Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTUK sementara mari melupakan Soebagio Sastrowardojo. Untuk sementara mari percaya bahwa ”seribu rumus ilmu yang penuh janji” sama pentingnya dengan ”satu puisi”. Pada 1961 penyair itu menulis sajak yang banyak dikutip, Manusia Pertama di Angkasa Luar. Katanya, ”Beri aku satu kata puisi/daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji/yang membuatku terlontar kian jauh dari bumi yang kukasihi.”
Soebagio tentu tak sedang meremehkan ilmu. Ia sedang melukiskan kesepian manusia akibat pengetahuan. Dan ketika itu terjadi, manusia membutuhkan puisi. Tapi seribu rumus ilmu—angka, statistik, diagram, dan tabel—itulah yang dipilih Tempo dalam edisi khusus kali ini. Sebuah ikhtiar untuk menunjukkan bahwa angka adalah alat untuk menjelaskan sesuatu. Di dalam angka-angka mungkin terselip selarik puisi.
SYAHDAN, tiga tahun sudah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla memimpin Indonesia. Mereka dipuji dan dimaki. Yudhoyono dinilai berhasil memelihara iklim demokrasi dan memperbaiki sendi-sendi ekonomi. Kalla disanjung karena mampu menyelesaikan konflik Aceh dan sigap dalam menangani bencana alam.
Tapi kritik kepada keduanya tak sedikit. Yudhoyono dianggap lamban, peragu, dan terlalu sibuk tebar pesona. Kalla dikeluhkan kerap menabrak aturan dan punya kecenderungan nepotis. Dalam satu hal keduanya bertolak belakang: Kalla yang saudagar menjalankan prinsip pukul dulu, urusan belakangan. Yudhoyono yang militer dan kutu buku berpikir mendalam untuk kemudian, kerap kali, lamban mengambil keputusan.
Begitukah? Nanti dulu. Soalnya, statistik bisa berkata lain. Melalui sebuah survei nasional, kepada publik diajukan sejumlah pertanyaan. Tentang Yudhoyono: benarkah ia peragu, hanya tebar pesona, hanya mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya serta punya kecenderungan melakukan korupsi? Tentang Jusuf Kalla: benarkah ia nepotis, korupsi, dan kerap menabrak aturan?
Umumnya responden membantahnya. Hanya seperempat dari total responden yang percaya bahwa Yudhoyono peragu. Terhadap item pertanyaan lain, lebih sedikit lagi publik yang memberikan pendapat negatif. Terhadap Jusuf Kalla idem ditto: hanya seperlima responden yang percaya bahwa Kalla nepotis dan cuma sejumput orang yang percaya ia korupsi.
Publik mungkin jujur. Mungkin juga mereka tak tahu. Lebih dari 1.000 orang yang menjadi responden penelitian ini adalah masyarakat ramai yang tersuruk di pelosok-pelosok. Apa yang mereka lihat di televisi adalah Yudhoyono yang tersenyum di hadapan pemudik yang menyemut di terminal dan pelabuhan. Di layar kaca, Jusuf Kalla adalah lelaki sederhana yang menggulung lengan baju seraya membagikan bantuan kepada korban bencana alam. Dengan kata lain, di sini ada politik citra. Dan para responden itu adalah representasi dari calon pemilih dalam Pemilu 2009 nanti.
Pemilih pada akhirnya punya logikanya sendiri. Program kerja atau kinerja adalah faktor kesekian yang diperhitungkan konstituen. Yang mereka perhitungan adalah suku, agama, kedekatan domisili, perasaan senasib karena berasal dari kampung yang sama, atau karena kandidat yang satu lebih ganteng daripada kandidat yang lain.
Inilah barangkali puisi muram itu: konstituen kita, setelah 62 tahun Indonesia merdeka dan sembilan tahun menikmati demokrasi, belum beranjak dari tipe pemilih tradisional.
Karakter pemilih inilah yang disadari oleh kandidat. Itulah sebabnya alih-alih menyiapkan konsep yang bagus jika kelak mereka memerintah, para kandidat sibuk berbedak. Ada yang mendatangi juru kunci gunung berapi, ada pula yang sibuk menyambut pemain sepak bola kelas dunia. Semua dengan satu tujuan: memacu popularitas.
LALU datanglah puisi muram yang kedua. Yakni bahwa stok kepemimpinan kita ternyata sangat terbatas dan belum beranjak dari yang itu-itu juga.
Ketika kepada responden ditanyakan siapakah yang akan mereka pilih sebagai presiden jika pemilihan umum dilaksanakan hari ini, mereka memberikan jawaban yang tak mengejutkan. Urutan persentasenya masih seperti yang lalu-lalu: Yudhoyono, Megawati, Wiranto, Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, Jusuf Kalla, dan Sutiyoso. Dua yang pertama mendapat persentase tertinggi, yang lainnya hanya kandidat ”satu digit”. Hidayat dan Sutiyoso memang nama baru. Tapi, mengingat angka mereka tak seberapa, keduanya tampaknya hanya bakal jadi penggembira.
Lalu ke mana anak-anak muda—darah segar yang datang dengan tangan terkepal dan berjuta cita-cita menggumpal di kepala? Tak ada. Dalam sebuah diskusi terbatas, seorang pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pernah berbisik, ”Kami bukan tak punya stok pemimpin, tapi yang bisa menandingi SBY ya cuma Megawati.”
Publik miskin imajinasi? Mungkin tidak. Mereka ha nya memaparkan fakta bahwa rekrutmen politik kita—melalui partai, universitas, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga lainnya—memang tak jalan. Tanpa secara berlebihan bermaksud menyalahkan masa lalu, pengekangan di masa Orde Baru sedikit banyak punya pengaruh. Sembilan tahun reformasi bukanlah ”hujan sehari” yang bisa menghapus ”kemarau setahun” bernama depolitisasi.
Maka apa yang disajikan dalam edisi khusus ini adalah potret yang tak terlampau menggembirakan. Angka-angka dan selarik puisi murung yang barangkali harus dibaca dengan kepala tak tengadah.
Tim Liputan Edisi Khusus
Penanggung Jawab Proyek: Arif Zulkifli Koordinator: Budi Setyarso, Elik Susanto, Sunudyantoro, Abdul Manan Penyunting: Arif Zulkifli, Toriq Hadad, Hermien Y. Kleden, M. Taufiqurohman, Putu Setia, Amarzan Loebis, Wahyu Muryadi, Nugroho Dewanto, L.R. Baskoro, Idrus F. Sahab, Yudono Yanuar, Bina Bektiati, Yosep Suprayogi, Leila S. Chudori Penulis: Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Sunudyantoro, Abdul Manan, Heri Susanto, Elik Susanto, Adek Media Roza, Budi Riza, Yudono Yanuar, Philipus Parera, Untung Widyanto, Wenseslaus Manggut, Widiarsi Agustina, D.A. Candraningrum, Kurie Suditomo Penyumbang Bahan: Imron Rosyid (Solo), Dini Mawuntyas (Madiun), Rofiqi Hasan (Denpasar), Sohirin (Semarang), Dwidjo Utomo Maksum (Blitar) Foto: Rully Kesuma, Mazmur Sembiring, Arif Fadillah, Bismo Agung, Nur Haryanto Desain: Gilang Rahadian, Anita Lawudjaja, Fitra Moerat, Danendro Adi, Ahmad Aulianshah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo