Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amerika,
Mari kita bertukar cendera…
Ambil Saddam Hussein… dan beri kami Abraham Lincoln
atau tidak siapa pun…
Demikian bunyi suara sastrawan eksil Saadi Yousef. Di dalam puisi Saadi—lahir di Basra pada 1934—ada kebimbangan. America, America sebuah sajak antiperang yang ditulisnya Februari lalu, sebelum Irak dihujani bom. Ia membayangkan dengan cemas bagaimana kepemimpinan Irak versi Amerika nanti. Di zaman Bush, mustahil mengharapkan seorang ”Lincoln baru”.
Kini Bagdad jatuh. Basra jatuh. Banyak seniman pelarian Irak yang tak pernah melihat negerinya sejak 1970 akan kembali. Mungkin Saadi Yousef akan kembali. Mungkin juga tidak. Yang jelas, pelopor perpuisian Irak modern yang dalam separuh hidupnya merantau ke Aljazair, Libanon, Yaman, Suriah, dan kini tinggal di London itu menyiratkan kegamangan hatinya melalui bait-bait puisinya:
Kami bukan tawananmu, Amerika
Dan tentaramu bukan serdadu Tuhan
Amerika, kami adalah jenazah…
Kami, kami tenggelam,…
Yang membuatnya perih mungkin adalah bayangan tentang korban. Saadi adalah anggota partai komunis yang meninggalkan Bagdad setelah menyaksikan pembantaian besar-besaran yang dilakukan Partai Baath pada 1968. Kini sebuah ”pemerintahan” baru akan dibangun di atas malang-melintangnya nyawa.
Orang bisa terkesima tentang kemungkinan Bagdad baru. Benarkah pemerintahan transisi ini akan membawa Bagdad berjalan ke masa depan yang lain. Tapi sesungguhnya uji coba pertama Bagdad baru adalah penanganan terhadap korban.
Amnesti Internasional menegaskan koalisi wajib menghitung jumlah korban yang sesungguhnya. Korban yang jatuh pasti lebih banyak dari yang terdata. Setelah patung Saddam ditarik, dijatuhkan, setelah simbol-simbol kejayaan Saddam dibumihanguskan, misalnya, televisi masih menayangkan anak-anak dan wanita yang terbakar seperti arang. Bangkai-bangkai yang dikerumuni lalat-lalat.
Belum lagi mereka yang terkapar di rumah sakit. Juga korban-korban kekerasan tatkala pasukan koalisi sengaja membuka pintu perbatasan, membiarkan para penjarah dari luar kota masuk membuat onar. Apakah mereka itu akan mendapat santunan? Mereka yang cacat, para yatim piatu? Sebagaimana tentara Amerika yang meninggal atau terkena ”friendly fire” menerima penyantunan, adakah dana untuk penyantunan warga sipil Irak lebih besar dari anggaran untuk perang?
Yang tak pernah diperhitungkan adalah terutama memori dan trauma para korban yang selamat yang tentu tak akan sembuh untuk waktu seribu tahun lagi. Tak akan bisa dibayangkan bagaimana mereka—yang semula sehat—tiba-tiba saja kehilangan kaki atau tangan hanya karena sang ”dewa penghukum” menuduh negerinya memiliki senjata pemusnah (tapi tak terbukti). Apa yang bisa kita lakukan untuk menghapus kenangan mimpi buruk itu?
Bila minggu-minggu ini pembicaraan utama lebih tersorot pada pembangunan infrastruktur Irak, membenahi kilang-kilang hingga memilih negara-negara yang terlibat proyek, apa yang terjadi pada mereka yang kehilangan keluarga, kaki, tangan, atau bahkan kehidupan? Bila tumpukan jenazah itu—yang dihidupkan oleh angka statistik—dianggap sebagai risiko dari sebuah ”pembebasan” dan sebuah power vacuum, memang Bagdad adalah kota air mata.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo