Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KENDATI sudah bertahun-tahun tinggal di Belanda, Nugroho, 85 tahun, masih mengingat rumah besar yang berada paling dekat dengan jalan raya di kompleks Pabrik Gula Rejoagung di Madiun, Jawa Timur. Ia bercerita, 62 tahun lalu kompleks pabrik itu menjadi markas Badan Kongres Pemuda.
Nugroho bekerja di bagian penerangan badan itu. Ia ingat saat itu Rejoagung di bawah kendali Soemarsono yang ditugasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) menjadi Ketua Badan Kongres Pemuda Madiun.
Rumah itu pula yang pada pekan ketiga September 1948 berkali-kali didatangi orang berseragam militer. Tamu yang datang itu adalah orang-orang bekas Laskar Pemuda Sosialis yang masuk jadi tentara di Brigade 29.
Soemarsono memang sudah tak lagi bertugas di militer sejak dipecat Perdana Menteri Mohammad Hatta dari Pendidikan Politik Tentara. Oleh Hatta bintang dua di pundaknya juga dilucuti. Tapi ia masih punya pengaruh karena merupakan salah satu pentolan Pesindo.
Saban kali bekas anak buahnya datang, yang dibawa adalah kabar-kabar buruk. ”Mereka melaporkan ada pasukan dengan badge tengkorak berlatih menembak dekat markas mereka,” kata Soemarsono.
Lain waktu mereka melaporkan hilangnya tiga pemimpin pemogokan Serikat Buruh Daerah Autonom. Penculiknya ditengarai pasukan tengkorak tadi. Kelompok bersenjata yang sama juga dituding menembak anggota Serikat Buruh Kereta Api.
Nugroho, tukang gambar poster Badan Kongres Pemuda, bercerita saat itu situasi Madiun memang panas. ”Ada tentara, ada laskar macam-macam, dan mereka sering bentrok,” ujarnya. Yang paling mencolok, kata dia, adalah kelompok bersenjata dengan logo tengkorak di seragamnya.
Rentetan masalah itu mengingatkan Soemarsono akan cerita tiga perwira—Letnan Kolonel Suwardi, Komandan Angkatan Laut Solo Letnan Kolonel Achmad Jadau, dan Letnan Kolonel Slamet Rijadi yang datang dari Solo, Jawa Tengah. Ketiga perwira ini menceritakan soal penembakan dan penangkapan orang-orang kiri di daerah mereka.
Soemarsono yakin hanya dalam hitungan hari masalah di Solo bakal sampai ke Madiun. Apalagi intelijennya di Polisi Militer dan Brigade Mobil bercerita ada instruksi dari pemerintah Mohammad Hatta untuk menangkap dirinya. Bahkan Brigade 29 juga akan dilucuti oleh Brigade Mobil Polisi.
Ia makin yakin saat didatangi kawan lamanya, Kolonel Moestopo, yang menyampaikan kabar senada. Moestopo, yang saat itu sudah bergabung dengan p asukan Siliwangi, bahkan mengatakan ia diperintahkan untuk menangkap Soemarsono. ”Tangkap saja. Tapi apa mungkin menangkap saya tanpa saya melawan!” Soemarsono balik menghardik.
Pada 16 September, Soemarsono menerima telepon dari Kediri. Di ujung sambungan terdengar suara Panglima Divisi Brawijaya Kolonel Sungkono. Bekas tetangga Soemarsono saat tinggal di Peneleh, Surabaya, Jawa Timur, itu mengajak bicara tentang ulah pasukan Siliwangi.
”Sudah, Cak, serang saja mereka. Masak sampean dari Surabaya bisa dihantam-hantam begitu?” kata Soemarsono menirukan ucapan Sungkono. ”Hadapi saja Siliwangi itu, kami sepenuhnya di belakang Madiun.”
Digosok Sungkono, Soemarsono semakin panas. Menurut Himawan Soetanto dalam bukunya, Rebut Kembali Madiun, Brigade 29 memiliki kekuatan sekitar lima batalion. Mantan Panglima Daerah Militer Siliwangi ini menjelaskan, pasukan yang dipimpin Kolonel Dachlan tersebut sudah bersiaga di seputar Madiun, yakni di Ponorogo, Ngawi, Magetan, Pacitan, sampai ke lereng-lereng Gunung Wilis di Kediri.
Di lain pihak, pada awal September kelompok-kelompok di sekitar Madiun yang berpotensi menjadi lawan Soemarsono sudah diberangus. Itu yang dialami Pesantren Takeran di Magetan yang enggan mendukung gerakan kiri di sana. Satu per satu pemimpin pondok dijemput dan tak pernah kembali.
Madiun sendiri jadi basis massa yang solid buat gerakan ini karena kota itu punya bengkel kereta api dan banyak pabrik gula. ”Mereka dapat dukungan dari buruh pabrik dan serikat buruh kereta api,” kata mantan Tentara Republik Indonesia Pelajar di Madiun, Yusuf Musdi.
Merasa di atas angin, Soemarsono pada 16 September berangkat meminta restu kepada Musso dan Amir Sjarifoeddin di Kediri. Ia bercerita tentang kondisi Madiun dan kekhawatiran adanya penculikan terhadap komandan tentara yang berpihak ke Front Demokrasi Rakyat—organisasi yang menghimpun kelompok kiri, termasuk PKI.
Kepada Soemarsono, Musso bertanya tentang perimbangan kekuatan. ”Tidak usah khawatir, saya kenal pasukan saya,” jawab Soemarsono. Kalau begitu bertindak saja, lucuti pasukan itu,” kata Musso lagi. Amir menimpali, ”Bertindak saja, sebelum mereka bertindak.” Pertemuan larut malam itu berakhir. Soemarsono pamit dan Musso merangkulnya. ”Saya bertindak itu atas perintah Musso,” ujarnya belakangan.
Namun peneliti sejarah dari Universitas Cornell, Ann Swift, meragukan klaim tersebut. Menurut dia, petinggi Front Demokrasi baru tahu setelah pelucutan selesai. Swift merujuk pada berita Madjallah Merdeka terbitan 30 September 1948, yang menyebut para aktivis Front yang kemudian tertangkap mengaku tak tahu-menahu rencana Soemarsono yang disebut ”agak terburu-buru” itu.
Himawan Soetanto sependapat dengan Swift. Himawan melihat petinggi Front belum menghendaki gerakan bersenjata. Buktinya, kata dia, saat Peristiwa Madiun pecah, Musso dan Amir justru sedang bersafari di kota-kota lain buat menggalang dukungan.
Himawan yang ikut operasi Siliwangi menyerang Madiun juga menilai perhitungan Soemarsono meleset. Pasukan-pasukan yang dianggap bakal memberikan dukungan malah berbalik menggempur Soemarsono, termasuk Kolonel Sungkono.
Pada 17 September malam, suasana Pabrik Gula Rejoagung mencekam. Nugroho yang tinggal di Asrama Rejoagung diberi tahu malam itu akan terjadi sesuatu. ”Kami diminta tenang dan jangan keluar,” katanya.
Lewat tengah malam terdengar letusan pistol. Tar, tar, tar! Tiga kali tembakan di pagi buta itu menandai bergeraknya serdadu Brigade 29.
Soemarsono, yang mengendalikan pasukan dari Rejoagung, mengirim pasukan merangsek ke tiga titik di Madiun: markas Polisi Tentara Republik Indonesia, markas Brigade Mobil Polisi, dan basis ”pasukan tengkorak” di Maospati, daerah perbatasan dengan Magetan. ”Saya putuskan menyerang duluan,” kata Soemarsono. ”Bisa repot kalau saya harus menghadapi tiga pasukan itu sekaligus.”
Kalah dalam jumlah, lawan di markas Polisi Militer dan ”pasukan tengkorak” dengan cepat ditekuk pasukan Soemarsono. Namun di markas polisi yang tak jauh dari Rejoagung terjadi perlawanan sengit. Menurut Nugroho, kontak senjata di markas polisi itu terdengar sampai asramanya di Rejoagung. ”Suara tembakan baru berhenti sekitar pukul empat pagi,” ujarnya.
Nugroho bercerita, semua aktivis Badan Kongres baru berani keluar asrama saat hari sudah terang dan melihat barisan panjang polisi digiring pasukan Soemarsono. ”Panjang sekali, saya lihat ada yang belum berpakaian,” ucapnya. ”Semua digiring entah ke mana.”
Penyerangan rupanya meluas sampai ke tapal batas kota. Kantor polisi Gorang Gareng di perbatasan Madiun dan Magetan juga jadi sasaran. Sempat melawan, polisi akhirnya menyerah karena kehabisan peluru.
Enam jam setelah pistol menyalak di Rejoagung, Brigade 29 sukses memukul lawan-lawannya. Madiun dan sekitarnya dikuasai penuh pasukan Front Demokrasi Rakyat.
Menurut Soemarsono, cuma dua anak buahnya yang tewas. Saat pemakaman mereka, Soemarsono berseru lantang, ”Van Madiun begint de victorie!” Dari Madiun kemenangan dimulai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo