Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ongkos Mahal dan Dalil Haram

DPR merasa yakin, memorandum akan berujung pada impeachment. Tapi Harun Alrasid menganggap memorandum tergolong inkonstitusional.

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJARAH tata negara kini punya catatan penting. Buat pertama kalinya DPR membidikkan memorandum (peringatan) ke arah presiden. Itu karena delapan dari sepuluh fraksi di DPR, berdasarkan hasil penyelidikan Pansus DPR, menganggap Presiden Abdurrahman Wahid terkait kuat dengan kasus dana Bulog dan sumbangan Sultan Brunei. Menurut anggota DPR dari Fraksi Reformasi, Alvin Lie, keputusan memorandum didasarkan pada Pasal 7 Ketetapan MPR Nomor III Tahun 1978. Dalam hal ini, Presiden dianggap telah melanggar haluan negara, baik yang ada dalam UUD 1945, yakni Pasal 9 tentang sumpah jabatan, maupun aturan di luar UUD 195, yaitu Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Kata Alvin, memorandum merupakan kompromi politik paling maksimal di DPR. Sebab, sebagian besar anggota DPR sebenarnya sudah merasa muak dengan sikap Presiden, yang bukan hanya lamban dalam menjalankan roda pemerintahan, tapi juga menciptakan KKN baru. Alvin sendiri mengaku merasa lebih srek bila Presiden mengundurkan diri. Baginya, itu lebih baik untuk masa depan bangsa dan negara, ketimbang Presiden diberi memorandum. "Selain nantinya menimbulkan harga mahal terhadap ketidakpastian pemerintahan dan ekonomi, juga prosedur konstitusionalnya untuk sampai ke pemberhentian Presiden oleh MPR terlalu lama," tuturnya. Agaknya, sulit berharap Presiden mundur. Karena itu, prosedur memorandumlah yang ditempuh. Dengan memorandum pertama, Presiden harus segera memperbaiki sikap dan cara menjalankan pemerintahan. Selama tiga bulan sejak memorandum pertama, "Presiden harus sungguh-sungguh mengikuti saran DPR dan tak lagi mengulangi kesalahan," kata ahli hukum tata negara Jimly Ashidiqie. Kesalahan dimaksud tak lain agar Presiden tak kembali menyalahgunakan kekuasaan, berbohong kepada publik, dan terlibat KKN. Bila hal itu tak diindahkan Presiden, DPR bisa mengeluarkan memorandum kedua. Umur memorandum kedua ini cuma sebulan. Kalau masih tak dipedulikan lagi, sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (4) Ketetapan MPR Nomor III Tahun 1978, DPR dapat meminta MPR untuk bersidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden. Ketentuan itu bisa ditafsirkan pula bahwa Presiden diberi kesempatan mengubah diri untuk kedua kalinya?dan yang terakhir. Namun, menurut Jimly, berbeda dengan memorandum pertama yang bersifat peringatan, memorandum kedua sesungguhnya bersifat tuntutan DPR agar MPR melakukan sidang istimewa. Mungkin saja, seperti juga setelah adanya memorandum pertama, pada memorandum kedua Presiden bisa selamat dari impeachment (pemecatan) oleh MPR. Itu kalau pertanggungjawaban atawa pleidoi Presiden diterima MPR. Tapi, "Dengan menilik kondisi riil politik, peluang itu kecil. Legitimasi politik Gus Dur sudah game (habis)," ucap Alvin. Seironis itukah? Buat Arifin Junaidi, anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, delapan fraksi di DPR cuma mengakali konstitusi (UUD 1945) lewat mekanisme memorandum untuk menutupi hasrat mereka menggusur Gus Dur. Padahal, katanya, alasan hukum untuk memberikan memorandum kepada Presiden belum cukup kuat. "Hasil kerja Pansus kan hanya menyebut bahwa Presiden patut diduga berperan dalam kedua kasus di atas. Itu tidak berarti Presiden telah melanggar haluan negara. Harus dibuktikan dulu di pengadilan," Arifin menandaskan. Namun, argumentasi Arifin dianggap tak tepat oleh Jimly. Menurut dia, berbeda dengan konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan UUD Sementara Tahun 1950, UUD 1945 tak mengatur kemungkinan seorang presiden disidangkan di pengadilan pidana. Menurut UUD 1945, mekanisme peradilan terhadap presiden, ya, melalui proses impeachment di MPR, mirip dengan aturan dalam konstitusi Amerika Serikat. Silang pendapat tampaknya semakin seru dengan adanya pembelaan dari Harun Alrasid, penasihat hukum tata negara bagi Presiden. "Memorandum itu barang haram, tidak konstitusional. Itu tak ada dalam UUD 1945. Kalau perlu minta fatwa kepada Mahkamah Agung," ujar Harun dengan suara meninggi, sembari mengutarakan kembali pendapat lamanya yang tak menyetujui produk hukum seperti ketetapan MPR. Harun menegaskan, seharusnya ketentuan tentang memorandum dalam Ketetapan MPR Nomor III Tahun 1978 diintegrasikan ke dalam UUD 1945. Proses semacam itu juga pernah terjadi pada Ketetapan MPR Nomor 13 Tahun 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden, yang akhirnya masuk dalam amandemen pertama UUD 1945. "Kalau sudah tercantum dalam UUD 1945, itu baru halal," ucapnya. Happy S., Hendriko L. Wiremmer, dan Adi Prasetya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus