Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dekrit Prematur

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEGER itu berawal di Bina Graha. Sabtu sore dua pekan lalu, saat bertemu 112 rektor perguruan tinggi agama Islam swasta se-Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid melontarkan pernyataan yang membuat tenggorokan hadirin tercekat. Seperti diakui Menteri Pertahanan Moh. Mahfud, yang juga hadir di sana, Presiden menyatakan akan mengeluarkan dekrit untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, dan menyelenggarakan pemilihan umum baru. Mendengar itu, Mahfud melonjak kaget. Dia langsung meminta wartawan yang hadir tak memberitakan pernyataan sensitif itu. Tapi kabar itu telanjur merembes keluar. Orang pun teringat kembali akan Dekrit Presiden Sukarno, 5 Juli 1959. Ketika itu, di tengah memuncaknya konflik ideologis, sidang Konstituante gagal menetapkan konstitusi baru untuk menggantikan UUD Sementara 1950. Di atas argumen persatuan dan keselamatan negara dalam keadaan bahaya, Bung Karno lalu mengeluarkan dekrit. Ada empat isinya: membubarkan Konstituante, kembali ke UUD 1945, membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara. Apa alasan Presiden Abdurrahman untuk membubarkan parlemen kali ini? Dalam pertemuan informal di Istana Merdeka keesokan paginya, pertemuan yang diprakarsai Menteri Mahfud dan dihadiri oleh Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, Panglima TNI Laksamana Widodo A.S., tiga kepala staf serta Kepala Badan Intelijen Negara Letjen Arie J. Kumaat, Presiden Abdurrahman mengungkapkan alasan serupa seperti Sukarno. Dekrit, kata Presiden, akan dikeluarkan berdasarkan pertimbangan negara dalam keadaan darurat, kali ini akibat pergolakan separatisme di sejumlah provinsi. Bukan alasan itu yang dilontarkan Presiden Abdurrahman ketika berhadapan dengan para rektor sehari sebelumnya. Diutarakan dua hari menjelang sidang Panitia Khusus Skandal Bulog dan Sumbangan Sultan Brunei, Presiden tampak kian tersudut oleh upaya parlemen, yang terus memojokkannya dalam dua kasus tadi. Bagaimanapun, separatisme adalah isu yang mudah dibeli oleh para jenderal. Namun, sejauh ini mereka tampak tak tergoda. Menurut Mahfud, semua yang hadir mencoba meyakinkan Presiden agar tak nekat menempuh langkah itu. "Kami sampai setengah mengemis meminta dia jangan sampai melakukan niatnya membubarkan DPR," katanya. Dalam rapat terpisah, seperti dituturkan Mahfud, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Endriartono Sutarto menolak gagasan Presiden tadi. Endriartono mengatakan, TNI akan mendukung 3.000 persen setiap upaya menjaga keutuhan wilayah RI. Tapi, kalau diminta mengamankan pembekuan parlemen dan meredam gerakan oposisi, kata Endriartono, militer angkat tangan. Di luar Istana, gelagat penolakan tak kurang kerasnya. Reaksi berhamburan. Menurut guru besar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Profesor Jimly Ashidiqie, manuver itu tak bisa dilakukan dalam sistem presidensial (meski tak penuh), yang dianut sistem politik negeri ini. "Presiden dan parlemen berada dalam posisi sejajar," katanya. Penjelasan UUD 1945 jelas-jelas menyatakan presiden tak bisa dijatuhkan dewan. Begitu pula sebaliknya, dewan tak bisa dibubarkan presiden. Kalaupun kini parlemen sepakat mengeluarkan memorandum, itu sebatas mengusulkan penyelenggaraan sidang istimewa. Keputusan akhir tetap ada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat?lembaga tertinggi negara. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, juga melihat tak cukup alasan bagi Presiden untuk mengeluarkan dekrit. Negara tak dalam keadaan darurat. Situasi kini juga tak memungkinkan. Ketika itu, Dekrit 5 Juli mendapat dukungan penuh dari militer di bawah pimpinan Jenderal A.H. Nasution. Anggota parlemen yang sedang reses dan pulang ke daerahnya masing-masing dihalang-halangi untuk kembali. Militer lalu mengumumkan keadaan darurat. Pers diberangus dan pertemuan politik dilarang. "Jika itu dilakukan, saya katakan Presiden sudah bertindak sebagai diktator," kata Yusril. Tentangan bahkan juga datang dari Profesor Harun Alrasid, guru besar tata negara yang baru saja diangkat sebagai penasihat hukum Presiden. "Tak pernah ada pembicaraan tentang ini dengan saya," katanya. Jika Presiden melakukannya, kata dia, itu bukan cuma langkah mundur bagi perkembangan demokrasi, tapi juga pelanggaran serius terhadap konstitusi. "Dekrit 5 Juli lahir semata karena kegusaran Bung Karno terhadap penolakan parlemen atas rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diajukan pemerintah," katanya. Dari Senayan, bahkan datang hujan hujatan. Langkah itu dinilai inkonstitusional dan justru akan menambah daftar pelanggaran Presiden. "Sebelum dia membubarkan DPR, kita jatuhkan dulu saja," kata Zulvan Lindan dari PDI Perjuangan. Jika sidang paripurna DPR kemudian secara telak menerima laporan pansus dan bahkan mengusulkan memorandum, adalah Presiden Abdurrahman sendiri yang tampaknya menyediakan peluru untuk merontokkan kursinya. Karaniya Dharmasaputra, Endah W.S., Hendriko L. Wiremmer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus