Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ismail Saleh
Pasang badan
Kesetiaan Ismail Saleh pada Soeharto ditunjukkannya tanpa tedeng aling-aling. Dialah yang susah-payah berusaha menemui Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh ketika Soeharto tergolek di RS Pertamina pada Mei 2006. Misi mantan Jaksa Agung ini hanya satu: meminta yuniornya itu mencabut pencekalan atas Soeharto.
Dia juga ingin mempertanyakan alasan hukum kejaksaan menghidupkan kembali perkara korupsi penguasa Orde Baru itu. Dia gagal bertemu Abdul Rahman Saleh, tetapi misinya tak sepenuhnya gagal. Pencekalan Soeharto dicabut, dan penuntutan perkaranya dihentikan.
Mas Is—demikian ia akrab disapa—menjadi orang kepercayaan Soeharto di bidang penegakan hukum selama berkuasa. Ismail pernah menjabat Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman. Namun, namanya sudah mulai dikenal sejak bertugas di Sekretariat Negara pada tahun-tahun awal Orde Baru.
Bukan sekali saja pria kelahiran Pati, 7 September 1926, ini menunjukkan pembelaannya kepada sang bos. Ketika badai hujatan menghantam Soeharto, Ismail ”pasang badan”. Ia aktif menulis di berbagai media melakukan pembelaan. Kesetiaan itu juga ditunjukaan Ismail dengan sakit persis saat Soeharto jatuh sakit tahun 2006. Ceritanya, sepulang dari Kejaksaan Agung itu dia langsung menuju RSPP, menengok Soeharto. Tetapi, karena tergesa-gesa, ia tersandung dan jatuh. Akibatnya, kaki kirinya patah dan ia mesti dirawat di sana.
Ketika Soeharto kritis dua pekan lalu, Ismail memohon kepada Presiden Yudhoyono mengembalikan nama baik Soeharto dan mengubur dalam-dalam kesalahan yang pernah ia lakukan ter- hadap rakyat. ”Mikul dhuwur men dhem jero,” katanya.
Haryono Suyono
Tak Menghindar
Bagi Haryono Suyono, tak pernah ada keraguan sedikit pun untuk tetap menjaga hubungan dengan Soeharto setelah lengser dari kekuasaannya.
”Saya tak menghindar dari Pak Harto. Saya merasa tak pernah melakukan kesalahan selama menjadi menteri. Saat itu saya bekerja untuk rakyat,” ujar pria kelahiran Pacitan, 6 Mei 1938, itu kepada Tempo.
Maka, ia selalu rajin datang ke pengajian yang digelar di Cendana, kediaman pribadi Soeharto. Ia juga datang untuk kepentingan lain. Salah satunya adalah melaporkan perkembangan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri), yang ia dirikan bersama Soeharto, Sudono Salim, dan Sudwikatmono.
Menurut Haryono, kedekatannya dengan penguasa Orde Baru itu merupakan keniscayaan belaka. ”Selama 13 tahun menjabat Kepala BKKBN, di antaranya merangkap sebagai menteri, bagaimana mungkin saya tidak dekat dengan Pak Harto?” kata dia.
Kedekatan itu memang memiliki kisah panjang. Sepuluh tahun menjabat Deputi BKKBN, ia lalu diangkat menjadi Kepala BKKBN pada 1983. Hingga 13 tahun kemudian Haryono berada di pos itu, ditambah dengan dua kali merangkap sebagai menteri.
Pada 1997, ketika ia tengah berkampanye di Malang, mendadak ajudan Presiden menghubunginya minta ia segera menghadap Soeharto. Dengan perasaan kebat-kebit ia segera terbang ke Jakarta. ”Saya sengaja memanggilmu untuk menemani aku ngobrol sambil makan singkong goreng ini,” kata bosnya sembari tersenyum begitu bertemu. Mereka pun mengobrol ngalor-ngidul.
Belakangan, Haryono merasa obrolan santai itu adalah bagian dari cara Soeharto mengujinya. Pada kabinet berikutnya, Haryono memang diangkat menjadi Menteri Koordinator Kesra Taskin. Ia kian menjadi andalan Soeharto ketika sukses memperjuangkan agar Indonesia memperoleh penghargaan kependudukan PBB pada 1988.
Untuk semua itulah Haryono merasa layak tetap menjaga hubungan dengan Soeharto.
Bustanil Arifin
Menangisi tugas
Bagi Bustanil Arifin, Soeharto memang tokoh yang mengesankan. Mantan Menteri Muda Urusan Koperasi/Kepala Bulog ini tak pernah lupa pada pertemuan mereka pada awal 1950. ”Kesan saya, Pak Harto adalah perwira yang baik dan rendah hati,” tulis Bustanil dalam buku Di Antara Para Sahabat, Pak Harto 70 Tahun. Kesan itulah yang ia kenang sampai kini.
Hubungannya kian dekat ketika Indonesia mengalami krisis beras pada 1965. Sebagai Pangkostrad, Soeharto memerintahkannya meyakinkan pemerintah Thailand agar memberikan pinjaman 20 ribu ton beras. Misinya sukses. Lalu Bustanil dipercaya menjadi deputi di Badan Urusan Logistik (Bulog) pada 1969.
Ketika diangkat sebagai Kepala Bulog pada 1973, pria kelahiran Padangpanjang, Sumatera Barat, 10 Oktober 1925, ini sempat menangis di hadapan Soeharto. Terbayang di matanya krisis beras yang belum juga usai. Tetapi sejak itu pulalah berbagai tugas yang lebih berat ia emban, yakni sebagai Menteri Muda Urusan Koperasi selama tiga periode.
Ketika rezim Orde Baru makzul, Bustanil tak kehilangan kesetiaan pada Soeharto. Sekurangnya, ia selalu hadir dalam setiap acara halal-bihalal di Cendana.
Bustanil bersama Haryono termasuk orang-orang dekat yang berada di Lantai V Rumah Sakit Pusat Pertamina saat Soeharto menghembuskan nafas terakhirnya, Minggu (27/1) lalu.
Sudharmono
(1927-2006) Tak Menonjolkan Diri
Kedekatan almarhum Sudharmono SH dengan Soeharto sudah teruji oleh waktu. Tak banyak yang tahu bahwa Pak Dhar—demikian ia biasa disapa—mengambil peran cukup penting dalam menutup lembar kejayaan Orde Lama.
Pada 12 Maret 1966, sehari setelah keluarnya Supersemar, adalah Sudharmono yang memerintahkan pengetikan sebuah naskah bersejarah. Itulah surat yang menyatakan PKI sebagai partai terlarang. Ketika itu Pak Dhar mengetuai Tim Operasionil Pusat Gabungan-V Komando Operasi Tertinggi (Koti).
Lalu, empat dekade kemudian dia menjadi salah satu pilar kejayaan Orde Baru. Di pemerintahan, ia menjabat Sekretaris Negara hingga tiga periode. Karier birokratnya mencapai puncak saat menjabat wakil presiden (1988-1993). Sudharmono juga pernah menjadi Ketua Umum Golkar, mesin politik Orde Baru. Semua itu menunjukkan kepercayaan besar Soeharto pada pria kelahiran Gresik 12 Maret 1927 tersebut.
Dengan serenceng jabatan penting itu, sebenarnya Pak Dhar berpeluang tampil lebih ke depan. Namun, ia mampu menahan diri. ’’Seorang yang bekerja dalam staf tidak boleh menonjolkan diri,’’ ujarnya.
Ketika Orde Baru tutup buku pada 1998, letnan jenderal purnawirawan ini tak lari ke mana-mana. Dia tetap bekerja bersama dengan mantan bosnya. Ia dipercaya mengkoordinasikan tujuh yayasan yang didirikan Soeharto, yakni Dharmais, Supersemar, Dakap, Damandiri, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Gotong Royong, dan Trikora.
Pada 23 Januari 2006, Dharmono meninggal setelah dirawat di rumah sakit selama 10 hari. Soeharto sempat membesuknya.
Saadillah Mursyid
(1937-2005) Setia sampai Akhir
Mudah-mudahan saya terhindar dari orang-orang yang semasa Pak Harto memegang jabatan presiden selalu mendekat-dekat, menjilat, dan mencari muka. Pada waktu Pak Harto tidak lagi menjadi presiden, orang-orang itu pula yang bersuara lantang menghujat, mencaci, melempar segala kesalahan kepada Pak Harto.”
Pernyataan itu diucapkan (alm) Sa-adillah Mursyid ketika hari-hari Soeharto dipenuhi hujatan dan cacian para musuhnya. Pria kelahiran Kalimantan Selatan, 7 September 1937, ini memang dikenal loyal dalam berteman. Maka, ia tak meninggalkan Soeharto, meski kekuasaan tak lagi dalam genggaman pendiri Orde Baru itu. Ia tetap setia berkunjung ke Cendana.
Tetapi Saadillah tak memiliki waktu lebih banyak menunjukkan kesetiaannya. Mantan Menteri Sekretaris Negara ini meninggal dunia pada 28 Juli 2005 akibat stroke. Pada saat itu Soeharto menyempatkan diri melayat ke rumah duka. Dia merasa wajib memberi penghormatan terakhir pada mantan anak buahnya yang setia itu.
Meniti karier di jaringan birokrasi sebagai kurir kantor Sekretariat Negara di awal pemerintahan Orde Baru, Saadillah akhirnya mengisi pos terpenting di sana. Selanjutnya ia seperti ditakdirkan berada di samping Soeharto pada masa-masa sulitnya.
Saadillah yang menulis konsep pengunduran diri Soeharto. Ia juga yang terus melaporkan detik-detik perkembangan genting pada Mei 1998 itu. Ketika Soeharto sakit keras pada 1999, ia setia membesuknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo