Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA malam menjelang tiga tahun usia pemerintahannya, Jumat dua pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi tempat yang tak biasa: studio rekaman. Ia memeriksa proses akhir pembuatan album lagu ciptaannya, Rinduku Padamu, yang diluncurkan pada Ahad malam kemarin.
Zone One, studio sempit di gang kecil di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan, itu penuh sesak. Presiden ditemani Ibu Ani Yudhoyono. Lalu ada Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto bersama istri, serta Mayor Jenderal Bambang Sutedjo, sekretaris militer Presiden. Puluhan anggota Pasukan Pengamanan Presiden berdiri di setiap pintu.
Pada malam itu Yudhoyono menyimak hasil rekaman Dea Mirela, penyanyi yang mendendangkan Selamat Berjuang. Ditulis Presiden sehari sebelum Lebaran, lagu ini berkisah tentang istri yang ditinggal suaminya bertugas. Seperti biasa, ia terlihat serius. ”Secara umum, 98 persen perfect, Dea menyanyi bagus sekali,” katanya. ”Tapi, kalau bisa, dua bait terakhir tidak usah terlalu banyak cengkok.”
Darma Oratmangun, pencipta lagu yang dalam album ini menyanyikan tiga lagu ciptaan Yudhoyono, menimpali, ”Bisa, Pak, nanti Dea Mirela kita rekam ulang.” Jimmie Manopo, penabuh drum yang kini jadi penata musik, mengangguk. Presiden—malam itu mengaku sebagai seniman—berkata, ”Saya ingin lagu ini diakhiri dengan paduan suara satu suara dua yang syahdu. Seperti lagu-lagu Bee Gees itu.…”
KURANG dari sepekan sebelumnya, hari pertama Lebaran, Wakil Presiden Jusuf Kalla melakukan serangkaian silaturahmi yang menarik perhatian publik. Ia mengunjungi para mantan presiden: Soeharto, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri. Esok harinya, media massa memajang berita dan foto ”halal bihalal politik” itu.
Di rumah Soeharto, Jalan Cendana 8, Menteng, Jakarta Pusat, Kalla diterima Soeharto sekitar 20 menit. Mantan penguasa Orde Baru itu ditemani dua putrinya, Siti Hedijati Harjadi (Titiek) dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).
Kepada tamunya, Soeharto mengaku berpuasa hampir sebulan penuh. Hanya sehari ia merasa batal karena berbuka sebelum magrib. Gara-garanya, gordin jendela kamarnya sudah ditutup menjelang petang. ”Saya ada di kamar tertutup, jadi saya pikir sudah magrib,” tutur Soeharto seperti ditirukan Kalla kepada Tempo.
Soeharto juga sempat bercanda bahwa dia kini menjadi orang kaya. Soalnya, ia akan segera punya Rp 1 triliun hasil kemenangan gugatannya di pengadilan atas majalah Time. Seorang staf Wakil Presiden yang mengikuti kunjungan itu bercerita, di akhir pertemuan Soeharto juga berpesan kepada Kalla, ”Kelak, kalau sudah jadi presiden, tolong pikirken rakyat.…”
DUA tokoh, dua kegiatan. Banyak yang percaya, dua tokoh itu sedang berusaha membangun citra. Apalagi Yudhoyono pekan lalu juga berpelukan mesra dengan Taufiq Kiemas, suami Megawati, dalam halal bihalal keluarga Sulawesi Selatan. Adapun Jusuf Kalla juga semakin rajin berkunjung ke daerah sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Andi Mallarangeng, juru bicara kepresiden menepis dugaan itu. Menurut dia, peluncuran album lagu-lagu karya Yudhoyono murni bentuk aktivitas seni Presiden. ”Album ini sekaligus dijadikan momentum untuk mencanangkan gerakan anti pembajakan hak cipta,” katanya.
Jusuf Kalla pun menyatakan kunjungannya ke sejumlah mantan pemimpin bangsa adalah bentuk usaha menjaga silaturahmi. ”Tidak ada politik-politikan. Saya juga sudah bilang ke Bapak Presiden soal kunjungan ini,” ujarnya.
Dilantik MPR pada 20 Oktober tiga tahun silam, Yudhoyono dan Kalla merupakan pasangan yang unik. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, wakil presiden adalah pembantu presiden. Tapi Jusuf Kalla bukan wakil presiden yang sekadar membantu Yudhoyono.
Para politikus di sekitar Jusuf Kalla percaya, posisi Wakil Presiden sangat kuat karena telah mengikat perjanjian dengan Yudhoyono sebelum mereka resmi berpasangan dalam pemilihan presiden 2004. Kesepakatan itu ditandatangani keduanya pada 16 April 2004 di Hotel Darmawangsa, Jakarta Selatan.
Alwi Hamu, staf khusus Wakil Presiden, pernah bercerita. Nota kesepahaman Yudhoyono-Kalla itu tebalnya dua halaman. Isinya, mengatur pembagian tugas antara keduanya jika ternyata menang pemilihan, sehingga wakil presiden tak sekadar ”ban serep”. Di situ ditegaskan tugas-tugas wakil presiden. ”Salah satunya mengurus masalah ekonomi,” tuturnya akhir tahun lalu.
Posisi Jusuf Kalla semakin kuat setelah ia terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar pada akhir 2004. Dengan posisi barunya itu, ia bisa memasukkan tambahan jatah kursi Partai Beringin di Kabinet Indonesia Bersatu hasil dua kali reshuffle. Di awal pembentukan kabinet, hanya ada dua politikus Golkar, yaitu Aburizal Bakrie dan Fahmi Idris. Belakangan masuk Paskah Suzetta dan Andi Mattalata.
Tak mengherankan bila aroma persaingan antara Yudhoyono dan Jusuf Kalla merupakan menu utama yang ditangkap kalangan politik selama tiga tahun usia pemerintahannya. ”Presiden dan Wakil Presiden kita ini sering tak harmonis,” kata Zulkifli Hasan, Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional.
Zulkifli memberikan contoh pertentangan terbuka antara Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi, hampir setahun lalu. Ketika itu Jusuf Kalla memprotes Presiden atas pembentukan unit yang dinilainya bakal memangkas sejumlah kewenangannya.
Pengamat politik Eep Saefulloh Fatah menganggap titik pecah di antara Yudhoyono dan Kalla kini telah menenggelamkan titik temu mereka. Keduanya juga telah mulai melakukan aksi-aksi personal untuk kepentingan politik dan partai mereka. ”Indikasi ke arah sana sudah makin mengemuka,” katanya.
Namun publik memang memiliki logika sendiri. Dari hasil survei Tempo bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia, hanya sepertiga responden yang menganggap mereka bersaing. Lebih dari separuh responden berpendapat sebaliknya: Yudhoyono dan Kalla adalah pasangan yang kompak. Persepsi ini memang agak berbeda dengan kesan yang dominan muncul di media massa.
Publik juga memiliki model sendiri untuk mengukur kinerja Yudhoyono. Di tiga tahun usia pemerintahannya, kepuasan publik atas kinerja mantan Kepala Staf Teritorial TNI itu cenderung menurun. Pada November tahun lalu, atau pada usia dua tahun pemerintahannya, hanya seperlima responden yang menyatakan tidak puas. Kini kelompok ini sudah hampir menembus separuh jumlah responden.
Kecenderungan ini merupakan peringatan dari pemilih Yudhoyono. Mengapa? Karena penurunan tingkat kepuasan paralel dengan merosotnya sentimen elektoral—yaitu sikap mereka bila pemilihan presiden digelar saat ini. Bandingkan sentimen elektoral pada Yudhoyono yang masih berkisar pada 47 persen tahun lalu dan kini menjadi tinggal 33 persen saja.
Penurunan kepuasan publik itu hampir merata di sejumlah sektor penting. Misalnya, publik menganggap pemerintah gagal dalam mengatasi angka kemiskinan dan pengangguran, serta mengendalikan harga bahan pokok. Kelompok yang paling merasakan akibat kegagalan itu adalah masyarakat menengah ke bawah, pemberi suara terbesar dalam pemilihan umum.
Angka lebih ekstrem soal ketidakpuasan publik pada kinerja Presiden Yudhoyono disampaikan Pusat Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Menurut Muhammad Asfar, direktur lembaga itu, hanya sepertiga responden yang menyatakan puas. Padahal, pada awal pemerintahan Yudhoyono-Kalla tingkat kepuasan publik melampaui 80 persen.
Kabar baiknya bagi Yudhoyono: sejauh ini belum ada tokoh lain yang bisa mengalahkannya bila pemilihan dilangsungkan sekarang. Mungkin kinerjanya memang buruk, tapi tetap saja ia dianggap lebih baik ketimbang tokoh lain. ”SBY masih dipandang sebagai a lesser evil figure daripada figur-figur lain,” kata Saiful Mujani, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia.
UNTUK sementara, baik Yudhoyono maupun Kalla menyatakan belum memutuskan langkah politik yang akan mereka ambil pada 2009. Keduanya sepakat akan memusatkan diri pada sisa masa pemerintahan mereka. ”Langkah politik akan kami tentukan tiga bulan sebelum pemilihan presiden,” kata Jusuf Kalla kepada Tempo.
Pendapat para mantan anggota tim sukses Yudhoyono-Kalla saat pemilihan presiden pun kini masih terbagi. Sejumlah kalangan di antara mereka yang dimintai komentar menganggap, keduanya hanya bisa menang bila tetap berpasangan. ”SBY dan Jusuf Kalla itu seperti botol dan tutupnya,” kata seorang bekas tim kampanye nasional pasangan itu. ”Jadi, sebaiknya mereka tetap berpasangan.”
Begitu juga di kalangan partai pendukung masing-masing tokoh. Di Partai Golkar, sejumlah politikus jauh-jauh hari meminta Kalla maju untuk calon RI-1. ”Bila menang pemilu, Golkar harus mengajukan calon sendiri,” kata Anton Lesiangi, politikus muda partai itu.
Dalam dua tahun sisa masa pemerintahan SBY-JK, suara-suara itu akan semakin sering terdengar. Bisa jadi, kedua tokoh pun semakin tak padu. Tak seperti harmoni suara satu suara dua dalam lagu-lagu Bee Gees, grup musik asal Inggris itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo