Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandar Udara Andir, Bandung,
18 Desember 1948.
Menjelang pergantian hari, kesibukan di pangkalan militer yang kini bernama Husein Sastranegara itu meningkat. Sebanyak 18 pesawat angkut C-47 Dakota milik Militaire Luchtvaart, Angkatan Udara Kerajaan Belanda, memanaskan mesin. Suaranya bergemuruh. Belasan jip lalu-lalang mengangkut bermacam barang, dari senjata hingga makanan perbekalan tentara.
Kegaduhan itu tidak mengganggu taklimat Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor di salah satu hanggar pangkalan udara tersebut. Spoor, Panglima Tentara Belanda di Indonesia, memberi arahan kepada 432 personel para-compagnie Korps Speciale Troepen (KST). Semua anggota pasukan khusus lintas udara itu berdiri tegap dan menyandang peralatan tempur lengkap.
"Kalian terpilih untuk aksi penentuan, diterjunkan di Maguwo sebelum fajar, membebaskan Yogya dari tangan ekstremis serta menangkap Sukarno," kata Spoor, 46 tahun, seperti ditulis Julius Pour dalam buku Doorstoot Naar Djokja.
Pidato Spoor mengawali Operatie Kraai atau Operasi Burung Gagak, serangan militer Belanda untuk merebut Yogyakarta, ibu kota sekaligus satu-satunya wilayah Republik Indonesia pasca-Perjanjian Renville. Selain itu, Spoor berencana menghancurkan Tentara Nasional Indonesia yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam satu pukulan. Ia melancarkan serangan mendadak berkekuatan 10 ribu tentara yang disebar di lima grup.
Penaklukan Yogyakarta diserahkan kepada grup tempur A pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen, yang bermarkas di Kalibanteng, Semarang. Sedangkan grup B hingga E disebar untuk menghancurkan pertahanan TNI di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sebagai ujung tombak serangan, Spoor memilih KST yang bermarkas di Batujajar, Kabupaten Bandung, lantaran memiliki kemampuan tempur terbaik. Pasukan baret merah itu harus merebut Lapangan Udara Maguwo maksimal dalam tiga jam, dibantu serangan pesawat tempur. Pangkalan yang berjarak 10 kilometer sebelah timur pusat Kota Yogyakarta itu berguna sebagai tempat pendaratan grup A.
Tepat pukul 02.00, anggota KST mulai berbaris dan memasuki lambung Dakota. Pesawat pertama meninggalkan Andir pada pukul 04.30, diikuti pesawat selanjutnya dengan selisih waktu satu menit. Spoor menaiki pesawat komando, pengebom B-25 Mitchell, yang terbang paling akhir. Gerombolan gagak maut itu terbang menyusuri pesisir selatan Jawa Barat hingga ke Yogyakarta.
Di saat yang sama, tiga B-25 Mitchell, lima pesawat tempur P-51 Mustang, dan sembilan pesawat penyergap P-40 Kittyhawk berangkat dari Pangkalan Udara Kalibanteng untuk menyerang Maguwo. Bom pertama dijatuhkan pada pukul 05.15 dan merusak hanggar berikut beberapa pesawat waris-an Jepang milik TNI Angkatan Udara. Gelombang serangan berikutnya dilakukan Mustang dan Kittyhawk, yang menembakkan kanon ke arah markas pasukan pertahanan pangkalan udara.
Mendapat serangan mendadak, 30 anggota TNI di Maguwo kaget bukan kepalang. Mereka hanya bisa membalas dengan tembakan senapan ringan. Ibarat menembak angin, peluru pasukan Republik tak bisa menjangkau pesawat musuh. Sebaliknya, semua penjaga pangkalan gugur terkena tembakan dari udara. Pertempuran itu pun berakhir dalam setengah jam.
Pukul 06.45, pesawat pengangkut anggota KST tiba di atas Maguwo. Setelah terjun dari ketinggian yang cukup rendah, 120 meter, mereka langsung menyerbu sisa pasukan TNI yang berada di sekitar Maguwo hingga mendekati pusat Kota Yogya. Dalam pertempuran ini, 40 anggota TNI gugur, dan tak ada korban dari kubu KST.
Spoor, yang mengikuti jalannya pertempuran melalui radio di pesawat komando, meneruskan penerbangan ke Semarang. Di Kalibanteng, ia menginspeksi 2.000 anggota grup A yang akan berangkat untuk merebut Yogyakarta dan menangkap pemimpin Indonesia. Spoor, yang mengenakan jaket kulit, kacamata hitam, dan topi pet, mengacungkan salam dua jari—tanda kemenangan—kepada Van Langen. "Victorie."
Serangan mendadak Belanda ke Maguwo mengejutkan para pemimpin Indonesia. Pengumuman perang baru disampaikan Komisaris Tinggi Belanda di Indonesia, Joseph Beel, pada pukul 08.00, tepat setelah Maguwo direbut. Persis seperti Jepang terlambat mengirim maklumat perang kepada Amerika Serikat setelah menyerang Pearl Harbor.
Beel juga menyamarkan Operatie Kraai sebagai aksi polisional alias operasi keamanan untuk menangkap tentara pemberontak—yang mereka sebut kaum ekstremis—yang sering menyusup ke wilayah pendudukan Belanda. "Kami mengerahkan seluruh kekuatan untuk melakukan pembersihan," katanya.
Agresi Belanda itu memperparah sakit Soedirman. Putra bungsu Soedirman, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, menuturkan bahwa sang ayah, yang baru empat hari keluar dari rumah sakit setelah operasi paru-paru, jadi mengalami stres. "Pada malam sebelum serangan, Bapak muntah darah," ujarnya kepada Tempo, September lalu.
Teguh mengatakan, pada 19 Desember pagi, Soedirman memerintahkan ajudannya, Kapten Soepardjo Roestam, mengumumkan Perintah Siasat Nomor 1, strategi gerilya yang harus dilakukan anggota TNI jika Belanda menyerang. "Perintah itu diumumkan melalui Radio Republik Indonesia," tuturnya.
Setelah dari RRI, Soepardjo diperintahkan menemui Presiden Sukarno di Gedung Agung, Jalan Malioboro, yang kala itu menjadi pusat pemerintahan Republik. Dia harus menyampaikan pesan Soedirman, yang meminta Sukarno meninggalkan Yogyakarta.
Namun Soepardjo tak kunjung memberi kabar. Teguh mengisahkan, lantaran tak sabar, Soedirman meminta ajudannya yang lain, Kapten "Nolly" Tjokropranolo, mengantarnya dari rumah di Jalan Bintaran ke Gedung Agung. Dia ingin mengingatkan langsung Presiden Sukarno akan janjinya untuk mengambil alih kepemimpinan TNI dan memegang komando perang gerilya jika Belanda menyerang.
Sejarawan militer Saleh Djamhari mengatakan Soedirman meminta Sukarno dan pejabat lain meninggalkan Yogyakarta agar tak ditangkap Belanda. Lantaran Sukarno menolak pergi, Soedirman memutuskan bergerilya. "Soedirman paham, selaku pemimpin militer, ia tak boleh ditangkap musuh, agar menjadi salah satu pemegang komando negara," katanya.
Perkiraan Soedirman tak meleset. Keesokan harinya pukul 17.00, pasukan Belanda yang dipimpin Kolonel Van Beek merangsek masuk Gedung Agung. Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, dan beberapa anggota kabinetnya menjadi tahanan rumah. Dua hari kemudian, mereka diasingkan ke luar Jawa, yakni di Prapat, Sumatera Utara, dan di Pulau Bangka.
Namun Belanda kecele. Dalam rapat di Gedung Agung pada 19 Desember, Sukarno-Hatta sudah membuat surat kuasa yang menunjuk Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukit Tinggi. Dwitunggal juga membuat surat serupa untuk Duta Besar Indonesia di India, Sudarsono, agar mendirikan pemerintahan pengasingan (exile government) di New Delhi jika Sjafruddin ditangkap Belanda.
Adapun TNI melanjutkan perjuangan dengan senjata. Sesuai dengan Perintah Siasat Nomor 1, para pejuang membentuk kantong-kantong gerilya serta melancarkan serangan dan sabotase terhadap Belanda. Strategi yang disusun Soedirman bersama Kolonel Nasution itu menekankan perlawanan pukul dan lari alias hit and run di setiap daerah untuk memecah kekuatan lawan yang lebih masif.
Dalam buku Yogyakarta 19 Desember 1948, mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letnan Jenderal Himawan Soetanto mengatakan Divisi Diponegoro menyusun pangkalan perlawanan (wehrkreise) di beberapa kota di Jawa Tengah. Hal yang sama dilakukan Divisi Brawijaya di Jawa Timur. Sedangkan tiga brigade di bawah Divisi Siliwangi memulai long march, meninggalkan Yogyakarta, untuk membangun kantong gerilya di Jawa Barat.
Sejarah membuktikan: tentara Spoor dan pasukan Soedirman kemudian terlibat kontak senjata dalam front yang luas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo