Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sepotong Rahang Di Gua Tikus

HAMPIR setiap malam di ujung 1967 silam, derap langkah orang-orang bersepatu lars terdengar di Desa Lorejo, Kecamatan Bakung, Blitar, Jawa Timur. Mereka menggiring lelaki-lelaki bertelanjang kaki yang tangannya diikatkan ke tangan kawannya, menuju Gua Tikus. Di sana para lelaki yang dianggap aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) itu dipukuli, lalu dilempar ke dalam gua, dan tak pernah kembali. Setelah terkubur selama 35 tahun, Agustus silam, Yayasan Kasut Perdamaian berusaha menggali gua itu, untuk mencari mayat para korban. Tapi baru menemukan sepotong tulang rahang, Bupati Blitar buru-buru menghentikannya. Apa saja kisah yang masih tertimbun di dasar gua?

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU siang pada pertengahan Agustus lalu. Lokasi: Dusun Kedunganti, Kaliwaru, Desa Lorejo, Kecamatan Bakung, Blitar, Jawa Timur. Di atas bukit kapur nan tandus, di bawah terik matahari yang membakar ubun-ubun, sejumlah warga terlihat merubung sebuah lubang. Sebuah gua tepatnya. Penduduk setempat menamainya Luweng Tikus, tapi ada juga yang menyebut Gua Tikus. Dalam keheningan, beberapa orang tampak mengayunkan cangkul dan linggis, menggali gua. Kesibukan mereka baru disudahi saat matahari tenggelam di balik bukit. Keesokan harinya, kegiatan yang berlangsung selama sepekan lebih ini dilanjutkan lagi. Mencari harta karun? Sama sekali bukan. Damin, salah seorang di antara mereka, bercerita. Mereka menggali gua itu atas permintaan para aktivis dari Yayasan Kasut Perdamaian Jakarta, yang diketuai Esther Jusuf, dan Lembaga Pengkajian Kekejaman 1966, yang diketuai Putmuinah. Mereka datang awal Agustus lalu. Warga di Dusun Kedunganti itu diminta menggali gua untuk mencari kerangka mayat. Diperkirakan, gua itu sebagai tempat pembuangan orang-orang yang diduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) pada akhir 1960-an, tak lama setelah peristiwa 30 September meletus di Jakarta. Saat itu memang banyak orang PKI yang diburu oleh tentara untuk dihabisi. Kemungkinan besar korban yang dicemplungkan ke Gua Tikus berasal dari daerah lain. Soalnya, berdasarkan saksi mata yang melihat kejadian itu, ada warga Desa Lorejo yang jadi korban. Toh, mereka bersedia membantu untuk menggali gua itu demi alasan kemanusiaan. ”Kami merasa berdosa jika tidak mau menyokong keinginan menyempurnakan arwah para korban di sana,” kata Damin. Selama melakukan survei hingga memulai penggalian, semua personel tim ahli yang dibawa Esther dari Jakarta menempati rumah Damin sebagai pusat kegiatan. Perlengkapan penggalian dibawa oleh mahasiswa pencinta alam dari Jakarta. Masyarakat hanya membantu pekerjaan berat seperti mengusung endapan tanah dari gua (10 orang) dan keamanan (20 orang). Warga sekitarnya yang terlibat dalam pekerjaan dibayar oleh Yayasan Kasut Perdamaian masing-masing Rp 21 ribu per hari. Setelah sepekan menggali, tim akhirnya berhasil menemukan yang dicari: tulang rahang manusia, lengkap dengan giginya, di kedalaman 21 meter. Tulang rahang ini sekarang disimpan di rumah Damin, dibungkus tas plastik warna merah, dan ditaruh di atas lemari dekat ruang tamu. Karena penasaran, penggalian pun diteruskan hingga mencapai kedalaman 47 meter. Tapi, belum sempat mereka menemukan bukti baru, ganjalan datang. Bupati Blitar H. Imam Muhadi meminta agar penggalian tersebut dihentikan dengan alasan akan mengganggu stabilitas masyarakat Blitar. ”Pak Camat memarahi kami habis-habisan,” kata Damin. ”Padahal, sebenarnya kami sudah minta izin ke Kepala Desa Lorejo secara lisan.” Karena takut akan mendapat hukuman seperti yang dikatakan oleh Camat, penduduk pun menghentikan penggalian. Mendengar alasan Bupati, Esther Indahyani Jusuf Purba, Ketua Umum Yayasan Kasut Perdamaian, hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Semula alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini datang ke Desa Kedunganti hanya untuk memberikan pelatihan hukum pada Januari 2001. Tanpa sengaja, ia bertemu salah satu keluarga korban yang hendak berziarah ke Gua Tikus tapi tidak mempunyai kendaraan. Karena jatuh iba, Esther pun tergerak ikut mengantarkannya ke lokasi. Di sepanjang perjalanan inilah dia mendapatkan cerita bahwa Luweng Tikus sebenarnya kuburan massal. Didorong nalurinya sebagai aktivis, Esther tergerak melakukan investigasi. Beberapa kali dia berkunjung ke Blitar untuk memperoleh masukan dan penuturan dari para keluarga korban. Hasilnya, dia semakin yakin orang-orang yang dianggap antek PKI dibuang di gua itu. Berapa jumlah pasti mayat yang dicemplungkan ke sana, Esther tak tahu pasti. Tapi seorang saksi yakin jumlahnya sekitar 40 orang. Saat itu, hampir setiap malam ada orang yang digiring oleh tentara menuju gua itu. Sampai di mulut gua mereka dipukul lalu dilempar ke dalam gua. Dhorin, yang saat itu menjadi kepala dusun di Desa Lorejo, pernah dilibatkan dalam pembantaian. Kata lelaki yang sekarang berusia 75 tahun ini, ketika itu ada juga tentara yang ikut diseret korban, dan akhirnya sama-sama kecemplung ke gua (lihat Derap Rombongan Bersepatu Lars). Peristiwa yang terjadi pada 1968 itu jauh dari rekaan. Soalnya, tak lama kemudian penduduk setempat mencium bau bangkai yang menyengat dan melihat lalat-lalat mengerumuni mulut gua itu. Bahkan ada juga warga yang mengaku melihat bercak-bercak darah di bibir gua. Tapi tak ada yang berani bertanya waktu itu, sampai akhirnya militer mengeluarkan perintah menutup luweng dengan batu-batu. Jika kini Esther ingin membongkar gua itu, semata-mata demi menemukan kebenaran dan menghargai hak keluarga korban. Buat dia, tidak terlalu penting perdebatan soal penyebab terjadinya tragedi politik waktu itu. Prinsip yang dipegangnya, setiap manusia mesti dihargai hak dasarnya. Bila sudah meninggal, siapa pun dia, sepantasnya pula mendapatkan penguburan yang layak. Karena itulah, dia bersama timnya meminta negara bertanggung jawab terhadap korban dan keluarga. Ia berharap negara menyelesaikan masalah ini secara hukum, khususnya mereka yang telah dibunuh dan dikuburkan dengan cara yang tidak layak. Hanya, Putmuinah, Ketua Lembaga Pengkajian Kekejaman 1966, berharap lebih jauh. Menurut dia, sebab-musabab pembunuhan itu pun perlu diteliti untuk mencari siapa yang harus bertanggung jawab. Soalnya, Putmuinah mengaku melihat dengan mata kepala sendiri kekejaman yang dilakukan tentara ketika terjadi operasi ”tumpas kelor” terhadap PKI sekitar tahun 1968. Saat itu, kata dia, banyak orang tidak bersalah menjadi korban. Banyak lelaki dibunuh tentara, kemudian istrinya diambil. Rumah beserta harta benda yang dimiliki juga ikut dirampas. ”Begitu tentara masuk Blitar Selatan, semua warga desa ketakutan. Padahal warga desa itu tak tahu apa-apa mengenai politik,” ujar Putmuinah, yang sekarang berusia 72 tahun. Gua Tikus diduga hanyalah salah satu tempat pembuangan orang-orang yang dianggap terlibat dalam PKI. Karena saat itu Kabupaten Blitar dikenal sebagai tempat aman bagi persembunyian orang-orang PKI. Setelah peristiwa 30 September, di kawasan tandus itulah para anggota PKI yang melarikan diri dari Jawa Barat dan Jawa Tengah bersembunyi. Di sana mereka membuat ruang bawah tanah (ruba) seperti yang sering kita lihat di film-film tentang Vietnam. Menurut buku resmi militer berjudul Operasi Trisula, ada banyak sekali ruba ditemukan di Blitar pada akhir 1960-an. Selama beroperasi di sana, tentara menemukan puluhan gua dan ruba tempat persembunyian, dari yang berukuran kecil untuk memuat lima orang hingga yang berukuran besar untuk menampung 50-an manusia. M. Jasin, Panglima Kodam Brawijaya kala itu, mengaku terheran-heran. ”Dari mana mereka belajar membuat gua seperti itu?” tanya Jasin kepada Nurkhoiri dari TEMPO (lihat Palu Arit di Tanah Tandus). Setelah membaca adanya kegiatan sisa-sisa PKI di Blitar, pada 3 Juli 1968 tentara memulai operasi dengan nama sandi Operasi Trisula. Penyerangan yang dilakukan oleh pasukan dari Kodam VIII Brawijaya ini dipimpin oleh Kolonel Witarmin. Dalam operasi ini militer mendapat bantuan dari sipil, di antaranya Barisan Pemuda Ansor, organisasi kepemudaan yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama. Bekas Ketua Ansor, K.H. Yusuf Hasyim, yang sekarang menjadi pemimpin Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, pun mengakui. Saat itu, kata dia, memang ada sejumlah anggotanya di Blitar, Tulungagung, dan Kediri yang terlibat dalam Operasi Trisula. Tapi, menurut Yusuf, keterlibatan mereka bukan atas perintah pimpinan pusat Ansor. ”Mereka berinisiatif sendiri untuk membasmi sisa-sisa PKI,” kata Yusuf. Operasi Trisula sukses. Selain meruntuhkan basis PKI, menurut TNI, pihaknya berhasil menangkap atau membunuh puluhan tokoh partai itu. Hanya, jumlah persis korban akibat operasi militer itu sulit diketahui. Apalagi di mana saja mereka dikuburkan. M. Jasin pun hanya menggeleng ketika dimintai komentar tentang Gua Tikus yang kini diributkan orang. Praktis hanya saksi-saksi dari warga sekitar gua itu yang bisa berkisah. Bukti sebuah tulang rahang pun tak bisa bercerita banyak. Kebenaran yang dicari Esther masih terkubur di dasar gua, dan terhalang perintah bupati. Wicaksono, Hadriani Pudjiarti, Dwidjo U. Maksum (Blitar), Sunudyantoro (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus