Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RABU, 30 April 1997. Dengan rasa tak percaya, KRH Soehadi Darmodipuro menyaksikan tayangan langsung di televisi. Hari itu semua stasiun meliput acara pernikahan Hutomo ”Tommy” Mandala Putra dengan Ardhia Pramesti Regita ”Tata” Cahyani. Hanya sejenak, budayawan Keraton Surakarta, Jawa Tengah, itu buru-buru mematikan televisi.
Soehadi, 60 tahun, rupanya gamang menyaksikan keris yang dikenakan Tommy pada upacara pernikahan itu. Dia menganggap ganjil keris yang terselip di bagian punggung putra Soeharto itu. Itulah keris gayaman—khusus untuk perkabungan. ”Saya nggak percaya,” kata Mbah Hadi, begitu Soehadi biasa disapa. ”Ini bisa berakibat celaka.”
Menurut Mbah Hadi, Tommy seharusnya memakai keris ladrangan—khusus untuk upacara pernikahan. Ia percaya, salah pakai, salah tempat, dan salah waktu ageman bisa membawa petaka. Tommy, kita tahu, kemudian memang masuk bui. Dan inilah yang dianggap Mbah Hadi sebagai ”celaka”.
Toh, Mbah Hadi mencoba tak percaya. Dibukanya kitab primbon Jawa, mereka-reka hitungan pawukon. Tommy lahir Ahad Pahing, 15 Juli 1962, dan Tata Rebo Legi, 2 April 1975. Di situ tertulis, pasangan ini tidak jodoh. Keduanya bisa melahirkan satria wiring—sesuatu yang harus dihindari dengan menjalani ruwatan, atawa tolak bala.
Perkara itung-itungan Jawa, Cendana juga tentu punya. Menurut Mas’ud Thoyib, Ketua Penghayat Kepercayaan, jika ketemu hitungan kurang baik, harus dibuatkan penangkalnya. ”Dalam pernikahan Mas Tommy, penangkal itu dimasukkan dalam urut-urutan ritual adat,” kata Mas’ud, yang terlibat persiapan pernikahan.
Ada satu permintaan Soeharto dalam menolak bala Tommy. Pemimpin Orde Baru itu minta digelar Bedaya Sanga—yang dibawakan sembilan anak dara. Maksudnya: agar rumah tangga Tommy dan Tata langgeng sejahtera. Masih banyak tetek-bengek tolak bala lain, seperti pemasangan bleketepe (sesaji buah-buahan di pintu), siraman, sampai midodareni.
Mas’ud melihat Soeharto mengistimewakan Tommy. Ingatlah pada September 1965, ketika Tommy kecil tersiram sup panas dan sang ayah menungguinya di RSPAD Gatot Subroto. ”Dari garis wajahnya juga Mas Tommy paling mirip Pak Harto,” kata Mas’ud. Menyongsong pernikahan Tommy-Tata, Mas’ud yakin Soeharto menjalani ritual khusus nglakoni, antara lain meditasi dan puasa.
Olah kebatinan memang hobi Soeharto. Mas’ud tahu betul, Soeharto sering nglakoni bareng paranormal Soedjono Hoemardhani, Mesran, Romo Marto, dan Romo Lukman—keempatnya sudah mendahului ke alam baka. Mereka ini generasi pertama lingkaran kebatinan Soeharto.
Putra Mesran, Pungky, membenarkan ayahnya sering menemani Soeharto nglakoni. Suatu ketika, misalnya, Soeharto menapak tilas jejak spiritual Panembahan Senopati. Sebelum meditasi, Soeharto juga menjalani tirakat 40 hari.
Sejak para sesepuh itu meninggal, Soeharto nglakoni sendiri. Ia, konon, sudah mencapai ilmu tertinggi, Gondelan Kayon—pasrah kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Soeharto nglakoni suaraning asepi—bisikan terhening—untuk mendapat dhawuh atau petunjuk. ”Pak Harto punya ruangan meditasi di rumah Cendana,” kata Mas’ud, yang mengaku pernah melihat ruangan itu.
Paranormal Buanergis Muryono, yang juga terlibat dalam persiapan spiritual pernikahan Tommy, lain pula komentarnya. Sebelum pernikahan, katanya, Cendana sudah tahu pasangan Tommy dan Tata tidak cocok. ”Berdasarkan perhitungan nama dalam aksara Jawa, bukan penanggalan,” kata Muryono, yang berambut gondrong dan berpakaian serba hitam.
Dua nama tadi bakal dipenuhi malapetaka: pegatan (cerai), apes (susah), bahkan mati. Penolak bala apa pun tak bisa menyatukan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo