Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Bagdad Jatuh

13 April 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wartawan TEMPO Rommy Fibri menjadi saksi banyak hal di Bagdad menjelang kejatuhannya, termasuk saat rudal AS menghantam Hotel Palestine dan saat semua poster dan patung Saddam Hussein dihancurkan. Berikut catatannya.

Minggu, 6 April 2003

Sejak Jumat, 4 April, pasukan Amerika memang sudah mendaratkan tentaranya dalam jumlah besar di Bandara Internasional Saddam. Tapi ledakan bom dan meriam masih saja terdengar dari arah selatan pusat Kota Bagdad. Beberapa kali, raungan pesawat tempur dan helikopter menderu sampai memekakkan telinga. Tak berapa lama kemudian, ledakan pun terdengar bertalu-talu.

Pukul 10.30 waktu setempat, saya pergi ke kawasan Daura, sekitar lima kilometer selatan Bagdad. Saya melihat sisa-sisa pertempuran besar itu. Satu tank Amerika, yang moncong meriamnya tertulis Cojone, remuk-redam. Namun puluhan artileri (meriam) Irak dan sejumlah mobil serta truk hangus terbakar.

Tak jauh dari onggokan besi yang hangus itu, terlihat tiga kompi mujahidin lengkap dengan senjatanya berlari mengatur barisan. Mereka seperti bersiap menghadang pasukan AS yang memang terdengar dari kejauhan akan melewati tempat tersebut. Daerah ini adalah jalan tol yang menghubungkan Ali Ushfiah (sekitar 10 kilometer dari Bagdad) menuju ke Bandara Saddam.

Anehnya, meski perang berkecamuk, penduduk tetap saja bepergian dengan taksi, mobil, atau bahkan bus kota. Mereka seolah tak peduli pada apa yang terjadi di sekitarnya. Dan begitu terdengar ledakan tak jauh dari lokasi kegiatannya, barulah mereka gerabak-gerubuk berlarian mencari perlindungan.

Setelah dihalangi beberapa ledakan di jalan, saya dan sopir taksi yang mengantar saya meluncur ke Rumah Sakit Al-Kindi, lima kilometer sebelah timur Bagdad. Menurut Dr. Asma Saleh, Wakil Manajer RS Al-Kindi, hingga saat itu pihak rumah sakit sudah menerima sekitar 130 pasien. ”Kebanyakan kena bom,” katanya. Bahkan hampir 24 jam tanpa henti, dokter di rumah sakit ini terus mengoperasi pasien. ”Sayang, sampai hari ini sudah 11 pasien yang meninggal dunia karena komplikasi,” ujarnya.

Di salah satu lorong rumah sakit, tiba-tiba seorang ibu menghampiri saya dan mendamprat, ”Untuk apa para wartawan menulis berita tentang kami kalau bom tetap saja menimpa kami?” Saya cuma terdiam. Setelah sang ibu puas berbicara, saya pamitan. Saya sendiri mempunyai pertanyaan yang sama. Dan belum juga terjawab.

Senin, 7 April 2003

Saya terbangun ketika pagi baru mengintip. Masih subuh, sementara pertempuran sudah mencapai di sisi Sungai Tigris. Pasukan Amerika di sisi barat sungai, dan tentara Irak di sebelah timur. Kebetulan, Hotel Sheraton, tempatku menginap, terletak sekitar 200 meter sebelah timur Tigris. Tak urung, saya segera berkemas dan turun ke lobi untuk mencari tempat yang lebih aman. Maklum, posisi jendela kamarku persis menghadap Sungai Tigris. Meski sejenak saya bisa menyaksikan betapa pertempuran sengit berlangsung, termasuk tentara Irak yang berlarian meninggalkan posnya masing-masing, saya tak mau ambil risiko dengan berdiam di kamar.

Gelegar meriam, entakan senapan mesin, dan ledakan amunisi berat lainnya terus berlanjut. Udara Bagdad terasa gelap akibat debu yang menyelimuti seluruh kota. Kemudian saya berkeliling kota. Hari itu, hampir semua toko dan restoran tutup. Di jalan, terlihat mujahidin berjalan dengan bazoka tergantung di pundaknya.

Sekitar pukul 15.00, saya berangkat menuju Kadhimiya, tujuh kilometer sebelah barat pusat kota. Barisan sipil bersenjata dan tentara Irak terlihat siap siaga. ”Tentara AS sudah dekat. Kami harus menghadang mereka,” kata seseorang berpakaian militer Irak yang tak mau dikutip namanya. Beberapa toko terlihat masih buka dan menjual makanan dengan santainya. Puluhan wanita, anak-anak, dan pemuda non-tentara berkumpul memenuhi makam Imam Musa al-Kadhim. ”Kalau terjadi bentrokan, kami tinggal menutup pintu gerbang,” kata Ya’rouf, seorang pemuda yang berjaga-jaga di pintu.

Sepertinya, di makam itulah rakyat sipil mencari perlindungan. Mereka berharap, tentara AS tidak menyerang dan menghancurkan makam tersebut. ”Di sini kami merasa aman,” kata Ya’rouf lagi.

Sore hari, saya pergi ke daerah Al-Mansur, sebuah kawasan elite di Kota Bagdad. Di belakang Restoran Al-Sa’aii, Jalan 14 Ramadhan, ada bekas ledakan bom berdiameter 10 meter dan sedalam 5 meter. Menurut Asmath Hakim, Manajer Restoran Al-Sa’aii, ledakan terjadi sekitar pukul 14.30. ”Setahu saya, 18 orang tinggal di deretan rumah itu,” ujarnya sembari terisak.

Dalam keadaan seperti ini, saya selalu merasa tak berdaya. Hingga larut malam, tembakan senapan mesin, ledakan meriam, dan gelegar bom terus bersahutan. Aliran listrik di Bagdad mati total. Di luar dan di dalam diri saya terasa gelap.

Selasa, 8 April 2003

Hari belum dimulai ketika deru helikopter itu membangunkanku. Kemudian disusul raungan pesawat tempur. Ledakan-ledakan di sisi Sungai Tigris terdengar sangat jelas. Tampaknya, pertempuran masih berlanjut. Namun, sekitar pukul 8.00, suasana hening dan senyap. Tak ada lagi tembakan. Tak ada lagi ledakan, begitu pula teriakan para prajurit Irak.

Saya turun, bercengkerama dengan para wartawan asing di Hotel Palestine, yang berseberangan dengan tempatku menginap. Sekitar pukul 9.30, ada tiga pesawat F-14 terbang rendah dan meliuk-liuk di angkasa, tepat di atas hotel. Setengah jam kemudian, giliran pesawat tempur F-18 yang menyatroni langit pusat kota. Saya mendengar ledakan dari beberapa tempat dari arah selatan. Tembakan-tembakan senapan mesin pun terdengar sangat nyaring. Saya berpikir, pertempuran sudah sangat dekat.

Saya tak bisa mendekati daerah pertempuran, yang ternyata ada di Daura, karena terhalang oleh barikade pasukan Irak di sekitar Karrada. Akhirnya saya kembali lagi ke hotel dan bertemu dengan seorang wartawan dari Al-Jazeera di halaman Hotel Palestine. Darinya, saya mendapat kabar bahwa pagi itu seorang reporter Al-Jazeera, namanya Tareq Ayub, meninggal akibat ledakan. Sedangkan seorang staf lainnya terluka parah.

Belum hilang kagetku, ada ledakan sangat keras di atas hotel. Refleks, saya segera tiarap, sebagaimana banyak wartawan juga melakukan hal serupa. Ternyata ada misil nyasar di lantai 15. Saya segera mengecek dan menuju lift untuk naik. Begitu lift terbuka, ada tiga orang yang bersimbah darah dan dibungkus selimut. Insiden ini telah menewaskan Tarres Protsyuk, seorang juru kamera Reuters, dan Jose Couso, juru kamera TeleCinco, Spanyol. Tak jelas asal peluru itu. Yang saya tahu, posisi kamar mereka menghadap ke timur. Padahal tentara AS ada di sebelah barat dan selatan hotel. Adapun saat itu saya tak mendengar satu pesawat pun. Biarlah ini menjadi misteri zaman.

Tarres, wartawan Reuters asal Suriah itu, adalah wartawan asing pertama yang saya kenal begitu kaki saya menginjak Bagdad. Dialah yang mentraktir saya minum teh di Cafe Aladdin, Hotel Palestine. Saat itulah saya menyadari, betapa akrabnya maut.

Rabu, 9 April 2003

Di pagi buta, meriam membangunkanku dari tidur. Sisi barat Tigris kembali menyala. Pesawat F-14 menderu-deru di udara. Sekitar satu jam, terjadi pertempuran tanpa henti. Ada tiga buah tank terlihat menyisir pinggir sungai. Semua jalan menuju barat Tigris diblokade tentara Irak. Praktis, cuma pusat kota yang belum dikuasai tentara Amerika.

Pukul 13.30, dua jenazah jurnalis yang meninggal dunia, dari Reuters dan Al-Jazeera, diberangkatkan dengan GMC menuju Amman, Yordania. Bersamaan dengan itu, jalanan di pusat kota mulai sepi. Padahal biasanya tak sedikit penduduk Bagdad yang berkendara di jalan raya. Siang hari, puluhan mujahidin (milisi) bergerombol di depan Hotel Palestine. Belakangan ketahuan, mereka sudah kalah perang, dan sedang mencari tempat perlindungan. Mereka berpikir, dengan bergabung di hotel bersama wartawan, mereka merasa aman.

Ketika matahari semakin tinggi, dua wartawan Portugis dan seorang wartawan Bulgaria dirampok oleh sekelompok orang bersenjata. ”Selain memukul, mereka juga merampok dan mengambil uang serta paspor kami,” kata Nuno Patricio, wartawan RTP Portugis. Perampokan ini juga menimpa kameramen Abu Dhabi TV, yang semua kameranya juga dirampas.

Saya mencoba berkeliling di pusat kota. Jalanan sangat lengang. Kantong-kantong pasir tempat para pejuang Irak biasa nongkrong sudah kosong tak bertuan. Seluruh pusat kota terasa hampa. Dan benar, pukul 16.00 pasukan AS dari Batalion III, Divisi I Marinir, mencapai Lapangan Firdaus. Ini perempatan pusat kota, lokasi Hotel Palestine dan Sheraton. Sontak pasukan Amerika itu dihujani kilatan sinar kamera dan video dari para wartawan. Bagdad telah jatuh!

Menurut Mayor Matt Baker, Komandan Batalion Marinir AS itu, pasukannya menyisir dari arah selatan Bagdad. ”Ada sedikit perlawanan, tapi bisa kami atasi,” katanya. Saya melihat 20 tank M-1A1, 10 Hombvre dan 10 kendaraan lapis baja Armored Personal Carrier (APC). Jalanan yang tadinya lengang langsung padat begitu mereka sampai. Penduduk Bagdad begitu bersuka cita dan memuji-muji tentara Amerika tersebut. Beberapa pemuda bahkan menyalami para prajurit yang nangkring di atas tank.

Tapi yang paling dramatis adalah penumbangan patung Saddam di perempatan Firdaus itu. Beberapa pemuda Irak berusaha memukuli dinding penyangga patung dengan palu. Tapi, saking kerasnya dinding tersebut, mereka tak bisa berbuat apa-apa lagi. Akhirnya tentara AS pun turun tangan. Dengan menggunakan kendaraan APC, mereka menarik patung Saddam dan menumbangkannya. ”Lihat, bahkan untuk menumbangkan patungnya pun kami minta bantuan tentara AS,” kata As’ad Hasan, seorang penduduk Karrada Dalam.

Setelah patung Saddam dapat ditumbangkan, para penduduk melemparinya dengan batu serta menginjak-injaknya. Bahkan leher patung itu pun mereka potong dan diarak keliling alun-alun. Setelah puas, mereka mengambil foto-foto Saddam di sekitar hotel dan membakarnya. Mereka mencaci-maki pemimpin revolusi Irak ini, tanpa henti. Adnan Amin, bekas pilot Iraqi Airways, menumpahkan kekesalannya dengan bersorak-sorai bersama penduduk lainnya. ”Selama 20 tahun, Saddam membuat kami hidup dalam teror,” katanya. Baru ketika malam tiba, semua pulang ke rumah masing-masing. Tentara AS satu per satu masuk dan menginap di Hotel Palestine.

Kamis, 10 April 2003

Ini pagi pertama saya merasa segar karena malamnya bisa tidur nyenyak. Tak ada lagi suara ledakan, letusan senapan, gelegar bom, dan pesawat tempur. Saya menyusuri sekitar hotel. Saya melihat tentara AS sedang berbenah. Ada yang lagi mencukur kumis, merapikan baju, sarapan, dan membersihkan senapannya dengan sikat.

Udara Bagdad pun terasa lebih segar. Langit tersenyum lebar. Tapi sayang, matahari belum tepat di atas kepala, keributan terjadi di lobi Hotel Palestine. Sejumlah pemuda Irak memukul dan menyumpahi seorang pria perlente. ”Kemarin dia terlihat bersama Fedayeen Saddam, tapi sekarang pakai dasi dan bergaul dengan orang Amerika,” kata Ghaleb Makmoun, sembari bersumpah akan membunuh pria itu. Kepada TEMPO, pria yang dicaci maki itu mengaku bernama Sammy Sheldon, utusan dari Rights and Freedom International. ”Saya diminta berunding dengan Presiden Saddam untuk mencari penyelesaian. Tapi dia menolak dan lebih memilih perang,” katanya.

Kalau tidak segera diselamatkan tentara AS, barangkali Sammy tinggal tulang. Sersan Mayor David Howell, perwira yang mengamankan Sammy, mengatakan bahwa situasinya masih belum jelas. ”Makanya kami membawa dia untuk interogasi dulu,” katanya.

Siangnya, saya berkeliling kota. Sebagaimana di Basra, penjarahan di seluruh Kota Bagdad terjadi. Para penduduk keluar berbondong-bondong dan mencuri semua barang dari kantor pemerintah. Ada meja, kursi, komputer, lemari es, pagar besi, dan karpet. Semua ludes tak berbekas. Bukan itu saja, setelah puas merampok barang-barangnya, mereka membakar habis gedung itu. Sa’ad Abdullah, penduduk Jalan Haifa, mengaku mengambil barang-barang itu karena miskin. ”Dan pemerintahlah yang selama ini membuat kami sengsara,” ujarnya.

Sekitar pukul 14.00, saya mampir di kantor Partai Baath di Daura yang dijarah dan dibakar massa. Sore harinya, saya jalan lagi ke Kadhimiya. Rupanya, di kawasan itu ada kantor intelijen Irak seluas lima hektare. Gedung-gedung di sekitar sudah ludes dimakan bom. Kebetulan, saya ketemu dengan Tariq Hamaziyat, 26 tahun. Pemuda ini ditahan oleh rezim Saddam, ”Karena perkara politik,” katanya. Bersama Hamaziyat, ada 28 orang lainnya yang juga ditahan. ”Tapi satu orang sudah keburu dibunuh oleh tentara Saddam,” ujarnya. Karena bom AS itu, tentu saja para penjaga lari ketakutan, dan para tahanan bebas.

Malam turun, saya sempat menyusuri kota. Jalanan lengang, sepi. Entah karena takut tentara Amerika atau lelah setelah menjarah kantor-kantor pemerintah. Yang jelas, situasi kota berangsur normal. ”Sekarang saya bisa tidur lelap, tanpa risau kena bom nyasar,” kata Basman, penduduk yang tinggal di Jalan Abu Nidhal.

Jumat, 11 April 2003

Sampai hari ini, penjarahan masih berlanjut. Kantor Palang Merah Internasional, Rumah Sakit Olympic, Unicef, kantor Registrasi Umum, dan sejumlah instansi lain tak luput disatroni penduduk Bagdad. Tua, muda, wanita, pria, pemuda, anak-anak, semuanya. Tak lupa, setelah habis ludes, kantor itu mereka bakar ramai-ramai. Bukan itu saja, mobil yang teronggok di jalanan tanpa roda pun hendak mereka angkut pakai traktor.

Kemudian, saya berjalan ke kawasan elite Zayune, selatan pusat kota. Kawasan ini sudah cukup lama kosong karena mereka mengungsi. Tapi, begitu mendengar ada penjarahan, para penghuni kawasan ini buru-buru kembali. Zaehad Khalid, seorang penduduk Zayune, mengatakan, ”Kami bahkan harus bergiliran ronda demi mengamankan daerah kami.”

Berikutnya, kami jalan lagi menyusuri kawasan barat kota. Sejak pagi, jalan menuju Istana Kepresidenan sudah ditutup oleh barikade tentara AS. Sisa-sisa pertempuran di Jembatan Joumhuriya, Jalan 28 April, dan juga Salhiyah masih terlihat. Tank hangus di pojokan jalan, mobil terbakar, peluru berserakan. Di sekitar Istana Kepresidenan, puluhan tentara AS yang berjaga dari Angkatan Darat Batalion Infanteri 3-7. Genap sudah, seluruh kota sudah diduduki tentara AS. Irak, khususnya Bagdad, menjadi negara tanpa pemerintah.

Sore hari, saya balik ke hotel. Tak disangka, saya kedatangan tamu, sejumlah wartawan dari Indonesia dan Malaysia. Karena belum mendapat hotel, mereka beristirahat di kamar saya. Mereka baru datang dari Amman, Yordania, setelah lebih dari 24 jam bekendara. Untunglah, saya jadi punya banyak teman ngobrol.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus