Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NDALEM Kalitan tiba-tiba berubah jadi beku. Rumah joglo kuno yang terletak hanya sekitar 100 meter dari jalan protokol Slamet Riyadi yang membelah Solo itu seperti tercekat. Beberapa orang menangis. Tak terkecuali Soeharto, Presiden Indonesia kala itu. Lelaki yang dijuluki sebagai orang terkuat di Asia menurut versi majalah Asiaweek itu tampak kuyu. Berulang kali pria berbaju hitam-hitam itu mengusap air mata yang membasahi pipi. Apalagi, saat peti mati dari kayu jati berpelitur cokelat itu mulai berangkat menuju pemakaman, Pak Harto makin terpekur.
”Selamat jalan, Ibu. Kami selalu bersamamu dalam doa,” ucap Siti Hardijanti Rukmana, putri sulung Soeharto, setengah berbisik, sembari terisak.
Senin, 29 April 1996, adalah Senin kelabu buat keluarga Soeharto. Raden Ajeng Siti Hartinah, istri Soeharto, dimakamkan di Astana Giribangun, Karanganyar, di kaki Gunung Lawu, sekitar 30 kilometer dari Ndalem Kalitan. Ibu Tien—begitu ia biasa dipanggil—meninggal sehari sebelumnya pukul 05.10 pagi di Rumah Sakit Pusat Pertamina—rumah sakit yang menjadi proyek mercusuar di masanya. Penyebabnya? Pernyataan resmi Istana menyebutkan, wanita berlesung pipit itu meninggal setelah terkena serangan jantung pada subuh di Hari Raya Idul Adha itu.
Kepergian Hartinah adalah pukulan godam terberat bagi Soeharto. Banyak intrik, juga musuh-musuh politik yang telah dihadapi lelaki ini. Tapi, saat itu, tiada cobaan seberat meninggalnya Hartinah. Pernikahan mereka sudah berumur 49 tahun. Di antara lelaki dan perempuan tua selalu ada sesuatu yang tersambung, saling menguatkan.
Wafatnya Ibu Tien, menurut R.E. Nelson dalam bukunya, Suharto, Sebuah Biografi Politik, tidak hanya membuat Soeharto kehilangan pendamping hidup. Ia juga kehilangan sang ”penjalin jaringan, penyusun strategi, pengawas Soeharto sekaligus pendisiplin anak-anaknya.”
Hartinah bukanlah first lady yang cuma sibuk gunting pita atau berpidato sana-sini. Banyak ide besar yang lahir dari Hartinah yang mengukuhkan posisi Soeharto. Pertemuan Soeharto dengan para konglomerat di Istana Bogor di penghujung Maret 1996 adalah salah satu buktinya. Hartinahlah penggagasnya. Waktu itu langit Bogor biru cerah. Ratusan pengusaha papan atas memadati Istana Bogor yang putih bersih. Setelah gamelan Sunda dan pertunjukan tari Jaipongan dari Siti Hardijanti Rukmana menghibur orang-orang terkaya di Nusantara itu, Hartinah mengajak para pengusaha top menyumbang. Hasilnya, hanya dalam hitungan jam, Ibu Negara itu berhasil menjala dana Rp 9,7 miliar dari 246 pengusaha. Dana itu akan disalurkan Panitia Dana Gotong Royong Kemanusiaan, yang jabatan ketuanya dipegang oleh dirinya, sementara Soeharto adalah pelindungnya, untuk korban banjir di Bandung Selatan.
Jauh sebelum itu, wanita berdarah ningrat—ayahnya adalah buyut dari Mangkunegara III, bangsawan Keraton Solo—itu juga menggagas pendirian Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, menciptakan senam kesegaran jasmani yang diwajibkan di sekolah dan kantor pemerintah, mendesakkan larangan berpoligami untuk pegawai negeri bersama para nyonya pejabat tinggi, sampai munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, serta melahirkan Taman Mini Indonesia Indah yang kontroversial.
Taman Mini salah satu proyek kontroversial yang lahir dari gagasan Hartinah. Pada akhir Desember 1971 itu penduduk Ceger, Jakarta Timur, bergolak. Mereka protes karena 100 hektare tanah penduduk yang tergusur untuk proyek mercusuar itu hanya dihargai Rp 60 sampai Rp 100. Padahal, saat itu harga tanah di kawasan tersebut Rp 350.
Mahasiswa juga meradang karena proyek itu bertentangan dengan Gerakan Penghematan yang dicanangkan sendiri oleh Soeharto. ”Biayanya Rp 10,5 miliar sama dengan pembangunan tujuh kampus universitas sebesar Universitas Gadjah Mada,” kata Todung Mulya Lubis, yang waktu itu masih menjadi mahasiswa tingkat II Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Namun, Hartinah santai saja menanggapi protes itu. Ia tak datang memenuhi panggilan DPR dengan alasan ”capek baru datang dari luar negeri”. Ia hanya berujar, ”Mumpung saya masih hidup.” Ibu ini mendapat ide tersebut setelah mengunjungi Disneyland (Amerika Serikat) dan Timland (taman mini di Thailand). Soal biaya dia juga tak pusing. Rumah-rumah adat di Taman Mini itu dibangun atas ”sumbangan” pemerintah daerah. Besarnya Rp 100 sampai 200 juta per anjungan. Namun, banyak provinsi yang mengeluh tak punya bujet.
Protes-protes itu diserang balik oleh Soeharto. Pada saat berpidato tanpa teks saat meresmikan Rumah Sakit Pertamina, ia menuduh para pengkritik itu mengganggu stabilitas nasional. ”Saya akan menghantam siapa saja yang melanggar konstitusi,” katanya. Setelah itu, beberapa tokoh seperti Arief Budiman, redaktur Sinar Harapan Aristides Katoppo, dan Haji Johanes Princen masuk bui.
Soal antipoligami juga bukan rahasia. Dari pejabat tingkat tinggi sampai rendahan semua tak berani beristri dua (secara resmi) karena peraturan keras dari istri presiden ini. Tak mengherankan bahkan Soeharto sendiri dalam biografinya menyatakan, ”Hanya ada satu Nyonya Soeharto dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbul pemberontakan yang terbuka di dalam rumah tangga Soeharto.”
Campur tangan Hartinah pada urusan Soeharto bukan semata-mata urusan proyek mercusuar. Ia juga mengurusi menteri-menteri. Mantan Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie pernah bercerita pada Tempo. Katanya, Nyonya Tien Soeharto pernah mengkritik kantornya. ”Habibie itu tak benar, masak kamarnya kayak gudang. Mbok diatur dengan baik,” ujar Hartinah. Untung, Soeharto tak terlalu menanggapi soal itu. ”Ah, nggak usah, yang penting Habibie kerasan duduk di situ, dan terus mendapat ilham. Jadi, jangan diganggu,” kata Soeharto, seperti diungkapkan Habibie.
Hartinah dan Soeharto adalah sejoli yang kompak walaupun mereka pernah bertengkar beberapa kali, salah satunya karena urusan anggrek dan bayi. Bagi perempuan yang lahir 23 Agustus 1923 di Jaten, dusun di pinggir jalan Solo-Tawamangu, Jawa Tengah, itu Soeharto adalah pria impian. Itu terjadi sejak 1947. Sebelum dia dilamar, Hartinah tak pernah kenal Soeharto. Namun, dalam mimpi ia pernah bertemu sesosok pemuda ganteng memakai jaket tentara. Dalam mimpinya itu, pemuda itu merangkul mesra dan memakaikan jaketnya ke badan Hartinah. ”Aneh tapi benar, wajah tentara yang gagah itu mirip dengan foto kecil yang diperlihatkan Ibu (sebelum lamaran),” tulis Abdul Gafur dalam bukunya, Siti Hartinah Soeharto-Ibu Utama Indonesia, mengutip pernyataan wanita yang dulu harus berjualan batik karena kecilnya gaji Soeharto itu.
Sejak itulah anak pasangan Raden Mas Soemoharjomo dan Raden Ajeng Hatmanti itu selalu menemani Soeharto. ”Siti Hartinah Soeharto adalah sahabat Presiden (Pak Harto) yang paling sangat dipercaya,” kata Dr. O.G. Roeder dalam buku Presiden Soeharto Anak Desa keluaran 1969. Hampir semua penampilan Presiden Soeharto di depan umum selalu didampingi wanita yang bercita-cita menjadi dokter itu.
Kegiatan Hartinah makin hari makin bertumpuk. Sejumlah jabatan ketua di berbagai yayasan, dari yang mengurusi jantung, pariwisata, sampai yang mengurusi buah-buahan dan empon-empon, disandangnya. Hingga, akhirnya, pada April 1996 dia mengeluh capek. Istri yang sering mengkritik Soeharto ini, menurut Nelson dalam buku Soeharto, Sebuah Biografi Politik, sebenarnya sudah ingin pensiun sejak 1980-an dan tak senang Soeharto mencalonkan diri lagi.
”Wah sudahlah, sekarang ini saya sudah tua, sudah mau menikmati sisa-sisa hidup saja,” kata wanita yang saat itu berusia 73 tahun saat ia diminta menjadi penasihat sebuah yayasan, dua pekan sebelum ia meninggal.
Rupanya, itu harapan yang tak sampai. Pada 28 April 1996, Hartinah, wanita multiperan—Ibu Negara, istri, ibu, nenek, buyut, dan pengelola aneka yayasan—itu mengembuskan napas terakhir. Tim dokter kepresidenan menemukan gumpalan darah di pembuluh kakinya, yang kemungkinan juga telah menyumbat jantungnya.
Ia akhirnya kembali ke rumah tetirahnya, Ndalem Kalitan yang bisu, sebelum akhirnya dimakamkan di kaki Gunung Lawu. Sang Tukang Kritik telah pergi. ”Kematian Ibu Tien itu membawa dampak musnahnya pengawasan atas kecenderungan abadi Soeharto untuk menjagokan kepentingan bisnis anak-anaknya,” kata Nelson. Sejak kejadian itu, ”Tidak banyak yang ingin ia perjuangkan selain mempertahankan cengkeraman kekuasaannya.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo