SESEORANG dengan reputasi sebagai diktator licin seperti Saddam Hussein tentu juga punya seribu satu cara untuk menghapus jejak kekayaannya yang berlimpah. Ke mana saja ia menyembunyikannya? Kini Departemen Keuangan Amerika Serikat gigih berusaha menyingkapnya. "Miliaran dolar belum terungkap keberadaannya, yang kini menjadi target perburuan," kata David Aufhauser, pejabat Departemen Keuangan AS.
Dugaan Aufhauser bukannya tak beralasan. Sejak sanksi ekonomi dijatuhkan PBB terhadap Irak setelah Perang Teluk 1991, Saddam justru rajin menumpuk kekayaan dari komisi penjualan minyak Irak dalam program "minyak untuk pangan". Akuntan di Departemen Keuangan AS menghitung dengan rinci setiap sen dolar yang diperoleh Saddam dari komisi dan penyelundupan minyak ke Yordania, Suriah, dan Turki dari 1997 hingga 2001—sebesar US$ 6,6 miliar atau hampir Rp 60 triliun. Saddam memperoleh komisi 30 hingga 50 sen dolar per barel minyak yang diekspor atas nama PBB. Bagi AS, ini pelanggaran terhadap sanksi PBB. Karena itu—dilengkapi UU Antiteroris (Patriot Act)—sah bagi Washington untuk membekukan kekayaan negara musuh (Irak) dalam perang.
Gebrakan pertama dilakukan AS pada Maret silam dengan membekukan aset Irak sebesar US$ 1,7 miliar. Aset itu berupa rekening bank atas nama Bank Sentral Irak, Rafidain Bank, Rasheed Bank, dan Badan Pemasaran Minyak Irak. Uang itu kini ditransfer ke Bank of New York dan kelak akan digunakan untuk membiayai penduduk sipil Irak korban penembakan ataupun pengeboman AS setelah perang usai. "Aset itu untuk keuntungan dan kesejahteraan rakyat Irak," kata Menteri Keuangan John Snow.
AS pun memaksa negara lain membekukan aset milik Irak sembari menebar ancaman akan memutus akses ke sistem keuangan AS bagi yang berani menolak. "Tindakan AS menyita aset Irak adalah tindakan perampokan," ujar Gubernur Bank Sentral Irak, Issam Rashid Hwaish. Tapi siapa peduli. Bahkan beberapa negara sudah melaksanakan titah AS, antara lain Bank of England membekukan US$ 648 juta di semua bank di Inggris dan bertekad terus melacak simpanan bank milik rezim Saddam.
Kini AS mengincar harta Saddam yang disimpan di bank Austria. Washington sudah meminta agar Menteri Keuangan Austria mengidentifikasi dan membekukan rekening bank Saddam Hussein di Wina, yang diperkirakan mencapai US$ 46 juta. Di bank Swiss, yang kondang sangat ketat menjaga kerahasiaan nasabah, Saddam diduga memendam uang US$ 24 miliar. Tapi Menteri Keuangan Swiss Kaspar Villiger membantah Saddam punya rekening bank di Swiss.
Sebelum embargo ekonomi oleh PBB, Saddam diduga paling banyak menebar kekayaannya berupa simpanan bank ataupun investasi di Amerika Utara dan di Eropa, antara lain di AS, Inggris, dan Swiss, dan dalam jumlah lebih kecil di Prancis, Belgia, Austria, Luksemburg, dan Italia. Tapi kekayaan Saddam kini merentang di banyak negara, dari rekening bank di Libanon dan Yordania hingga saham di perusahaan Brasil dan negara Eropa Timur. Cabang bank pemerintah Irak, Rafidain Bank, di Yordania, Uni Emirat Arab, dan negara Timur Tengah lainnya diduga menjadi mesin pencuci uang milik Saddam dengan mentransfernya ke sistem perbankan dunia.
Hasil investigasi Kroll Associates, yang bermarkas di New York, mendeteksi kekayaan Saddam dan keluarganya tersebar di 50 bank sebesar US$ 2,4 miliar. Namun, antara 1980 dan 1990, Saddam sudah menebar US$ 10 miliar di bank atau menggunakannya untuk membeli saham perusahaan Barat. Jangan kaget, Saddam mengucurkan uangnya untuk majalah kecantikan Elle, Woman's Day, dan majalah Car&Driver, yang diterbitkan oleh perusahaan Hachette. Di perusahaan ini, Saddam menguasai 8,4 persen saham (US$ 90 juta).
Minat Saddam terhadap senjata juga ditunjukkan dari jenis investasi yang ia pilih. Misalnya, pada 1990-an, Saddam membeli atau setidaknya berusaha membeli saham perusahaan di Ukraina, Polandia, dan Brasil yang bergerak di sektor industri pesawat dan bahan kimia. Di Prancis, Saddam memiliki saham di perusahaan pertahanan Lagardere.
Jika AS berhasil menemukan semua harta karun milik rezim Saddam dan milik Saddam pribadi, tentu tidak terlalu sulit bagi AS untuk membangun kembali Irak dari reruntuhan perang. Bahkan ratusan miliar dolar yang sejatinya milik rakyat Irak itu akan kembali ke AS lewat kontrak yang diperoleh perusahaan Amerika setelah perang usai.
Raihul Fadjri (Forbes, Business Week, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini