Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Reuni Pendiri Astra

Berjasa membawa Adaro menjadi produsen batu bara kedua terbesar di Indonesia dan kelima di dunia. Mengintegrasikan penambangan hingga pembangkit tenaga listrik.

6 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Garibaldi Thohir "terbang" berkat batu bara. Meroket pesat, kini dia menjadi miliuner papan atas Tanah Air. Dengan taksiran kekayaan hingga US$ 1,2 miliar, pengusaha 47 tahun ini tercatat sebagai orang terkaya ke-15 di Indonesia. Boy Thohir—nama populernya seturut panggilan sejak kecil—juga masuk daftar 2.000 orang paling kaya sedunia versi majalah Forbes.

Garibaldi juga diakui sebagai pengusaha "panas". Pada awal Mei lalu, majalah ekonomi Fortune merilis hasil pemeringkatan Asia’s 25 Hottest People in Business. Menempati posisi 20, Garibaldi menjadi satu-satunya pengusaha Indonesia yang masuk daftar 25 pengusaha tersukses di kawa­san Asia. "Bagi saya, sejatinya ini beban," katanya.

Menurut dia, banyak pengusaha nasional lain yang juga layak masuk daftar tersebut. "Mereka hebat-hebat, tapi low profile. Saya juga low profile, tapi industrinya high profile, sehingga dekat dengan media," kata Presiden Direktur PT Adaro Energi Tbk ini.

Garibaldi memang identik dengan batu bara. Meski bisnisnya melebar di beberapa sektor, emas hitamlah yang terutama melejitkannya hingga ke posisi sekarang. Fortune mencatatnya mampu menggeser para penguasa bisnis batu bara di Indonesia.

Kisah suksesnya bermula dua dasawarsa lalu, ketika Garibaldi mempertaruhkan gerak bisnisnya pada batu bara. Tepatnya pada 1991, setelah meraih gelar MBA dari Northrop University, Los Angeles, California, dia mulai mengincar bisnis pertambangan ini. Aksi pertamanya membeli sebagian kepemilikan atas PT Allied Indocoal, perusahaan batu bara skala mini di Sumatera Selatan.

Investasi pada perusahaan patungan yang 80 persen sahamnya dimiliki Australia itu terkesan nekat. Merujuk pada catatan dalam situs resmi Adaro, harga batu bara saat itu rendah, sedangkan produksinya berbiaya tinggi. Batu bara AIC berkalori 6.900-7.300 dinilai US$ 32,5 per ton, padahal biaya produksi mencapai US$ 32 per ton. Marginnya hanya US$ 0,5 per ton. Toh, Garibaldi pantang mundur. "Saya tidak kehilangan sepeser pun dari Indocoal, dan pengalaman yang saya dapatkan sangat berharga," katanya mengenang aksinya ­ketika itu.

Beberapa tahun kemudian, krisis ekonomi menghembalang dunia usaha. Banyak rekanan asing keluar dari Indonesia. Garibaldi justru mengambil risiko. Prinsipnya, selalu ada peluang dalam krisis. Dia membeli kepemilikan rekanan asing yang hengkang itu. Selanjutnya, dia menghela Indocoal dengan segala pelik permasalahannya, termasuk soal penambang liar. Targetnya, Indocoal harus menghasilkan laba. Tujuan itu tercapai meski tidak signifikan.

Di sela bisnis batu bara ini, Garibaldi juga mencatatkan capaian di sektor lain. Pada 1997, dia mengambil alih PT WOM ­Finance, perusahaan kredit yang berafiliasi dengan Honda Motor, dan berhasil membawanya menjadi perusahaan pembiayaan papan atas.

Namun hati Garibaldi tetap terpaut pada batu bara. Pada 2003, dia mencoba usaha baru, kali ini di kawasan Borneo. Untuk itu, dia mengakuisisi PT Padangbara Sukses Makmur, perusahaan batu bara di Kalimantan Selatan yang saat itu berkinerja kurang baik.

Di sini dia mulai mengundang koleganya, Theodore Permadi Rachmat, Presiden Direktur PT Astra International. Arah angin pun mulai berbalik. Komoditas batu bara naik pamor, perusahaan pun melaju pesat.

Setelah kesuksesan awal di batu bara, dua tahun kemudian peluang besar menanti. Pada 2005, Garibaldi mendengar rencana penjualan PT Adaro Indonesia, perusahaan batu bara di Kalimantan Selatan. Dia pun memelopori rencana akuisisi Adaro. Untuk itu, dia menjual 67 persen saham WOM Finance ke Bank Internasional Indonesia dan mengantongi US$ 20 juta. Separuhnya kemudian akan diinvestasikan ke Adaro.

Modal itu belum cukup. Kebutuhan dana mengambil alih Adaro mencapai US$ 1 miliar. Garibaldi dan Theodore Rachmat bersama beberapa pengusaha lain yang sebelumnya sudah di dalam, yakni Edwin Soer­yadjaya, Sandiaga Uno, dan Benny Soebianto, membentuk konsorsium. Terkumpullah modal US$ 50 juta.

"Semacam reuni pendiri Astra, saya yang termuda," kata Garibaldi. Lahir di Jakarta, 1 Mei 1965, dia putra Teddy Thohir, salah satu pendiri Astra. Konsorsium kemudian mengajak beberapa lembaga investasi asing sehingga memperoleh saham 65 persen dan konsorsium lembaga investasi asing 35 persen.

Sebelumnya, Adaro adalah perusahaan pemegang perjanjian kontrak karya pengusahaan pertambangan batu bara generasi pertama yang dikuasai asing. Dengan pembelian itu, Adaro menjadi perusahaan pertambangan batu bara dan energi yang mayoritas sahamnya dimiliki pengusaha nasional. Garibaldi menjabat presiden direktur, Theodore P. Rachmat menjadi wakil presiden komisaris. "Para senior mempercayai saya memimpin Adaro," katanya.

Selanjutnya, Adaro menjadi cerita sukses Garibaldi dan pengusaha-pengusaha lain di dalamnya. Dalam hitungan tahun, Adaro menjelma menjadi raksasa batu bara Indonesia. Pencapaian ini tentu melalui upaya berpeluh, termasuk penawaran saham perdana ke publik (initial public offering/IPO) pada 2008.

Dengan kapasitas produksi mencapai 42,2 juta ton per tahun, Adaro merupakan perusahaan tambang batu bara terbesar kedua di Indonesia setelah PT Kaltim Prima Coal, dan di posisi kelima terbesar di dunia. Bersama anak perusahaan, sumber daya dan cadangan batu baranya mencapai 5,6 miliar ton.

Secara umum, menurut data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, total cadangan batu bara Indonesia sampai 2011 sebesar 105,18 miliar ton. Cadangan batu bara terbesar berada di Sumatera (52,4 miliar ton) dan Kalimantan (52,3 miliar ton). Indonesia adalah negara produsen batu bara nomor enam di dunia. Pada 2010, Indonesia memproduksi 275,16 juta ton batu bara, meningkat hampir tiga kali lipat dibanding pada 2001 yang sebesar 92,5 juta ton.

Tren volume produksi Adaro sendiri terus meningkat. Pada 2004 sebanyak 24,3 juta ton dan pada 2011 menjadi 47,7 juta ton. Ditopang peningkatan volume produksi dan harga komoditas, laba bersih perusahaan pada 2011 mencapai US$ 552 juta, naik 124 persen dari tahun sebelumnya.

Tahun ini perusahaan menargetkan laba bersih US$ 577,5-620,6 juta. Akhir tahun lalu, Forbes memasukkan Adaro ke daftar 50 perusahaan terbaik di Asia dengan nilai pasar US$ 7,6 miliar. Berkah batu bara kian bertambah seiring dengan lonjakan harga minyak dunia. Adaro pun meraksasa. Namun Garibaldi belum puas. "Perjalanan belum selesai," katanya.

Kegiatan usaha Adaro pun diintegrasikan. Selain memiliki tambang, kontraktor, pengapalan, dan pelabuhan sendiri, Adaro membangun beberapa pembangkit listrik. Tak mengherankan bila kinerjanya semakin kinclong.

Pada pertengahan Juni lalu, Garibaldi menambah kepemilikan sahamnya di Adaro sebesar 8,23 juta saham. Sebelumnya, dia memiliki 2,49 miliar saham atau setara dengan 7,8 persen total saham yang disetor penuh. Berselang sebulan kemudian, Sandiaga Uno membeli 7,5 juta dengan nilai mencapai Rp 10,35 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus