Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sepotong Roti untuk Kristin

21 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suara Kristin, 22 tahun, terdengar parau. Dari ujung telepon, ia terisak mengadukan nasibnya. "Saya ketahuan makan apel milik majikan, lalu didenda. Bantulah saya. Sepotong roti pun tak apa," kata pembantu asal Nusa Tenggara Barat itu. Di ujung telepon yang lain, Nining Johar, 30 tahun, juga pembantu rumah tangga, berusaha menenangkan. "Oke, kamu tinggal di mana? Kami akan datang membawa yang kamu butuhkan," jawab Nining.

"Kristin pembantu baru. Badannya habis. Gajinya sebenarnya cuma cukup untuk beli sabun dan bedak. Habislah kalau ia kena denda majikan," ujar Nining kepada TEMPO, yang menemuinya di sebuah kafe di Boat Quay, Singapura. Pada sebuah akhir pekan, Nining dan beberapa pembantu lain menemui Kristin di rumah majikannya di lantai tiga Apartemen Bedok South, Singapura. Mereka membawa kue kering, mi instan, beberapa batang sabun, dan pembalut wanita.

Nining Johar hanyalah salah satu relawan yang membantu tenaga kerja Indonesia di Singapura yang sedang ketiban masalah. Prinsipnya, para pembantu senior menolong mereka yang baru datang. Paguyuban "dari dan untuk pembantu" itu diberi nama Indo Family.

Awalnya adalah ketidaksengajaan. Suatu ketika, pertengahan 2000 lalu, Nining dan Sukeni (pembantu rumah tangga lainnya) menolong seorang dosen di National University of Singapore yang tengah membuat penelitian tentang pembantu.

Ide membuat lembaga itu kemudian muncul. Pucuk dicinta ulam tiba: The Working Committee 2—sebuah komite ad hoc yang membidangi masalah pekerja imigran di Singapura—mendukung rencana itu. Nining lalu mengajak kawannya yang lain. Langkah pertama yang mereka lakukan untuk menyosialisasi Indo Family adalah menyebarkan nomor telepon seluler yang bisa diakses 24 jam. Mereka juga mendatangi tempat-tempat pengajian, menyebarkan cerita dari mulut ke mulut, menebar pesan pendek (SMS), menempel selebaran di kotak-kotak pos, dan memasang advertensi di media massa.

Belum semua pembantu rumah tangga asal Indonesia di Singapura terjangkau oleh Indo Family, memang. Maklum, di Negeri Singa itu saat ini ada sekitar 70 ribu pembantu rumah tangga. Umumnya kondisi mereka menyedihkan, terutama pada bulan-bulan pertama bekerja. Pada kontrak pertama, mereka menerima gaji 230-250 dolar Singapura ( Rp 1.150.000-Rp 1.250.000). Tapi, selama 6-7 bulan pertama, mereka hanya menerima 20-30 dolar atau hanya sekitar Rp 100 ribu. Sebagian besar lainnya diambil agen tenaga kerja untuk mengganti biaya administrasi, pelatihan, pengiriman, dan fee untuk agen tadi.

Menurut Nining, sasaran utama Indo Family adalah pembantu baru yang masih "gagap" dengan kehidupan Singapura. "Kadang mereka hanya butuh teman curhat (mengobrol), tanya resep masakan Cina, atau konsultasi bahasa," kata pembantu yang sudah lima tahun bekerja di Singapura itu.

Untuk menjadi sinterklas kecil, Nining dan Sukeni harus merogoh isi kantong sendiri. Dalam sebulan, mereka rata-rata menghabiskan 100-200 dolar. Dengan jam terbang yang tinggi, Nining memperoleh gaji lumayan, sekitar 500 dolar (Rp 2,5 juta). Sukeni bergaji lebih besar: 2.000 dolar atau sekitar Rp 10 juta. "Syukurlah, saya mendapat rezeki lebih, jadi saya bisa membantu mereka," ujar Sukeni—mojang Cirebon yang Januari nanti akan menikah dengan pengusaha Australia.

Selain bantingan uang pribadi, Indo Family mendapat sumbangan dari para majikan yang baik hati. Tak cuma menyumbangkan uang, para juragan memberikan baju bekas yang bisa dijual 1-3 dolar sebuah. Uang hasil berjualan itulah yang dipakai untuk membantu kawan yang kesulitan.

Ada yang lucu juga. Untuk menambah uang kas Indo Family, Nining terkadang membeli lotre yang secara resmi dijual di Singapura. Harganya satu dolar per kupon. "Kalau tembus, kan, lumayan, bisa bantu lebih banyak kawan," kata Nining cekikikan. Tak jelas apakah Nining pernah mendapat rezeki nomplok tersebut.

Selain dari Indo Family, para pembantu di sana mendapat bantuan pelatihan keterampilan dari sejumlah kelompok pengajian mingguan seperti Darul Arqom dan Annisa. Cuma, Nining berpikir, tak semua kawan senasibnya muslim. "Mereka kan warga Indonesia juga. Makanya kami pilih jalur umum," kata ibu satu anak di Bandung itu.

Menurut Duta Besar Indonesia di Singapura, Mochamad S. Hidayat, pemerintah sebetulnya tak tinggal diam terhadap berbagai kasus yang dialami pembantu di Singapura. Setiap minggu ketiga tiap bulannya, kedutaan menggelar berbagai kursus gratis, dari memasak, menjahit, sampai kursus bahasa Inggris dan Mandarin, untuk para pembantu. Sedangkan untuk mereka yang bermasalah dan perlu bantuan hukum, pemerintah menampungnya di wisma penampungan khusus dan, bila dibutuhkan, menyiapkan pengacara.

Cuma, kata Hidayat, masalah utama mereka adalah tak siap mental dan kurangnya keterampilan. Banyak pembantu dikirim asal-asalan tanpa bekal cukup. Selain itu, "Banyak pembantu kita yang cengeng." kata Pak Dubes.

Pemerintah mengeluh soal pembantu yang cengeng. Di Singapura, para pembantu cengeng justru "diselamatkan" pembantu lainnya.

Adi Prasetya (Singapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus