Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perbedaan nasib Haji Asri dan Low Tuck Kwong seperti bumi dengan langit. Keluarga Asri, yang kini tinggal di Surabaya, harus banting tulang untuk bisa bertahan hidup. Istri Asri, Sri Retnowati, terkadang mesti berjualan kue jika kantong suaminya mengempis. Padahal, pada 1997, Asri adalah pemilik PT Gunung Bayan Pratama Coal, yang menguasai konsesi batu bara seluas 100 ribu hekÂtare di Mantan dan Lebak Cilong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Low Tuck Kwong bukan orang asing buat Asri. Pria kelahiran Singapura inilah yang menyurvei lahan milik Gunung Bayan. Menurut majalah Forbes, Low pada tahun lalu menjadi orang terkaya keempat di Indonesia. Nilai kekayaannya mencapai US$ 3,7 miliar atau hampir Rp 35 triliun. Pada tahun sebelumnya, kekayaannya tercatat masih US$ 2,6 miliar. Artinya, dalam setahun, pundi-pundi Low bertambah Rp 10 triliun. Pria 64 tahun ini kini dijuluki raja batu bara Kalimantan.
Keberhasilan Low menembus jajaran orang terkaya di Indonesia bermula dari sebuah akuisisi pada 22 November 1997. Dia membeli Gunung Bayan dari tangan Asri dengan harga hanya Rp 5 miliar. Kedudukan Low pun naik pangkat dari pemilik perusahaan penyurvei menjadi pemilik konsesi batu bara seluas 100 ribu hektare. Cadangan terbukti Gunung Bayan mencapai 175,9 juta ton.
Setahun kemudian, Gunung Bayan mulai berproduksi. Low membagi lahan konsesinya menjadi dua blok, yakni Blok Lebak Cilong dan Blok Mantan. Produksi perdana dimulai di Mantan. Tahun pertama, Mantan menghasilkan 300 ribu ton. Dua tahun berselang, produksinya melejit hingga 1,44 juta ton per tahun. Tambang Lebak Cilong baru berproduksi pada 2008.
Perusahaan Low terus beranak pinak. Salah satu langkah penting yang ia lakukan adalah membeli PT Dermaga Perkasapratama, perusahaan tambang dan operator terminal batu bara di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada 1998. Dari terminal inilah batu bara Low dikapalkan ke sejumlah negara, seperti Italia, Jepang, Taiwan, dan India.
Oktober 2004 menjadi tonggak baru bagi Low Tuck Kwong. Pada tahun itu, Low, yang sudah sejak 1972 mengadu nasib di Indonesia, mengubah nama perusahaannya dari PT Gunung Bayan menjadi PT Bayan Resources. Di perusahaan ini dia menjabat direktur utama--kini ia beralih posisi menjadi komisaris utama.
Menurut riset Trimegah Sekuritas, PT Bayan merupakan grup produsen batu bara terbesar kedelapan di Indonesia berdasarkan volume produksi pada 2007. Pada tahun itu, Bayan mendulang batu bara sebesar 4,7 juta ton. Produksi ini diperoleh dari delapan perusahaan penambangannya di delapan konsesi, yang sebagian besar berada di Pulau Borneo. Tahun ini Bayan menargetkan produksi batu bara sebanyak 19,4 juta ton.
Bintang Low kian terang ketika saham PT Bayan dijual ke publik pada 2008. Sejak itu, harga sahamnya naik tiga kali lipat hingga Rp 17.700 per lembar pada 2011. Tahun lalu juga dia mencoba peruntungan di negara seberang. Perusahaannya mengucurkan US$ 270 juta untuk mengakuisisi Kangaroo Resources Limited, operator tambang di Australia dengan konsesi batu bara di Indonesia.
Di Singapura, PT Bayan memiliki saham Manhattan Resources and Singapore ÂHealthPartners. Perusahaan ini berencana membuka rumah sakit yang terintegrasi dengan pusat medis dan hotel di Singapura tahun depan. Hingga tahun lalu, gurita Grup Bayan sudah menjangkau 31 anak usaha.
Kapitalisasi pasar Bayan Resources pada triwulan pertama tahun ini sudah mencapai Rp 54 triliun atau hampir 11 ribu kali lipat dibanding nilai akuisisi pada 1997. Bayan Resources menjadi perusahaan dengan kapitalisasi terbesar ke-15 di Bursa Efek Indonesia.
Mengilapnya kinerja Bayan didorong oleh melambungnya harga batu bara pada 2011, yang naik ke angka US$ 98 per ton, jauh dari perkiraan pejabat tinggi di PT Bayan sebesar US$ 75 per ton. Kenaikan harga ini menjadikan kekayaan Bayan berlipat-lipat karena produksinya juga melonjak 32 persen dari 11,9 juta ton pada 2010 menjadi 15,6 juta ton pada 2011.
Pendapatan perusahaan pun melompat lebih dari 50 persen menjadi Rp 13,2 triliun dari 2010. Laba naik hampir tiga kali lipat dari Rp 740 miliar menjadi Rp 1,8 triliun. "Meski biaya tunai meningkat karena tekanan inflasi dan kenaikan harga bahan bakar, margin perusahaan tetap naik," kata Direktur Utama PT Bayan Eddie Chin Wai Fong dalam laporan tahunannya.
Sayangnya, Low enggan berbagi cerita mengenai keberhasilannya di bisnis batu bara ini. Jenny Quantero, juru bicara yang juga salah satu pemegang saham PT Bayan Resources, mengatakan Low susah menyediakan waktu untuk sesi wawancara. "Dia suka traveling ke mana-mana," kata Jenny, pemilik 2,98 persen saham di PT Bayan.
Kisah sukses Low tak terlepas dari sejumlah kontroversi. Belakangan, gugatan demi gugatan kerap mewarnai bisnis batu bara PT Bayan. Asrilah yang memulainya. Pada Juli 2008, Asri bersama dua anaknya, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, selaku pemegang saham Gunung Bayan, menggugat PT Kaltim Bara Sentosa (tergugat I), Low Tuck Kwong (tergugat II), Hengki Wibowo (tergugat III), PT International Coal Pte Ltd (turut tergugat II), dan PT Bayan Resources Tbk (turut tergugat II). Mereka menganggap transaksi pada 1997 itu dilakukan di bawah tekanan.
Selain itu, saat ditemui di kantor pengacara di Jakarta Pusat tiga pekan lalu, Asri menyebutkan pembayaran kepada perusahaannya, PT Gunung Bayan Pratama Coal, dari Low belum semua lunas. Menurut dia, dari perjanjian pembayaran semula Rp 5 miliar, Low, yang kini beralih menjadi warga negara Indonesia, baru menyetor Rp 3,5 miliar saja. Ke mana sisanya? "Sisanya dinyatakan oleh Low buat membayar utang pajak PT Gunung Bayan untuk tahun 1996, yang ditinggalkan oleh pemegang saham lama," ujar Asri. Pajak itu antara lain terdiri atas pajak orang asing dan pajak peralatan.
Namun ketiganya akhirnya kalah. Pada April 2012, majelis hakim di tingkat kasasi menolak gugatan perdata anak-beranak itu. Namun Asri tak mau menyerah. Dia mengajukan permohonan peninjauan kembali. Mereka kini harap-harap cemas menanti putusan Mahkamah Agung.
Setelah kasus Haji Asri, Senin pekan ini, Low menghadapi sidang perdana gugatan rekan bisnisnya, Sukamto Sia. Pengusaha Indonesia yang kini berkewarganegaraan Singapura itu menuntut Low mengembalikan US$ 3 juta dana investasi yang disetor Sukamto pada 1996, saat Low memulai bisnis batu bara di Kalimantan. Sukamto menggugat sang datuk berdasarkan nilai perusahaan saat ini.
Bayan juga menghadapi gugatan mitranya sendiri, White Energy Ltd, di pengadilan tinggi Singapura. Perusahaan yang terdaftar di Bursa Australia ini menjalin kerja sama dengan Bayan dalam usaha peningkatan kalori batu bara (upgrading coal). Bayan digugat karena dianggap wanprestasi dalam perusahaan patungan PT Kaltim Supacoal. Di perusahaan ini, White Energy menguasai 51 persen saham dan sisanya dimiliki Bayan. Gugatan ini diajukan pada November tahun lalu.
Asri benar-benar sedang terpuruk. Rumah besar dengan pekarangan luas di salah satu pojok jalan Perumahan Prapen Indah, Surabaya, miliknya kini sedang dalam perkara yang pelik. Haji Asri berniat menjual rumah yang mereka huni sejak 15 tahun itu. Dasar apes, walau telah ditawar orang bernama Malik pada 2005, uang pembelian tak kunjung dibayarkan.
Sri menceritakan, Malik malah membalik nama kepemilikan rumah untuk meminjam uang kepada bank. Perkara PT Gunung Bayan belum beres, kini keluarga Asri juga menunggu proses peradilan sengketa rumahnya. Sri tak tahu apakah niatnya untuk membeli rumah yang lebih kecil bakal tercapai. Sebaliknya, bendera bisnis Low kian berkibar. Meski harga batu bara kini sedang turun, banyak kalangan yang yakin penurunan itu hanya sementara.
Mereka Penguasa Bayan
Nama | Saham (Persen) |
Low Tuck Kwong | 51,9 |
Korea Electric Power Corporation | 20 |
Enel Investment Holding BV | 10 |
Engki Wibowo | 5,96 |
Jenny Quantero | 2,98 |
Publik | 9,47 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo