Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Mega dan Militer Berpaling

Memorandum siap menenggelamkan Presiden Abdurrahman.

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMUA sudah selesai ketika Laksamana Sukardi maju ke depan mimbar, meski dia adalah pembicara pertama. Peci-peci milik anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pendukung Presiden Abdurrahman Wahid langsung bergeletakan di atas meja. Kepala mereka bersandar lunglai di kursi. Mengenakan setelan hitam dengan dasi merah darah, figur Laks telah menjadi vonis itu sendiri buat Presiden Abdurrahman. April tahun lalu, Presiden memecat Laksamana (PDI Perjuangan) dan Jusuf Kalla (Golkar) dari kabinet atas tuduhan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dan sebuah ironi pun dimulai. Persis pada saat itu pulalah skandal Bulog yang berbau korupsi itu meruap ke permukaan, menyeret keterlibatan Abdurrahman, dan kini nyaris menenggelamkannya. Kamis siang kemarin, pada sidang paripurna DPR yang membahas laporan Panitia Khusus Penyelidikan Dana Yanatera Bulog dan Sultan Brunei, Laks membacakan pandangan akhir partainya pada kesempatan pertama. Bunyinya bak pukulan langsung ke ulu hati Presiden. Diiringi gemuruh tepuk tangan sebagian besar anggota dewan, partai yang kerap diposisikan sebagai sekutu Abdurrahman ini menyatakan menerima dua kesimpulan pansus. Presiden, menurut Fraksi PDI-P, telah berperan dalam pencairan dan penggunaan Rp 35 miliar dana Yanatera Bulog. Partai ini juga menyebut adanya inkonsistensi penjelasan Presiden kepada masyarakat tentang penerimaan bantuan US$ 2 juta dari Sultan Brunei. Setelah itu, mereka mengajukan dua rekomendasi. Pertama, meminta dewan untuk memberikan peringatan kepada Presiden Abdurrahman sesuai dengan Pasal 7 Ayat 2 Ketetapan MPR No. 3/1978?ini berarti yang dimaksud "peringatan" itu tak lain adalah memorandum. Berikutnya, agar kasus ini ditindaklanjuti di jalur hukum. Sikap itu juga?meski dengan varian yang berbeda?yang disuarakan tujuh fraksi lainnya (lihat: Di Balik Suara Partai), bahkan termasuk oleh seluruh anggota fraksi TNI/Polri, yang selama ini selalu memilih bersikap abstain. Upaya PKB meredamnya sia-sia saja. Dengan sisa daya terakhir, Arifin Junaidi dari partai itu mengajukan interupsi. Orang dekat Presiden ini minta pemungutan suara dilakukan secara tertutup. Namun, pimpinan sidang, Soetardjo Soerjogoeritno dari PDI-P, tak menggubrisnya. Voting terbuka langsung dimulai. Dan hasilnya sungguh telak. Kesimpulan pansus diterima oleh 393 suara dan ditolak cuma oleh empat anggota Fraksi Partai Demokrat Kasih Bangsa. Adapun 48 anggota PKB memilih walk out. Para politisi PKB masygul. Seorang tim pelobi PKB mengatakan, hasilnya akan lain jika dilakukan dengan pemungutan suara secara rahasia. Menurut dia, partai pendukung Presiden ini telah berhasil menjaring 279 suara (lebih dari separuh anggota dewan) untuk menolak hasil pansus. "Tapi, dengan cara terbuka begitu, mereka tak berani berbeda pendirian dengan fraksinya," katanya. Itulah klimaks dari luluh-lantaknya berbagai upaya lobi intensif yang digelar partai bersemboyan "maju tak gentar membela yang benar" ini. Seperti diakui Menteri Pertahanan Moh. Mahfud M.D., bersama Menteri Luar Negeri Alwi Shihab dan Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, dia telah berupaya mempertemukan Presiden dengan Megawati, Amien Rais, Akbar Tandjung, dan Hamzah Haz, sehari sebelum sidang dewan. Kesediaan sudah diperoleh dari Mega dan Akbar, tapi tidak dari Amien dan Hamzah. Dan pertemuan pun urung. Maka, pintu sidang istimewa pun terbuka sudah. Pada Kamis itu juga, menjelang tengah malam, rapat pleno mengetuk palu: meluncurkan memorandum pertama kepada Presiden Abdurrahman. Dewan berpendapat Presiden telah melanggar haluan negara, yaitu Pasal 9 UUD 1945 tentang Sumpah Jabatan dan Tap MPR No. XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Senin ini, nota peringatan itu akan resmi dilayangkan ke Istana. Meski perjalanan ke arah sana masih panjang (tiga bulan setelah memorandum pertama dan satu bulan setelah memorandum kedua), peristiwa ini nyaris merontokkan legitimasi Presiden Abdurrahman ke titik nadir. Betapa tidak. Pukulan paling telak bahkan datang dari dua kekuatan yang merupakan pilar vital bagi kelangsungan kursi kepresidenannya: PDI Perjuangan dan militer. Kini Megawati tak lagi berucap, "Terserah Mas Dur saja." Ia telah mengambil sikap. Menurut seorang anggota Fraksi PDI-P yang minta namanya tak disebut, keputusan drastis ini datang langsung dari Mega. Kata akhir diambil pada rapat Rabu sore pekan kemarin?sehari sebelum paripurna. Sekitar pukul 19.00, dia bertemu dengan delapan anggota tim perumus yang telah ditunjuk. Dua draf diajukan. Rancangan yang dikonsep Kwik Kian Gie ditampik karena nadanya dinilai terlalu emosional. Mega memilih naskah yang ditulis dengan kalimat yang lebih dingin. Tak berpanjang-panjang, kata setuju langsung diberikan dan tanda tangan pun dibubuhkan. Setelah itu, setengah jam kemudian Mega langsung memimpin rapat dengan seluruh anggota fraksi. Sang Ketua Umum terlihat sangat rileks, banyak bercanda, dan sangat mantap mengambil keputusan. Begitu rapat dibuka, instruksi langsung diberikan. Pendapat akhir akan dibacakan Laksamana Sukardi. Semua anggota diperintahkan untuk satu suara mendukung kesimpulan yang telah dirumuskan. Tak ada yang boleh buka mulut sendiri-sendiri, kecuali juru bicara yang telah ditentukan. Tiga orang ditunjuk: Jacob Tobing, Alexander Litaay, dan Dwi Ria Latifa. Semua anggota fraksi diminta hadir tepat waktu. Yang berhalangan harus melapor dulu. Mega juga minta agar garis partai itu disampaikan kepada Dimyati Hartono. Ini perlu ditegaskan karena pada sidang sebelumnya, Dimyati getol menyoal pelanggaran tata tertib pansus, seperti yang selalu diprotes PKB. Soal ini dikonfirmasikan Zulvan Lindan dari PDI-P. "Tidak ada perdebatan. Setelah memberikan petunjuk 10 menit, rumusan tim langsung disetujui," katanya. Mega juga mewanti-wanti agar PDI-P bersikap rendah hati dan santun. Karena itu pulalah, kata sumber TEMPO, kenapa misalnya mereka menggunakan kata "peringatan" ketimbang "memorandum" seperti fraksi lainnya. "Tapi, sikap kita sudah jelas," katanya menirukan Mega, "Ini baru awal yang sangat menentukan mau jadi apa PDI-P ke depan." Sikap jelas itu, katanya lagi, adalah kesiapan Mega naik ke posisi RI-1. Untuk itu, berbagai skenario telah matang disiapkan. PDI-P lebih suka jika Abdurrahman, yang kian kehabisan legitimasi, mundur secara elegan dan Mega naik menggantikannya. Tapi, kalaupun jalan sidang istimewa yang mesti diambil, Mega pun tak ragu menempuhnya. Jatuhnya "talak tiga" ini, menurut seorang sumber TEMPO, juga didengar mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Ryaas Rasyid. Ketika melaporkan pengunduran dirinya, Rabu pekan lalu, Ryaas bertanya apakah Mega masih mendukung Abdurrahman. Ryaas beroleh jawaban tegas, "Tidak lagi." Tapi soal ini dibantah Roy Djanis, tokoh PDI-P di lingkaran faksi Taufik Kiemas, yang ingin mempertahankan dwitunggal Wahid_Mega. Menurut dia, keputusan itu diambil Mega justru untuk menghindari sidang istimewa. PDI-P mengarahkan agar kasus ini diselesaikan melalui jalur hukum saja. Mengerasnya Mega tak lepas dari kian tajamnya hubungannya dengan Presiden. Dalam beberapa pertemuan, Presiden melontarkan kata yang memojokkan Mega. Salah satunya adalah ketika pada 3 Januari, Presiden menerima pengurus Forum Indonesia Damai (FID). Pengurus FID datang untuk melaporkan perkembangan penyelidikan bom kepada Presiden. "Tapi, eh, Gus Dur malah menjadikan pertemuan itu forum ngerumpi," kata seorang yang hadir. Mereka terperangah. Abdurrahman membeberkan berbagai "sisi gelap" sang Wakil Presiden. Diceritakan bagaimana Mega terlalu mudah disetir Taufik Kiemas, suaminya, demi segala kepentingan bisnisnya. Bukan cuma itu, bahkan sampai disinggung hal-hal yang sangat pribadi dalam kehidupan Mega. Kesimpulan Abdurrahman, Mega tidak layak jadi presiden. "Kalau dipaksakan, nanti yang jadi presiden, ya, si Taufik itu," kata pengurus FID itu, menirukan Presiden. Soal ini dibenarkan petinggi PDI-P. Dan kabar ini sampai ke telinga Mega pula. "Ada kaset rekamannya," katanya lagi. Tapi, juru bicara kepresidenan, Yahya Staquf, keras membantahnya, "Saya tidak percaya bahwa Gus Dur melakukan itu." "Pembangkangan" militer pun sangat kentara. Belum pernah terjadi sebelumnya, pada Kamis siang itu seluruh 38 anggota Fraksi TNI/Polri tanpa kecuali berdiri tegap menyatakan sikap setuju atas kesimpulan pansus tentang dugaan keterlibatan Presiden Abdurrahman. Menurut seorang kalangan dekat militer, Markas Besar TNI Cilangkap bahkan sampai perlu memerintahkan kepada segenap anggotanya untuk hadir lengkap di sidang. Tiga anggota yang tengah ikut kursus Lemhannas sampai mendapat instruksi khusus tak boleh absen. Bahkan, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Endriartono Sutarto sampai perlu memberikan pengarahan khusus untuk "menggunakan hati nurani". Jelas sudah arahnya. Ada dua penyebab sikap tegas itu, kata Mayjen Budi Harsono, Ketua Fraksi TNI/Polri. "Pertama, adanya indikasi korupsi-kolusi-nepotisme yang dipraktekkan oleh Gus Dur, dan kedua, adanya indikasi pelanggaran sumpah jabatan," katanya. Selain itu, kata sumber TEMPO di militer, masih ada faktor lain. Sepekan kemarin, hubungan Presiden dengan militer sedemikian tegangnya. Pangkal soalnya ada pada acara sarapan pagi bersama di Istana Merdeka, Ahad, 28 Januari lalu. Hadir antara lain Panglima TNI Laksamana Widodo A.S., tiga kepala staf, Menteri Yudhoyono, Mahfud, dan Sekretaris Kabinet Marsilam Simanjuntak. Saat itulah Presiden mengutarakan niatnya mengeluarkan dekrit membubarkan parlemen (lihat: Dekrit Prematur). Semua terdiam. KSAD Jenderal Endriartono Sutarto angkat bicara. Dengan lugas, ia menyatakan keberatannya atas rencana itu. Menurut seorang anggota kabinet yang dekat dengan Mega, ini diulangi lagi saat acara sarapan di kediaman Wakil Presiden, Rabu pagi pekan lalu. Begitu duduk di meja makan, Presiden langsung menyatakan niatnya menyatakan keadaan darurat dan membubarkan parlemen. Mega serta sejumlah menteri dan petinggi militer yang hadir terdiam seribu basa. Merasa tak didukung, Presiden berniat menggusur Jenderal Endriartono untuk menggantinya dengan mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Letjen Agus Wirahadikusumah. Belakangan juga terbetik kabar bahwa Mayjen Saurip Kadi, mantan Asisten Teritorial Kasad, akan didudukkan sebagai Kepala Badan Intelijen Strategis untuk memuluskan dekrit. Untuk itu, ia minta Mega mendesak Endriartono mengundurkan diri. Tapi, Abdurrahman salah kalkulasi. Rabu sore, sebuah rapat mendadak digelar di Markas Besar Angkatan Darat. Hadir Panglima Kostrad Letjen Ryamizard Ryacudu, Pangdam Jaya Mayjen Bibit Waluyo, dan para petinggi AD lainnya. Keputusan diambil. Endriartono diminta jangan mundur, kecuali dipecat langsung oleh Presiden. Sikap ini juga didukung oleh para petinggi Angkatan Udara ataupun Angkatan Laut. Semula, sebelum akhirnya dibatalkan, sempat disusun rencana untuk kembali mengirimkan petisi?seperti yang pernah dilakukan untuk menentang pencalonan Agus W.K. sebagai Kasad pada Agustus lalu. Para sesepuh TNI pun bulat mendukung keputusan ini. Soal itu dikonfirmasikan oleh Letjen (Purn.) Haryoto P.S. "Saya juga mendengar Gus Dur, dengan amat emosional, berniat menyatakan status darurat di Ibu Kota, tapi ditolak oleh Kepala Staf Angkatan Darat," kata mantan Kepala Staf Sosial-Politik yang kerap dimintai pendapatnya oleh para petinggi Angkatan Darat ini. Jenderal Endriartono sendiri telah membantah kabar bahwa ia bakal dicopot. Dan kepastian soal itu, kata Menteri Mahfud, telah ditegaskan. Pada sidang kabinet Sabtu siang tadi, Presiden Abdurrahman menyatakan tak akan mengganti Jenderal Endriartono dengan Letjen Agus Wirahadikusumah seperti santer disebut-sebut. Jelas, kata sumber itu lagi, militer kini penuh berada di sisi Mega. "Dukungan militer untuk Gus Dur sebenarnya telah ditarik," katanya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan rapat koordinasi bidang politik, sosial, dan keamanan pekan lalu yang isinya antara lain mengoreksi pernyataan Presiden Abdurrahman bahwa TNI masih loyal kepadanya. Ditegaskan, yang didukung TNI adalah pemerintahan yang sah, sejauh masih dikehendaki rakyat. Kehendak rakyat. Itulah persoalannya. Di satu sisi, tak kurang desakan agar Abdurrahman segera mundur telah disuarakan oleh cendekiawan yang amat dihormati, Nurcholish Madjid, yang telah lama senantiasa mencoba mengerem upaya menjatuhkan Presiden di tengah masa jabatan. "Mundur secara legowo merupakan pilihan terbaik bagi Gus Dur. Itu lebih halus konsekuensi politiknya," kata Nurcholish pekan lalu. Ia mencontohkan pengunduran diri Presiden AS Richard Nixon ketika menghadapi ancaman impeachment dalam kasus Watergate. Tapi, Presiden Abdurrahman sendiri memilih kukuh bertahan. Di kantong pendukungnya, Situbondo, Jawa Timur, ratusan warga Nahdlatul Ulama yang marah memblokir jalan lintas Jawa-Bali sepanjang 50 kilometer, akhir pekan lalu. Dan di Malang, massa pendukung Presiden bahkan nyaris membumihanguskan kantor Golkar dan Partai Amanat Nasional. Kekerasan adalah bentuk sarkasme dari kepedihan yang mendalam, kata Multatuli. Dan kekerasan tak kan bisa mempertahankan Presiden Abdurrahman, yang sebagian kekuasaannya kini telah mengalir deras ke Megawati. Abdurrahman Wahid, dalam sebuah wawancara di majalah asing sebelum jadi presiden, pernah menyebut Mega seorang "bodoh tapi baik hati". Ironis bahwa kini nasibnya akan makin bergantung pada perempuan yang sama. Karaniya Dharmasaputra, Adi Prasetya, Endah W.S., Tomi Lebang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus