Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Serbuan Keris Aeng Tong Tong dan Palongan

Keris buatan Desa Aeng Tong Tong dan Palongan merajai pasar Indonesia serta diminati sejumlah negara. Di mana ada lapak keris di Tanah Air, pasti ada keris buatan dua desa di Madura itu.

13 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tangan Syaiful, pahat sebesar lidi itu seperti menari-nari di pipihan bilah keris luk (lekuk) sembilan. Dengan ketekunan dan ketelatenannya, pemuda 25 tahun itu tengah memberi pamor (motif pada bilah keris) berbentuk ukiran. Ujung ukiran membentuk paruh garuda, tepat di sisi atas bilah keris.

Sore pertengahan Mei lalu itu Syaiful tak bekerja sendirian. Ada tiga rekannya yang juga tengah sibuk membikin ornamen ukiran di bilah keris yang masih polos. Suara pahat yang beradu dengan palu terdengar bersahutan. Di dekat para empu muda itu, pahat dengan berbagai ukuran, dari yang sebesar jari kelingking hingga sekecil lidi, tampak berserakan. Di sana terdapat pula peranti lainnya, seperti palu, gergaji, tabung las, dan beji.

Bengkel tempat mereka bekerja hanya bilik bambu semipermanen seluas kira-kira 40 meter persegi. Bengkel itu berada di sisi kiri rumah utama Syaiful. Hanya sepelemparan batu dari bilik Syaiful terdapat bilik lain milik tetangganya. Di sana juga tengah ada aktivitas pembuatan keris. Bunyi beji yang dipakai untuk menajamkan sisi keris terdengar memekakkan telinga. ”Kami bekerja dari pagi hingga waktu asar,” ujar Syaiful.

Begitulah suasana Aeng Tong Tong, sebuah desa di Kecamatan Saronggi, Sumenep, Jawa Timur, yang telah puluhan tahun dikenal sebagai sentra pembuat keris. Aeng Tong Tong seperti tak mengenal musim. Saban hari produksi keris terus menggeliat di sana. Denting logam yang ditempa ditingkahi suara pahat beradu palu mewarnai keseharian desa tandus itu.

Kendati produksi keris Aeng Tong Tong mulai marak pada 1960-an, sebenarnya desa itu memiliki sejarah panjang soal pusaka. Menurut RM Srihono Darmodiningrat, 75 tahun, anggota organisasi Javanologi Jawa Timur, saat Trunojoyo, tokoh dari Pamekasan, Madura, memberontak pada Kerajaan Mataram yang didukung Belanda pada 1600-an, semua pusaka pengikutnya dipasok dari Aeng Tong Tong. ”Pasukan Trunojoyo tak pernah kekurangan senjata karena selalu dipasok oleh empu-empu dari Aeng Tong Tong,” kata Srihono.

Seorang empu di Aeng Tong Tong, Zaenal Arifin, mengatakan 65 persen dari total sekitar 1.400 warga di desa itu terjun menjadi empu. Adapun sisanya bekerja di ladang atau sawah serta merantau. Empu di sana tak hanya mahir membuat keris, tapi juga senjata pusaka lainnya, seperti mata tombak, trisula, dan pisau.

Zaenal menambahkan, keahlian para empu yang rata-rata relatif muda itu sebagian karena warisan orang tuanya yang juga seorang empu. Sebagian lainnya karena mereka memang belajar sendiri. ”Ada yang mula-mula berguru ke seorang empu, setelah mahir terus membuat pusaka sendiri,” kata Zaenal, 41 tahun, yang mewarisi kepiawaian membuat keris dari ayah dan pamannya—dua empu yang disegani di Aeng Tong Tong.

Hanya, tutur Zaenal, ada yang berubah dalam peralatan untuk membuat keris. Saat ini peralatan yang dipakai untuk membuat keris sudah cukup modern. Dulu, agar bisa diukir dan dibentuk pamornya, keris dibakar di paron (besi landasan tempa), tapi sekarang cukup dengan api las. Untuk menajamkan sisi keris, dulu empu sering menggunakan kikir. ”Tapi sekarang banyak yang pakai beji,” ujarnya.

Perubahan tradisi membuat keris juga tengah berubah di Palongan, desa tetangga Aeng Tong Tong yang juga terkenal sebagai sentra keris Madura. Menurut Zulhan, seorang empu di Palongan, tradisi membuat keris yang dimulai dari tirakat memang masih berlangsung di Palongan. Biasanya, empu itu berpuasa tiga hari sebelum mulai membuat keris pusaka. Dalam laku tirakatnya itu, sang empu tidak boleh bicara dan berhubungan intim. ”Bila dilanggar, tuah pusaka yang dibikin akan berkurang,” kata Zulhan.

Namun, Zulhan menambahkan, tradisi itu mulai ditinggalkan oleh empu yang lebih muda, termasuk dirinya. Sebelum membuat keris, Zulhan cukup mengadakan selamatan pada malam Jumat Legi. ”Yang penting hatinya bersih,” ujar bapak satu anak ini, yang mewarisi keahlian membuat keris dari ayahnya, Dairi, seorang empu yang dihormati di Palongan.

Zulhan adalah empu yang tak mengejar kuantitas. Dia hanya membuat keris pusaka dan menolak pesanan membuat keris suvenir. Dia juga tak mau menerima besi sembarangan yang hendak dibikin menjadi keris. Tak mengherankan bila dalam waktu tiga bulan paling banter Zulhan hanya berhasil menyelesaikan satu keris.

Zulhan juga tak hanya piawai membuat keris Jawa. Gaya Bali pun biasa dia kerjakan. Bahkan ia mengaku baru mendapat telepon dari orang Kalimantan agar dibuatkan keris pusaka khas Kalimantan Barat. ”Kalau ada contohnya, meski hanya berwujud gambar, saya sanggup membuatkan,” katanya.

|||

Dalam sepekan, keris yang dihasilkan Aeng Tong Tong dan Palongan bisa mencapai ratusan bilah. Sebab, selain para empu yang tak mengejar jumlah seperti Zaenal dan Zulhan, banyak pembuat keris di sana yang bisa menghasilkan puluhan keris dalam sepekan. Sebagian besar keris yang dihasilkan dua desa itu berupa bilah keris yang telah dihiasi pamor. Adapun warangka (sarung keris) dan pegangannya biasanya dipesan dari daerah lain di luar Madura, seperti Yogyakarta. Meski begitu, di sana juga ada perajin yang khusus membuat warangka. Salah satunya Sasrudi, 38 tahun, warga Palongan. Sasrudi biasa membuat warangka bila ada pesanan dari pengepul atau empu.

Baik empu Aeng Tong Tong maupun Palongan tak membikin keris dari nol. Mereka mengambil bahan baku yang sudah setengah jadi dari pandai besi di Desa Lenteng Barat, Sumenep. Bahan bakunya berupa besi baja yang diambil dari Surabaya. Kemudian empu-empu itu tinggal membentuk menjadi keris yang lebih halus serta memberi polesan pamor agar tampak lebih indah.

Menurut Zaenal, keris Aeng Tong Tong dan Palongan banyak yang dipasarkan ke kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, dan Denpasar. Keris dari kedua desa itu ada juga yang diekspor ke Singapura, Brunei, Malaysia, Amerika, dan negara-negara Eropa. ”Ibaratnya, di mana ada bakul (penjual) keris, pasti ada keris Maduranya,” ujar Zaenal, empu yang juga distributor keris Madura.

Pemasaran keris kedua desa itu juga dilakukan secara perorangan. Misalnya, ada seorang penggemar keris atau makelar keris yang datang ke desa itu untuk mencari keris. Saleh, 60 tahun, warga Palongan, mengatakan dia sering mengantarkan orang dari luar kota yang datang ke Aeng Tong Tong untuk mencari keris. Tak puas di satu empu, biasanya tamu akan membanding-bandingkan dengan empu lainnya. ”Dalam sebulan rata-rata saya mengantarkan empat tamu yang mencari keris,” katanya.

Harga keris buatan Aeng Tong Tong dan Palongan berkisar ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah per buah. Menurut Zaenal, empu yang juga distributor keris pusaka Aeng Tong Tong, masalah harga hampir tak ada patokannya. Sebab, bila pembeli sudah cocok, berapa pun harga yang ditawarkan akan diambil. ”Apalagi kalau yang membeli itu seorang kolektor,” ujarnya.

Namun seorang pembeli tetap saja melihat sosok keris itu dari unsur dhapur (tipe atau bentuk), tangguh (perkiraan tahun pembuatan), wilah (bilah), dan pamor (motif). Bila unsur-unsur itu telah terpenuhi, barulah unsur berikutnya turut melengkapi, yaitu rangka dan pegangannya. Rangka yang paling bagus, menurut Zaenal, berupa kayu kemuning atau cendana. Adapun pegangannya dari gading gajah. ”Kalau semua terpenuhi, harganya bisa mencapai ratusan juta,” katanya.

Dhapur keris yang belakangan banyak diminati, tutur Zaenal, adalah Guling Mataram dan Megantoro. Juga dapur keris Majapahit. Biasanya kalau diminati harganya tinggi. Keris pusaka buatan Zaenal pernah dibeli seorang politikus Partai Gerindra dan seorang petinggi kepolisian dengan harga sekitar Rp 10 juta. Bahkan keris pusaka karya Zaenal dibeli seharga Rp 100 juta oleh duta besar Venezuela.

Keris telah memberikan kemakmuran bagi Aeng Tong Tong dan Palongan. Meski berada di lahan tandus, kehidupan kedua desa sentra keris Madura itu cukup sejahtera. Rumah-rumah di sana sudah berdinding bata, jarang yang dari bambu. Hampir setiap rumah memasang antena parabola. Menurut Mat Raji, Kepala Desa Palongan, warga membeli parabola karena sulit menonton televisi. ”Tanpa parabola, gambar di televisi hanya semut semua,” ujarnya tersenyum.

Kukuh S. Wibowo (Sumenep)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus