Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Misteri Anak Desa Kemusuk

Sebuah kisah menyebutkan Soeharto keturunan kerabat keraton, bukan anak petani Desa Kemusuk. Tapi, silsilah itu tetap menggantung.

4 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Saya ini benar-benar kelahiran Desa Kemusuk dan memang anak petani dari Desa Kemusuk....”

Suara bariton Soeharto menguasai ruang kerja kepresidenan di Bina Graha, Jakarta, Senin siang pada pengujung Oktober 1974. Di dalam gedung di samping Istana Negara itu, Soeharto mengundang sekitar seratus wartawan dalam dan luar negeri. Acaranya, Soeharto menceritakan tentang silsilah riwayat hidupnya.

Pertemuan yang juga dihadiri sejumlah pejabat teras saat itu memang langka. Boleh dibilang, hampir tak pernah terjadi Kepala Negara, yang pada dasarnya pendiam itu, membentangkan satu bagian dari sejarah hidupnya secara khusus kepada publik selama sekitar dua jam. Mengapa?

Semua bermula dari artikel majalah POP yang terbit di Jakarta. Dalam edisi No. 17, Oktober 1974, POP—singkatan Peragaan, Olahraga, Perfilman—terbit dengan tulisan bertajuk Teka-teki Sekitar Garis Keturunan Soeharto. ”Tulisan itu tidak saja merugikan saya pribadi, tapi juga keluarga dan leluhur saya,” kata Soeharto di hadapan wartawan waktu itu.

Tulisan lima halaman itu bercerita tentang silsilah riwayat hidup Soeharto. Kisahnya berbeda dengan silsilah yang ditulis dalam buku The Smiling General karya O.G. Roeder terbitan Gunung Agung, Jakarta, 1969. Menurut artikel itu, Soeharto sebenarnya anak seorang priayi keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Priayi itu bernama R.L. Prawirowiyono, yang bergelar R. Rio Padmodipuro.

Suatu hari, Rio terpaksa menitipkan istri dan anaknya kepada orang desa yang bernama Kertorejo, sebab ia harus menikah lagi dengan putri seorang wedana yang berpengaruh. Kala itu si anak, katanya bernama R. Soeharto, telah berusia 6-7 tahun. Ini sebuah tragedi yang sungguh menyedihkan, kata majalah itu mengutip ucapan seseorang.

Sejak itu ayah, ibu, dan anak tak pernah mencoba saling berhubungan lagi. Hingga sang ayah meninggal pada 1962, ia tak sempat melihat wajah putranya yang telah dibuangnya, yang tak lain—menurut majalah POP dengan nada pasti—adalah Soeharto, Presiden RI kedua dan penguasa Orde Baru.

Sebenarnya, sekitar dua tahun sebelum artikel POP itu terbit, bisik-bisik tentang ”silsilah” tersebut mulai santer di Yogyakarta. Dan hasilnya tampaknya telah dikirimkan kepada Soeharto langsung. Seperti diungkapkan Soeharto di depan wartawan di Bina Graha pada 28 Oktober 1974, soal silsilah itu telah lama didengarnya. ”Bahkan ada yang tulis surat kepada saya dalam bentuk cerita,” katanya.

Menurut Soeharto, isi ceritanya tentang seseorang yang kehilangan anaknya sejak kecil dan selalu dicari, sekarang ini bisa diketemukan. Bahkan anak itu telah memperoleh kedudukan tertinggi, menjadi presiden. Si orang tua yang mencari kini mengharapkan kedatangan anak itu untuk menerima warisan.

Saat itu, Soeharto segera mafhum apa yang dimaksud. Karena ia tahu siapa yang menulis surat itu (Soeharto tak menyebut nama), maka dijawabnya: gambaran bahwa dia si anak yang dicari dan kemudian ditemukan itu tak benar. ”Saya adalah anak yang dilahirkan di Desa Kemusuk,” katanya menegaskan.

Soeharto lalu menceritakan kisah hidupnya. Katanya, ia dilahirkan pada 8 Juni 1921 di Desa Kemusuk, sebuah desa terpencil di wilayah Argomulyo, Godean, sebelah barat Kota Yogyakarta. Ibunya bernama Sukirah. Sedangkan ayahnya, Kertosudiro, adalah ulu-ulu atau petugas desa pengatur air yang bertani di atas tanah lungguh, tanah jabatan selama memikul tugasnya itu. ”Beliau yang memberi nama Soeharto kepada saya.”

Kertosudiro, menurut keterangan Soeharto, seorang duda beranak dua. Jadi, ia anak ketiga dari Kertosudiro dengan ibu Sukirah. Hanya, hubungan Kertosudiro-Sukirah ternyata kurang serasi sehingga, begitu Soeharto lahir, orang tuanya bercerai. Soeharto kemudian diasuh Mbah Kromodiryo, dukun yang biasa menolong orang melahirkan, termasuk menolong kelahiran Soeharto. ”Nama panggilannya adalah Mbah Kromo, adik kakek saya, Mbah Kertoirono,” kata Soeharto.

Beberapa tahun kemudian Ibu Sukirah menikah lagi dengan seseorang bernama Atmopawiro. Pernikahannya itu melahirkan tujuh orang anak: Sukiyem, Sucipto, Nyonya Haryowiyatmo, Probosutejo, Suminah, Suwito, dan Nyonya Suharjo. Sedangkan ayah Soeharto juga menikah lagi. Dan dari pernikahan yang ketiganya itu ia mendapat empat anak lagi: Nyonya Harsono, Santoso, Nyonya Juhron, dan Nyonya Tubagus Sulaeman.

Begitulah Soeharto mengisahkan sejarah hidupnya. Waktu itu, silsilah versi resmi Soeharto itu dibagi-bagikan kepada para wartawan. Yang jelas, dalam pandangan Soeharto, tuduhan yang dimuat POP itu bisa menimbulkan perdebatan dan perbedaan serius dalam masyarakat. Sebab, tuduhan itu memberikan kesempatan yang baik untuk subversi, mengganggu stabilitas nasional, dan akan mempermalukan bangsa. ”Juga akan menciptakan ketidakpercayaan kepada pemimpinnya,” Soeharto menandaskan.

Tapi, benarkah artikel dalam majalah POP itu gosip belaka? Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, awal Januari 1975, Rey Hanityo, Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab POP, menyodorkan pembelaan. Katanya, artikel tentang silsilah riwayat hidup Soeharto itu merupakan hasil penelitian wartawan POP dari sumber berita yang dapat dipercaya. Dan tulisan itu sedikit pun tak bermaksud menghina presiden. Itu sekadar menyumbangkan tulisan untuk bahan perbandingan antara versi majalah POP dan buku The Smiling General karya O.G. Roeder. Harapannya, ”Pak Harto sudi menerimanya untuk jadi bahan baru,” ujar Rey kepada Tempo saat itu.

Tapi Soeharto malah berang. Ia membantah semua yang ditulis POP. Dan majalah itu pun dibredel: Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbit dicabut. Rey Hanityo—yang asal Tegal, Jawa Tengah—dijebloskan ke penjara. Tamatlah riwayat majalah dwi-mingguan itu. Padahal, tulisan itu seharusnya bersambung pada edisi berikutnya.

Tempo mencoba menyibak misteri di sekitar silsilah Kemusuk itu. Romo Satroatmojo, abdi dalem juru serat keraton, sekaligus ipar R. Rio Padmodipuro, mengungkapkan bahwa ia menyaksikan langsung kelahiran Soeharto. Menurut dia, Soeharto merupakan anak bekel (abdi dalem) Prawirowiyono, yang kemudian bergelar R. Rio Padmodipuro, dari istri pertamanya: Sukirah.

Pada usia 0-7 tahun, Soeharto tinggal di belakang Jayeng Prakosan di Suronatan, Yogyakarta. Setelah itu, Soeharto kecil kemudian diboyong ke Desa Kemusuk. Tapi sayang, ayahnya melupakannya dan tak pernah mengirimkan nafkah karena takut kepada mertuanya, Jayeng Prakosa, yang saat itu mempunyai kekuasaan besar dan punya kedekatan dengan Sultan Hamengku Buwono VII, sebagai raja saat itu.

Setelah Soeharto diungsikan ke Kemusuk, beberapa kali kakak Rio, RA Martopuro, menengoknya. Bahkan ia ingin memboyong Soeharto ke rumahnya, di Ndalem Notoprajan, namun ditentang adiknya, Jayeng Turangga. Upaya RA Martopuro itu sesungguhnya juga atas keinginan Rio, agar ayah-anak itu tak kehilangan jejak. ”Rio, yang pendiam dan takut pada istri kedua dan mertuanya, akhirnya mengalah diam,” ujar Romo Sas, panggilan akrabnya, kepada Tempo yang menemuinya dua tahun sebelum ia meninggal pada 2004.

Kisah serupa dituturkan Romo Gayeng. Menurut dia, ayahnya, Raden Mas Purbowaseso (dulu juga dipanggil Romo Gayeng), pernah menceritakan riwayat Soeharto. ”Kesaksian itu dimuat majalah POP edisi Oktober 1974,” katanya saat ditemui di rumahnya di Kampung Jambu, Yogyakarta, Agustus 2001 lalu.

Ayah Romo Gayeng, RM Purbowaseso, adalah kakak kandung R. Rio Padmodipuro. Ketika Soeharto lahir, R. Rio Padmodipuro masih berpangkat bekel (abdi dalem) dan bernama R.B. Prawirowiyono. Setelah menikah, ia tinggal di Kampung Suronatan sampai lahirnya Soeharto.

Kelahiran Soeharto ternyata tak membawa kebahagiaan bagi Sukirah, karena Prawirowiyono diambil menantu oleh Mas Wedono Jayeng Prakosa, seorang wedana keraton yang dekat dan disayang Sri Sultan Hamengku Buwono VII. ”Pengaruh Jayeng Prakosa yang sangat kuat membuat Prawirowiyono tak berani menolak.”

Takut akan mempengaruhi kedudukannya, ia mengungsikan istri dan anaknya (Soeharto) yang masih kecil ke sebuah rumah di belakang Jayeng Prakosan. Walau telah disembunyikan, akhirnya tetap tercium oleh istri keduanya. Karena bingung, ia mengungsikan istri pertama dan anaknya ke luar kota, di rumah seorang kenalannya yang mempunyai jabatan ulu-ulu di Desa Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, bernama Kertorejo. ”Pada waktu itu umur Soeharto baru sekitar 6-7 tahun,” ia menjelaskan.

Begitulah. Mungkin yang cukup menarik adalah pernyataan Sumitro Djojohadikusumo dalam otobiografinya, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang. Menurut Sumitro, dalam acara lamaran Prabowo-Titiek, Soeharto pernah berkisah tentang masa kecilnya. Katanya, sewaktu berusia sepuluh tahun, ”Soeharto menjadi rebutan antara orang tua angkatnya dan ayah kandungnya yang berasal dari lingkungan keraton.”

Bila pernyataan Sumitro itu benar, jelaslah bahwa Soeharto memang pernah keceplosan bicara tentang dirinya yang memang keturunan seorang priayi keraton. Jadi, ia bukan anak petani dari Kemusuk seperti selama ini dikemukakannya. Soalnya: mengapa ia keberatan mengaku sebagai keturunan keraton dan memilih menyebut diri anak petani? Adakah hubungannya dengan jabatannya sebagai presiden, yang tentu lebih ”dramatis” jika presiden datang dari rakyat kebanyakan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus