PADA pertengahan 1968, tiga tahun setelah kudeta yang gagal, tak ada yang aneh di Sungai Maron, Blitar Selatan. Tapi pasukan Komando Daerah Militer Brawijaya dibuat heran. Menge-jar sejumlah anggota Partai Komunis Indonesia, mereka selalu kehilangan jejak begitu sampai di sungai itu.
Tentara memperkirakan mereka bersembunyi di ruba alias rumah bawah tanah, yakni gua persembunyian di dalam bumi. Satu peleton tentara dikerahkan untuk menyisir wilayah itu, tapi tak juga menemukan pintu masuknya.
Andai saja para pelarian itu sedikit bersabar, mereka akan selamat. Tapi, mungkin karena panik, salah seorang dari mereka menembak tentara melalui sebuah rongga kecil ventilasi udara. Itu membuat tentara tahu posisi persembunyian mereka meski tetap tak bisa menebak pintu masuknya. Pasukan zeni, yang memang berniat membunuh mereka, menyemprotkan api melalui lubang ventilasi.
Setelah suasana tenang, tentara menemukan ”pintu masuk” ke gua buatan itu: orang harus menyelam di Sungai Maron untuk bisa mencapainya. Setelah masuk, mereka menemukan dalam rongga bumi itu 11 manusia yang tewas akibat semprotan api atau tersedak gas.
Episode tragis yang hampir sama dengan hal itu bisa disaksikan dalam Platoon, film tentang Perang Vietnam arahan sutradara Oliver Stone. Gerilyawan komunis Vietkong membangun ruang dan lorong persembunyian bawah tanah. Itu merupakan taktik ampuh untuk melawan mesin militer Amerika yang perkasa. Tapi, jika tempat persembunyian diketahui, akibatnya bisa fatal: tentara Amerika hanya perlu menyuntikkan api dan gas untuk menghabisi mereka.
Tempat persembunyian di Sungai Maron itu, seperti ditulis dalam buku resmi militer berjudul Operasi Trisula, bukan satu-satunya rumah bawah tanah yang ditemukan di Blitar pada akhir 1960-an. Selama operasi, tentara menemukan puluhan gua serupa, dari yang berukuran kecil untuk memuat lima orang hingga yang berukuran besar untuk menampung 50-an manusia.
M. Jasin, Panglima Kodam Brawijaya kala itu, mengaku kagum. ”Dari mana mereka belajar membuat gua seperti itu?” tanya Jasin, yang setelah pensiun satu dasawarsa kemudian ikut menandatangani Petisi 50 menentang rezim Soeharto.
Selain menggunakan gua buatan, kaum komunis memanfaatkan gua alam sebagai tempat berlindung dalam keadaan darurat. Kala itu, Partai Komunis Indonesia dalam posisi bertahan setelah hancur reputasinya akibat peristiwa 30 September. Tentara percaya, mereka belum sepenuhnya menyerah, tapi ingin membangun kekuatan lewat strategi ala Mao Zedong di Cina—strategi desa mengepung kota.
Desa-desa di wilayah Blitar Selatan ideal untuk tujuan itu. Wilayah itu terpencil, penduduknya mempertahankan hidup dengan bertani di tanah tandus, dan aparat pemerintah sangat sulit menjangkaunya. Beberapa jalan menuju desa harus lewat jalur setapak yang mudah menyesatkan.
Blitar tampaknya juga dipilih karena faktor politik. Pada Pemilihan Umum 1955, PKI meraup suara besar, di atas 80 persen, di wilayah ini. Dukungan rakyat itu bisa menjadi modal kuat untuk melakukan taktik gerilya—tentara tak bisa memisahkan mana gerilyawan dan mana rakyat biasa. Tak aneh jika sejumlah pemimpin partai, khususnya dari kawasan selatan Jawa, juga bersembunyi ke situ untuk menghindari gelombang pembantaian setelah 1965.
Tentara percaya, mereka tak sekadar bersembunyi, tapi juga membangun kekuatan. Mereka mempersiapkan diri, menyusun organisasi, bahkan membentuk Komite Sentral yang dipimpin Ruslan Widjaja Sastra. Sebelum 1965, Ruslan memang anggota komite elite PKI di tingkat nasional. Mereka juga membuat sejumlah sekolah perlawanan rakyat, semacam pendidikan dasar militer bagi warga setempat. Untuk menjaga kemungkinan terburuk, mereka membuat sejumlah gua persembunyian tadi.
Pada tahap awal, menurut dokumen tentara, operasi PKI dilakukan dengan merebut senjata sebanyak mungkin. Pada Mei 1968, misalnya, mereka menyerang satu regu tentara di Desa Panggung Duwet, menewaskan tiga tentara, dan merampas dua pucuk senjata api. Sejumlah operasi serupa berhasil memperbanyak koleksi senjata mereka.
PKI juga membangun jaringan organisasi bawah tanah di perkotaan. Pada Juli 1968, tentara menangkap Soepadmi, yang dalam buku Operasi Trisula disebut mengaku bertugas mengorganisasi pelacur di Kediri. Tujuannya? ”Untuk mempengaruhi dan membunuh pejabat-pejabat penting.”
Intelijen militer mulai mengendus langkah-langkah awal PKI di Blitar Selatan itu pada pertengahan 1967. Operasi militer dilakukan setelah Panglima M. Jasin mendengar laporan intelijen tentang ”rencana penculikan bekas presiden Sukarno untuk dibawa ke Blitar.” Jasin merasa heran. ”Mengapa Blitar?” Ia kemudian memusatkan perhatian ke wilayah tersebut.
Informasi tentang Blitar Selatan juga diperoleh dari hasil interogasi terhadap sejumlah tokoh lokal PKI yang tertangkap. Dari mereka pula tentara tahu tokoh-tokoh utama yang bersembunyi di situ.
Pada akhir Mei 1968, militer mulai menggelar Operasi Trisula. Operasi ini sempat terhambat karena kekurangan dana. Jasin sempat kelabakan mencari uang. ”Saya harus pinjam dari Gubernur (Jawa Timur) Mohammad Noer sebanyak Rp 20 juta,” katanya.
Dalam operasi yang berlangsung hanya empat minggu, Kodam Brawijaya mengerahkan enam batalion. Pasukan ini melakukan operasi pagar betis mengurung wilayah itu. Jaring ini sangat ketat: setiap 400 meter, dibuat pos tentara dan hansip. Tentara juga menempati desa-desa di kawasan itu sehingga para tokoh PKI makin sulit bergerak.
Dari seorang kurir PKI yang tertembak, tentara antara lain menemukan surat rahasia yang ditulis dalam ejaan lama: ”Dalam waktu singkat Ejang menudju ke timur karena beratnja tekanan2 operasi militer.” Yang dimaksud ”Ejang” atau eyang (kakek) dalam ejaan baru adalah Olean Hutapea, pemimpin teras PKI.
Menyadari PKI memperoleh dukungan kuat dari rakyat, tentara juga melakukan perang urat saraf, baik melalui propaganda maupun dengan teror. Tentara menyebarkan selebaran dari pesawat terbang dan menyelenggarakan ceramah dari desa ke desa. Sejumlah bekas tokoh PKI lokal yang tertangkap dibawa dalam ceramah seperti itu untuk menjelaskan pertobatannya.
Untuk menghilangkan dukungan rakyat pada komunis dan menarik simpati rakyat ke pihaknya, tentara membangun sekolah dan memperbaiki prasarana jalan. Simpatisan PKI yang sekadar ikut-ikutan tidak ditahan, tapi digunduli kepalanya, lalu tenaganya dimanfatkan untuk kerja paksa membangun jalan.
Militer menilai operasinya sangat berhasil. Selain meruntuhkan basis PKI di situ, dokumen resmi menyebut, mereka berhasil menangkap atau membunuh 57 tokoh partai. Olean Hutapea dan Soerachman adalah dua anggota Komite Sentral yang dibunuh. Sedangkan yang tertangkap hidup antara lain Mochamad Moenir dan Rewang—keduanya bekas anggota Polit Biro.
Jumlah persis korban akibat operasi militer itu sulit diketahui. ”Saat itu ada banyak orang luar Blitar yang datang ke sana, yang tentunya tak bisa diidentifikasi oleh warga setempat,” kata Hermawan Sulistyo, penulis Palu Arit di Ladang Tebu, buku yang mengisahkan pembunuhan anggota PKI setelah peristiwa 1965 di Jombang. Selain itu, menurut Hermawan, ada kendala teknis pencatatan. ”Saat itu kertas sangat jarang, tidak seperti sekarang.”
Berbeda dengan kasus Jombang, tidak ada laporan terjadi pembantaian massal di Blitar Selatan hingga muncul temuan mayat di Gua Tikus. Hermawan hanya menduga-duga. Ia tidak bisa memberikan jawaban pasti. Sedangkan Jasin hanya menggeleng. ”Saya tidak tahu Gua Tikus,” katanya, ”Saya berada di tingkat pembuat kebijakan.”
Nurkhoiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini