Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar 50 meter dari tepi Jalan T. Panglima Nyak Makam, Banda Aceh, tercagak Hotel Hermes Palace. Hotel 159 kamar itu terlihat paling besar di antara bangunan rumah toko di sekitarnya. Ini satu-satunya hotel bintang empat di Aceh. Pemiliknya, Hermes Thamrin, mengeluarkan lebih dari Rp 100 miliar untuk membangunnya. Dan penginapan itu tak pernah sepi pelanggan.
Sepuluh tahun sesudah tsunami, bisnis hotel dan restoran berkembang pesat. Tahun lalu, kontribusinya 17,66 persen dari produk domestik regional bruto (PDRB) Aceh—kedua terbesar setelah pertanian. Sabang, yang termasyhur dengan pantainya, memiliki 53 penginapan.
Perlahan ekonomi Aceh pun bangkit. Rekonstruksi 2005-2009 membuat infrastruktur dasar sudah memadai. "Itu memberi landasan Aceh tumbuh lebih lanjut," ujar Nazamuddin, pengamat ekonomi dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Aceh tiga tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Aceh selalu positif. Pada 2013, PDRB Aceh mencapai Rp 38,01 triliun, naik Rp 1,53 triliun dibanding tahun sebelumnya. Ekonomi Aceh terus tumbuh dan mencapai 4,18 persen pada 2013, walau masih di bawah PDB nasional 5,78 persen.
Investasi juga terus meningkat. Sektor paling diminati dalam dua tahun terakhir adalah perkebunan dan tanaman pangan, diikuti industri makanan dan pertambangan. Investasi dari dalam negeri pada 2013 lebih dari Rp 3,5 triliun, meningkat dari Rp 1,034 triliun pada 2012. Sedangkan investasi asing US$ 26 juta. Pada 2013, nilai pembentukan modal tetap bruto—tolok ukur kegiatan investasi—adalah Rp 6,4 triliun, naik dari Rp 5,8 triliun pada 2011.
Walau berkembang, menurut analisis BPS, perekonomian Aceh masih rapuh. Porsi investasi kalah dibanding konsumsi rumah tangga senilai Rp 14,7 triliun. Angka PDRB 2013 pun belum melebihi angka pada 2003—setahun sebelum tsunami—Rp 44,68 triliun.
Mengapa Aceh belum menarik minat investor? Firmandez, Ketua Kamar Dagang dan Industri Aceh, menyebutkan problem klasik, seperti kurangnya pelayanan kepada investor, nepotisme, dan kurangnya akses terhadap modal. Studi Bank Dunia pada 2009 menyatakan penghambat utama adalah kurangnya listrik serta pemerasan dan ancaman keamanan—sisa masa konflik. Kedua hal itu rupanya masih ada, walau sudah berkurang.
Contohnya pengalaman Hermes. Lima tahun pertama, ia nyaris tak mendapat untung. Uangnya terkuras untuk dua genset berukuran dua megawatt. Baru belakangan ada aliran listrik PLN, walau belum optimal. "Awalnya banyak orang bilang saya 'gila'," ucapnya.
Menanggapi keluhan ini, Iskandar, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Aceh, mengatakan pemerintah sedang mendorong investasi di sektor energi. Pembangkit Listrik Tenaga Air Peusangan di Aceh Tengah sedang dibangun. "Banyak sungai di Aceh berpotensi menjadi sumber energi. Lebih dari 4.500 megawatt," ujarnya.
Masalah lain: persepsi Aceh sebagai wilayah konflik rupanya masih kuat. Dalam acara Aceh Business Forum, April lalu, di Jakarta, Sofjan Wanandi—ketika itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia—menyatakan belum banyak pengusaha yang berani berinvestasi di sana. "Paling takut soal keamanan, sehingga tak berani mengambil risiko tanpa tahu persis kondisi yang dihadapi," katanya.
Beberapa letupan kecil bisa jadi memperkuat persepsi ini. Februari lalu, mes pekerja kontraktor pemasangan pipa gas PT Cipta Panji Manunggal di Desa Seunebok Benteng, Kecamatan Geureubak, Kabupaten Aceh Timur, ditembaki orang tak dikenal. Dua bulan lalu, kelompok bersenjata yang dipimpin Din Minimi memprotes gubernur karena tak memperhatikan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka. Belum lagi demo soal bendera Aceh.
Menurut Firmandez, penyebab letupan ini antara lain karena pemerintah pusat belum mengimplementasikan butir kesepakatan Helsinki dan turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA). Syarat dalam perjanjian damai adalah kompensasi lahan seluas dua hektare untuk mantan kombatan dan korban konflik. Aceh juga menuntut otonomi lebih besar dalam urusan pertanahan; jatah 70 persen untuk eksploitasi minyak dan kesepakatan atas qanun bendera Aceh. "Kami mengalami konflik 30 tahun. Banyak yang harus diperbaiki," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo