Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Warisan Politik Jenderal itu

4 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

R. William Liddle

  • Profesor ilmu politik, Ohio State University, Columbus, Ohio, AS

    Presiden Soeharto adalah seorang diktator yang tanpa sengaja tetapi dalam banyak hal memuluskan proses demokratisasi di negerinya. Saya tidak tahu bagaimana kenyataan ini akan dinilai kelak oleh para sejarawan, yang biasanya lebih mementingkan intention (maksud) ketimbang outcome (hasil). Tetapi sebagai pengamat lama yang dulu tidak pernah percaya bahwa pemerintahan Orde Baru yang otoriter akan disusul langsung oleh pemerintahan yang demokratis serta stabil, saya merasa perlu menguraikan peran Soeharto dalam proses ini.

    Pertama dan mungkin terutama, para pemimpin TNI telah dikebiri selaku aktor politik sejak Benny Moerdani dipecat sebagai Panglima ABRI pada 1987. Setelah itu Soeharto tidak pernah membiarkan satu perwira tinggi menjadi terlalu kuat. Soeharto menyeleksi langsung perwira muda untuk menjadi ajudannya, lalu ia menjamin kesetiaan mereka dengan kebijakan promosi dan kenaikan pangkat yang cepat. Lagi pula, Soeharto mempertentangkan para perwira tinggi, seperti menantunya Prabowo Subianto dan bekas ajudannya Wiranto, agar salah satu tidak bisa bertindak sendiri atas nama ABRI.

    Hasilnya adalah sebuah tentara yang tidak berdwifungsi lagi, yang tidak bisa bergerak sebagai kekuatan utuh di bawah kepemimpinan tepercaya. Maka, ramalan saya dulu bahwa Soeharto akan disusul oleh orang kuat lain, seperti Park Chung Hee di Korea disusul oleh Chun Doo Hwan, tak terwujud. Vakum politik yang diwariskan oleh kebijakan militer Soeharto justru diisi dengan orang sipil yang lemah tetapi prodemokrasi: B.J. Habibie (yang langsung menawarkan pemilu demokratis sebagai taktik politik untuk menyelamatkan jabatannya), Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri.

    Kedua, seraya mencari pengabsahan bagi kekuasaannya, Soeharto menciptakan sebuah dunia fantasi yang kini menjadi realitas. Dunia itu terdiri dari lembaga-lembaga sok demokratis, asli tapi palsu, yang ketika beliau lengser keprabon bisa bertiwikrama menjadi lembaga demokratis sejati. Mulai 1971 sampai dengan 1997 pemilihan umum diadakan setiap lima tahun di tiga tingkat pemerintahan (bandingkan dengan periode Demokrasi Terpimpin, ketika tak ada pemilu sama sekali).

    Dua partai politik, masing-masing dengan akar sosio-budaya (Islam dan nasionalisme) yang kuat, diperbolehkan bersaing dengan Golkar, partai negara yang diciptakan Soeharto. Di antara masa-masa pemilu, wakil rakyat bersidang secara teratur di MPR, DPR, dan DPRD-DPRD. Tentu saja, di belakang layar, Soeharto atau agennya menyelewengkan semua lembaga ini. Setelah Soeharto turun, dalam suasana politik yang serba kacau dan menakutkan (mengingat apa yang terjadi pada 1965–1966) lembaga-lembaga tersebut dimanfaatkan kaum reformis sebagai jembatan yang mampu membawa mereka ke dunia yang dicita-citakan. Pemilu 1999 adalah pemilu demokratis pertama sejak 1955, tetapi secara teknis tidak banyak berbeda dengan pemilu-pemilu Orde Baru yang sama sekali tidak demokratis.

    Ketiga, sistem pemerintahan Soeharto adalah sistem otoriter, bukan totaliter seperti di Uni Soviet. Hal itu berarti bahwa masih ada ruang untuk bergerak, meskipun sering dibatasi, buat organisasi masyarakat madani dan juga pers swasta, dua jenis lembaga sosial yang melatari setiap negara demokratis modern. Organisasi agama, misalnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, betul-betul memanfaatkan kesempatan itu dan bertambah besar, terorganisir, berakar, dan berpengaruh selama Orde Baru. Organisasi yang sering menantang pemerintah, seperti LBH atau Walhi merupakan sekolah perjuangan yang berharga bagi anggotanya tatkala posisi Soeharto digoyang krisis moneter 1997–1998. Pers swasta, terutama Tempo dan Kompas, merupakan alat pendidikan yang tak ternilai harganya tentang segala segi kehidupan modern, termasuk demokrasi, selama puluhan tahun.

    Warisan terakhir adalah tawaran rekonsiliasi yang disampaikan Soeharto kepada beberapa kelompok masyarakat yang pernah dikucilkan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk (seperti India atau Amerika), yang berarti bahwa setiap kelompok besar perlu diberi tempat yang layak. Pada pertengahan 1980-an Soeharto merangkul kaum Islam tradisional di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Kaum modernis menyusul beberapa tahun kemudian, ketika kelahiran ICMI dibidani oleh Habibie, salah satu menteri favorit Soeharto waktu itu.

    Namun, rekonsiliasi tidak pernah ditawarkan kepada pendukung Partai Komunis Indonesia, yang dizalimi terus oleh Soeharto. Pada masa jayanya, pemimpin PKI berusaha mengusung aspirasi rakyat kecil. Mereka berhasil: PKI menjadi partai terbesar keempat dalam pemilu 1955. Setengah abad kemudian, komunisme sudah mampus tetapi tuntutannya demi terciptanya kehidupan sosial yang lebih merata masih bergema. Dalam hal ini warisan Soeharto yang terpenting bagi rakyat kecil (ironinya saya akui) adalah keyakinannya pada kekuatan pasar selaku pencipta utama lapangan kerja. Sayangnya, banyak politisi masih terpukau oleh teori populisme, warisan zaman Pergerakan yang tak mungkin memecahkan masalah ekonomi dan politik masa kini.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus