdarah dingin, dengan potongan rambut tahun 1980-an, yang memiliki tatapan mata yang tajam dan suara yang tenang, menekan, dan dominan terhadap lawan bicaranya, menghargai nyawa orang seperti harga duit koin yang selalu dibawanya ke mana-mana. Tugas Chigurh hanya memperoleh duit itu dari tangan Moss. Tapi Chigurh membunuh puluhan orang dengan santai dengan sebuah alat—entah apa—yang menggunakan tabung, hingga tak meninggalkan jejak peluru.
Kisah pengejaran sepanjang 122 menit ini penuh genangan darah dan tembak-menembak, dan dengan anehnya tetap tak bisa dikategorikan sebagai film laga. Sepanjang film kita hampir tak bisa mendengar ilustrasi musik barang satu detik pun. Semuanya bergantung pada sunyi dan kemampuan aktor memainkan dialog. Dan setiap kali tokoh Chigurh bertemu dengan siapa pun di jalan—selama ia mengejar Moss dan duitnya—jantung kita berdegup, karena kita tahu nyawa orang itu betul-betul ada di ujung tanduk.
Chigurh seperti banyak psikopat di setiap pojok dunia, menikmati betul perannya sebagai pemegang nyawa orang. Dia bisa menentukan hidup mati orang hanya dengan koin yang dilempar, atau dia sedang pingin membunuh. Begitu saja.
Lagi-lagi, ini juga bukan film thriller. Sebab, sejak awal seluruh kisah ini dilihat dari sudut pandang Ed Tom Bell (Tommy Lee Jones), seorang sheriff yang murung karena dia merasa tak lagi mampu menguasai situasi. Pada masa kejayaan ayahnya, demikian dia berkisah, seluruh kekacauan bisa dijinakkan. Tetapi pada masanya, ”Ketika kita tak lagi mendengar orang menyebut ‘sir’ atau ‘maam’, maka selebihnya bisa ditebak…,” katanya mengisahkan hilangnya dunia peradaban.
Kedahsyatan Cormack McCarthy sebagai novelis serta Joel dan Ethan Cohen sebagai sutradara adalah kemampuan mereka untuk percaya pada kata dan gambar. Tak perlu pidato, pengarahan, apalagi khotbah. Kemurungan sherrif Bell adalah perwakilan mereka yang mempertanyakan nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini kita pertahankan; sementara kehadiran Chigurh adalah representasi mereka yang sama sekali tak menghargai kehadiran orang lain di luar dirinya.
Film yang baru saja dinobatkan sebagai film terbaik Academy Awards ini memang bukan makanan biasa bagi kita, bahkan bagi penonton Hollywood yang lazim menyaksikan film yang penuh dengan ilustrasi musik dan bunyi gelegar senjata yang meraung-raung. Tapi, makanan seperti inilah yang akan terus berbekas dalam citra rasa dan jiwa kita. Terus-menerus. Selamanya.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo