Nomura, perusahaan pialang terbesar di dunia, terlibat skandal. Etika bisnis saham Jepang ternyata benar-benar payah. NAMA besar itu runtuh sudah. Selama ini, Nomura Securities adalah nama pialang saham nomor satu yang berkibar-kibar dengan jayanya di seantero dunia. Di Jepang ia dijuluki Kujira, si Ikan Paus. Kisah suksesnya berhalaman-halaman ditulis, baik dalam buku maupun di majalah dan surat kabar. Tiba-tiba saja, reputasi luar biasa itu berantakan. Nomura dan pialang kakap nomor tiga di Jepang, Nikko Securities, tersingkap aibnya. Presiden Nomura, Yoshihisa Tabuchi, dan bos Nikko, Takuya Iwasaki, lantas mengundurkan diri. Paling tidak ada dua dosa besar yang harus mereka pikul. Pertama, kedua perusahaan ini membayar kompensasi senilai 65 milyar yen untuk klien-klien raksasa yang merugi ketika bermain saham. Kompensasi ini tidak sah. Kedua, mereka meminjamkan 36 milyar yen kepada Susumu Ishii, yang dikenal sebagai bekas bos Inagawa Kai, kelompok gangster terbesar di Jepang. Skandal kompensasi itu ternyata melibatkan juga dana pensiun milik Badan Usaha Kesejahteraan Pensiun Departemen Kesehatan. Paling tidak, sekitar 5 milyar yen telah dibayar Nomura untuk dana pensiun itu sepanjang tahun 1990. Yoshihisa Tabuchi sempat membantah tuduhan itu. Tentang pinjaman kepada bos Yakuza, ia berdalih, Nomura tak mengetahui bahwa Ishii adalah pimpinan gangster. Soal kompensasi, ia berkilah bahwa orang-orang Okurasho, alias Kementerian Keuangan Jepang, sudah tahu. "Okurasho sebenarnya menyetujui tindakan pemberian ganti rugi itu," kata Tabuchi, yang pernah dipilih sebagai Business People of The Year oleh majalah Fortune terbitan New York. Pernyataan Tabuchi serta-merta dibantah Menteri Keuangan Jepang, Ryutaro Hashimoto. Dan sebelum persoalan jadi marak, presiden Nomura yang baru, Hideo Sakamaki, segera mencabut pernyataan Tabuchi tersebut. Namun, bisa jadi Tabuchi benar. Kecurigaan bahwa pialang raksasa sering memberi ganti rugi kepada klien raksasa sudah lama jadi desas-desus santer di Jepang. Soalnya, persaingan yang ketat membuat mereka tak ingin kehilangan klien raksasa. Jadi, sebelum klien menanamkan uangnya, mereka bersepakat lebih dulu. Jika klien merugi gara-gara harga anjlok, pialang akan ikut menanggung kerugian itu. Dan ini jelas-jelas melanggar hukum. Koran terbesar Jepang, Yomiuri Shimbun, menyebutkan bahwa selain oleh pialang kelas kakap, praktek kompensasi juga lazim dilakukan oleh sekitar 13 pialang menengah. Yomiuri memperkirakan, seluruh kompensasi yang sudah dibayar sepanjang tahun lalu bisa mencapai Rp 1,5 trilyun. Praktek tidak etis pialang Jepang tidak cuma itu. Mereka juga sering mempengaruhi harga, yang bisa menguntungkan klien besar. Ketika harga jatuh, misalnya, klien dianjurkan membeli saham banyak-banyak. Lantas lewat jaringan yang luas, plus salesman door to door, mereka membujuk agar investor individu, yang jumlahnya jutaan orang, ikut membeli. Mau tak mau harga terbawa naik. Saat itulah, para klien kakap tadi diminta menjual sahamnya kembali. Kebusukan praktek bisnis ini sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisi pasar yang sedang bengek. Sepanjang tahun lalu, harga saham di bursa Tokyo merosot sampai 39 persen. Transaksi pun lesu seperti ayam sakit. Pada 1989, dalam sehari satu milyar saham bisa diperdagangkan, tapi saat ini cuma menjangkau 400 juta. Maka, pialang Jepang kelabakan. Rata-rata dua pertiga dari keuntungan mereka didapat dari komisi. Jika transaksi seret, otomatis keuntungan ikut tersendat. Tahun lalu, keuntungan pialang yang termasuk kelompok empat besar merosot sampai sepertiga laba tahun sebelumnya. Sejauh ini Nomura dan Nikko nampaknya belum tersentuh sanksi. Mungkin karena mereka sudah terlalu besar. Nomura, misalnya, diperkirakan menguasai sepertiga transaksi di bursa Tokyo. Hukuman pada ikan paus seperti ini nampaknya hanya akan memperkeruh keadaan. Selain itu, hubungan perusahaan raksasa itu dengan Departemen Keuangan sudah sedemikian erat. Banyak pejabat tinggi yang pensiun dari Departemen Keuangan lalu bekerja di Nomura. Sampai-sampai Nomura dijuluki sebagai Departemen Keuangan bayangan. Bahwa tak akan terjadi sesuatu atas Nomura, sudah terlihat gelagatnya. Meskipun mundur, Yoshihisa Tabuchi tetap menduduki kursi wakil presiden di Nomura, jabatan baru yang khusus diciptakan untuknya. Ini bisa dipahami. Sebelum skandal ini meletus, Tabuchi boleh dibilang "Don" yang sangat berpengaruh di bursa saham Jepang. Ia dikenal sangat agresif, sehingga tampaknya siap melakukan apa saja untuk Nomura. Dan agaknya bukan hal aneh jika orang "kuat" seperti dia berhubungan erat dengan bos gangster seperti Susumu Ishii. Menurut koran Asahi Shimbun, Nomura dan Nikko bersekongkol mendongkrak harga saham perusahaan kereta api, Tokyu Co. Setelah Ishii memborongnya, Maret 1989, tujuh bulan kemudian, harga saham perusahaan itu melonjak dua kali lipat. Sekarang pejabat-pejabat bursa Tokyo mulai menyelidiki, apakah upaya mendongkrak harga itu melawan aturan main atau tidak. Untungnya, masyarakat belum panik. Indeks Nikko sepanjang pekan lalu cuma merosot sekitar 1.000 titik, menjadi 23.290. Menurut beberapa pialang Tokyo, ini masih wajar, sesuai dengan kecenderungan belakangan ini. Toh mereka tetap waswas. "Kalau kepercayaan investor individu rusak, kita bisa hancur," tutur seorang pialang. Dan pemerintah Jepang segera menyelamatkan pasar. Awal pekan ini, bunga pinjaman dari bank sentral untuk perbankan swasta diturunkan setengah persen, menjadi 5,5 persen. Alasan resminya, tindakan itu demi menggairahkan pertumbuhan ekonomi. Tapi semua orang mafhum, itu adalah salah satu cara untuk menyelamatkan pasar modal Tokyo. Yopie Hidayat dan Seiichi Okawa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini