Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setahun Setelah <font color=#CC0000>Agus Bernyanyi</font>

Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan empat tersangka terkait dengan dugaan kasus suap di balik terpilihnya Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Istri mantan Wakil Kepala Kepolisian, Nunun Adang Daradjatun, disebut-sebut terlibat kasus ini. Juga para petinggi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

15 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEDAN MercedesBenz abuabu metalik itu kini hanya teronggok di halaman. Berbulanbulan tak disentuh, mesinnya kini ngadat dan bannya kempis. Agus Condro Prayitno, sang empunya, mengaku sudah capek me­ngurus mobil keluaran 1996 itu. ”Bolakbalik masuk bengkel,” kata Agus, 48 tahun, saat ditemui Tempo di rumahnya di Desa Kedungrejo, Batang, Jawa Tengah, Kamis pekan lalu.

Padahal, lima tahun silam, mantan politikus PDI Perjuangan ini sangat bangga dengan mobil tersebut. Mobil bekas itu dibelinya Rp 170 juta. Uang berasal dari cek yang ia dapat seusai pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. ”Ini dari Senayan, pemberian Miranda,” begitu ia selalu menjawab jika ada temannya bertanya ihwal ”mobil mewah”nya itu.

Belakangan Agus merasa tak nyaman dengan cek yang ia terima. Puncaknya, pada Juli tahun lalu, saat ia diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi berkaitan dengan kasus aliran dana Bank Indonesia Rp 31,5 miliar ke DPR, ia ”bernyanyi” tentang cek itu. Kepada penyelidik KPK, Agus mengaku mendapat 10 lembar tra­veller’s cheque atau cek pelawat senilai Rp 500 juta seusai pemilihan Deputi Gubernur Senior BI pada Juni 2004, yang memenangkan Miranda Swaray Goeltom. Nyanyian Agus lengkap. Ia menyebut siapa saja yang menerima cek itu.

Kendati menggegerkan, laporan Agus belakangan tak ada gaungnya. Hampir setahun tak terlihat Komisi melakukan tindakan atas laporan penting itu. Sampai, Selasa pekan lalu, datang kabar mengejutkan. KPK mengumumkan telah menetapkan empat tersangka yang diduga menerima suap dalam pemilihan Deputi Gubernur BI lima tahun silam itu.

Mereka adalah Dudhie Makmun Murod (PDI Perjuangan), Hamka Yandhu (Partai Golkar), Endin E.J. Soefihara (Partai Persatuan Pembangunan), dan Udju Djuhaeri (Fraksi TNI/Polri). Keempatnya sejawat Agus Condro di Komisi Keuangan dan Perbankan. ”Mereka diduga menerima uang dalam pemilihan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004,” kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Mochammad Jasin.

Para tersangka itu kini semuanya bak alergi jika melihat wartawan. Endin Soefihara, yang biasanya gampang diajak mengobrol, kini memilih menghindar jika bertemu wartawan. ”Nanti saja, belum ada pemeriksaan,” ujarnya saat ditanya perihal ”status barunya”. Demikian pula dengan Udju Djuhaeri. Adapun Dudhie, dikejarkejar hingga ke rumahnya di Pondok Labu, Jakarta Selatan, hanya menyambut Tempo dengan lambaian tangan dari dalam mobil. Ia menampik diwawancarai.

Yang sedikit mau buka mulut adalah Hamka Yandhu, yang kini dikerangkeng di rumah tahanan Brigade Mobil Kelapa Dua, Depok, Bogor. Kepada Cheta Nelawati dari Tempo, terpidana tiga tahun kasus aliran dana Bank Indonesia ke Dewan itu mengaku menerima cek pelawat. Hanya, ia tidak tahu dari siapa. ”Pokoknya tahutahu dapat. Semuanya dapat, kok,” ujarnya.

l l l

PUSAT Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sebenarnya sudah bergerak cepat ketika kasus Agus ini mencuat. Lembaga pimpinan Yunus Husein itu segera menindaklanjuti pengakuan Agus, menelisik ”kisah cek” yang disebutkan Agus. Hasilnya, PPATK menemukan 480 lembar cek perjalanan yang disebutsebut dibagikan untuk mereka yang memenangkan Miranda. Total sekitar Rp 24 miliar dengan nilai setiap lembarnya Rp 50 juta.

Kepada Tempo yang menemuinya Kamis pekan lalu, Yunus menyatakan, cek itu dicairkan oleh 102 orang. Sepuluh di antaranya anggota Dewan. Pencairan dilakukan di 15 kota, kota asal anggota Dewan, antara lain Jakarta, Pekalongan, Medan, dan Makassar. ”Semua nama dan identitas lengkapnya sudah diserahkan ke KPK pada September tahun lalu,” kata Yunus.

Data lengkap, nama jelas, rupanya tetap membuat KPK tak tergerak memeriksa mereka yang diduga menerima suap itu. Pengganjalnya, menurut sumber Tempo, Antasari Azhar. Kepada wartawan, Antasari menegaskan, data PPATK itu tak bisa dijadikan alasan memeriksa anggota Dewan. ”Data PPATK tak bisa dijadikan alat bukti di persidangan,” kata sumber Tempo menirukan Antasari.

Menurut sumber Tempo itu, Antasari memang berkeras menahan kasus ini tidak ”naik” di permukaan. Antasari, misalnya, tidak pernah menanyakan kasus ini kepada tim penyelidik. Sejak dilaporkan hingga kemudian Antasari­ ditahan pada awal Mei silam lantaran terkait kasus pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen, KPK belum pernah menggelar kasus cek pelawat ini. ”Dia pernah marahmarah sewaktu penyelidik mengajukan rencana gelar kasus,” ujar sumber Tempo.

Tapi faktor AA demikian Antasari Azhar biasa disebut dibantah Jasin. Menurut Jasin, Komisinya bekerja profesional. Pimpinan Komisi bersifat kolegial, tak tergantung Antasari. Pe­ng­ungkapan tersangka yang baru pekan lalu itu, ujarnya, semata karena Komisi baru menemukan bukti pendukung awal: cek pelawat yang sudah di­cairkan itu.

Dari pemeriksaan, kata Jasin, anggota Dewan ternyata menerima cek itu dari tangan seorang perempuan pengusaha. ”Cek itu diberikan N,” kata Jasin. Penelusuran Tempo menemukan nama yang dimaksud Jasin: Nunun Nurbaetie, pengusaha yang juga istri mantan Wakil Kepala Polri, Komisaris Jenderal Adang Daradjatun. Nunun, 58 tahun, pernah dimintai klarifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 9 Oktober 2008.

Bagaimana hubungan ”N” dan Miranda, Jasin tak mau buka mulut. Yang pasti, kata Jasin, dari keterangan para saksi, cek yang mereka terima itu berkaitan dengan pemilihan Miranda. ”Cek itu diterima N dari PT BAG,” kata Jasin.

Sumber Tempo memastikan, Nunun juga memakai perantara untuk meng­antarkan cek tersebut ke anggota Dewan. Di sini Nunun menggunakan ”tangan kanannya”, menyetorkan duit itu kepada empat utusan fraksi yang kini jadi tersangka tersebut. Sumber Tempo membisikkan, orang kepercayaan Nunun itu berinisial AMY. Pene­lusuran Tempo menemukan, AMY menduduki jabatan penting di sebuah perusahaan Nunun yang bergerak di bidang agrobisnis.

Pada saat diserahkan, 480 lembar cek itu sudah dipilahpilah dalam empat bundel dan diikat pita warnawarni. ”Pita merah untuk PDI Perjuangan, kuning Golkar, hijau PPP, dan satu bundel untuk Fraksi TNI/Polri,” ujar sumber Tempo di KPK. Penyerahan cek dilakukan di kantor Nunun, D’Lounge, di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. ”Yang menyerahkan AMY itu,” ujar sumber Tempo ini.

Nunun, kata sumber ini, mengambil cek pelawat dari BII, yang menerbitkannya atas permintaan Bank Artha Graha (BAG). Bank Artha membeli cek itu atas permintaan PT First Mujur Plantation and Industry. BAG dan First Mujur keduanya milik pengusaha Tomy Winata. Terkait dengan cek pelawat ini, pada September tahun lalu Direktorat Jenderal Imigrasi mencekal Direktur Utama Bank Artha Graha, Andi Kasih, Direktur Utama First Mujur, Hidayat Lukman, dan Direktur Keuangan, Budi Santoso, atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kepada Tempo, seorang penyelidik KPK menyatakan, komisinya kini tengah memprioritaskan penelisikan hubungan antara Nunun, Miranda, dan First Mujur.

Nunun sendiri menolak untuk ditemui. Didatangi di rumahnya di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu, yang keluar penjaga rumahnya. ”Ibu sakit,” ujar sang penjaga. Kamis lalu, ketika didatangi kembali, sang penjaga menyatakan nyonya rumah tengah pergi ke luar kota, berobat.

Kuasa hukum Nunun, Partahi Sihombing, menegaskan bahwa kliennya tidak tersangkut kasus cek pemilihan Deputi Gubernur BI itu. Sejak suami­nya mencalonkan diri menjadi Gubernur Jakarta tahun lalu, kliennya sudah tak lagi jadi pengusaha. ”Ia hanya mendampingi Pak Adang,” ujarnya. Menurut Partahi, Nunun kaget dirinya dikaitkan dengan cek itu. ”Ibu Nunun syok.”

Dihubungi Tempo pada Jumat pekan lalu, Wakil Komisaris Utama Bank Artha Graha, Tomy Winata, menegaskan dirinya tidak tahumenahu soal pembelian cek pelawat oleh banknya itu. Apalagi jika itu atas permintaan First Mujur. ”Waduh, operasional saya nggak ikut campur,” kata pengusaha terkenal itu. ”Saya datang ke kantor cuma dua kali, kalau diundang rapat pemegang saham,” kata Tomy.

l l l

BOLA kini sudah menggelinding kencang. Seorang penyelidik KPK memastikan pengakuan empat tersangka itu akan menyeret anggota Dewan lain yang juga menikmati cek itu. Agus Condro sendiri mengaku lega laporannya kini sudah ”berbuah”. ”Terbukti kan, bahwa saya tidak berbohong,” ujarnya.

Tapi, menurut Agus, empat tersangka itu hanyalah kroco alias pelaku lapangan. Ia menyebut aktor intelektual kasus ini: Tjahjo Kumolo, Panda Na­baban, dan Pramono Anung. Menurut Agus, para anggota Komisi Keuangan pernah dikumpulkan Tjahjo dan Panda dan diperintahkan memilih Miranda. Saat itu Tjahjo menyatakan tersedia Rp 300 juta untuk tiap anggota jika Miranda terpilih. ”Tapi, kalau pimpinan yang pasti lebih tinggilah,” kata Agus.

Tjahjo dan Panda tidak bisa diminta konfirmasi soal ini. Telepon genggamnya mati. Sebelumnya, kepada Tempo, Agustus silam—beberapa saat setelah Agus diperiksa KPK—keduanya menampik adanya rasuah alias duit suap di balik terpilihnya Miranda.

Bantahan serupa juga dikatakan Pramono. Dihubungi pada Sabtu pekan lalu, Pramono menyatakan dirinya tidak ada sangkutpautnya dengan kasus tersebut karena saat itu dirinya duduk di Komisi Ilmu Pengetahuan dan Lingkungan, bukan Komisi Perbankan. ”Demi Allah, saya tidak tahu sama sekali kasus itu,” ujarnya. Kendati demikian, Pramono menyatakan partainya memang mendukung Miranda. ”Tidak ada lobi. Dukungan itu semata berdasar track record dan sejarah Miranda,” ujar Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan ini.

Pengakuan berbeda keluar dari mulut Emir Moeis. Emir membenarkan, kala itu ada pembagian amplop. Hanya, dia mengaku tak tahu isi amplop itu cek, karena tidak mengambil atau melihat isinya. Ia juga membenarkan adanya pertemuan di Hotel Dharmawangsa yang disebut Agus untuk mengarahkan anggota PDI Perjuangan memilih Miranda. ”Ya.., kayak fit and proper test kecilkecilanlah,” tutur Ketua Komisi Ke­uangan ini.

Komisi Pemberantasan Korupsi kini bergerak terus mengusut kasus ini. Rabu pekan lalu, Komisi meminta pihak Imigrasi mencekal Dudhie, Endi, Hamka, dan Udju. Jasin memberikan sinyal. ”Tidak tertutup kemungkinan tersangkanya bertambah,” ujarnya. Juru bicara KPK, Johan Budi, memastikan Miranda akan segera dipanggil untuk diperiksa.

Miranda sendiri mengunci bibirnya rapatrapat jika ditanya kasus yang kini merembet ke dirinya itu. Kamis pekan lalu, tatkala diserbu wartawan di DPR, ia hanya melempar senyum. Jumat pekan lalu, kepada wartawan Tempo yang menemuinya di Denpasar, ia juga tak mau berbicara. ”Sudahlah, saya ­nggak akan menjawab apa pun,” kata Mi­randa.

Anne L. Handayani, Sapto Pradityo, Iqbal Muhtarom, Andra M. Megarani, Edi Faisol (Batang), Bunga Manggiasih (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus