Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setengah Hati Menjauhi Batu Bara

Perbankan nasional masih menyalurkan kredit ke proyek-proyek berbasis batu bara. Tak sejalan dengan komitmen transisi energi.

7 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas memantau heavy dump truck yang mengangkut batu bara di kawasan tambang batu bara milik Adaro, Tabalong, Kalimantan Selatan. ANTARA/Sigid Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lima bank nasional membiayai pembangunan PLTU Adaro.

  • Lembaga keuangan internasional menjauhi proyek-proyek terkait dengan batu bara.

  • BRI menyebutkan portofolio kredit ke sektor batu bara kurang dari 1 persen.

JAKARTA — Langkah lima bank nasional membiayai pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan smelter aluminium milik PT Adaro Energy Indonesia Tbk menuai sorotan dari para pegiat lingkungan dan ekonom. Musababnya, pembiayaan tersebut dianggap tidak sejalan dengan komitmen transisi energi yang tengah gencar disuarakan secara global. "Banyak perbankan global tidak lagi mendanai proyek PLTU. Tapi perbankan nasional belum membatasi pembiayaan terhadap aset batu bara," ujar juru kampanye Market Forces, Nabilla Gunawan, kepada awak media, kemarin.

Lima bank yang membiayai proyek PLTU Adaro tersebut adalah Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Central Asia (BCA), dan Bank Permata. Mereka meneken perjanjian pada 12 Mei 2023 untuk pembangunan PLTU sebesar 1,1 gigawatt yang akan memasok listrik ke smelter aluminium milik Adaro di Kawasan Industri Hijau Kalimantan Utara. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan penelitian Market Forces, lima bank itu akan mengucurkan dana sekitar US$ 1,75 miliar melalui pinjaman sindikasi kepada Adaro. Rinciannya, Mandiri menyalurkan kredit US$ 585 juta, BRI US$ 450 juta, BNI US$ 350 juta, BCA US$ 270 juta, dan Bank Permata US$ 100 juta. Sebagai catatan, menurut rencana, Adaro akan membangun smelter aluminium dengan kapasitas 500 ribu ton per tahun dalam tiga fase.

PLTU batu bara rencananya menjadi sumber energi smelter pada fase pertama dan kedua. Setelah itu, pada fase ketiga, sumber energi akan diganti dengan pembangkit listrik tenaga air yang tengah dibangun. "Tapi muncul pertanyaan, karena rata-rata umur hidup PLTU itu 30-60 tahun, apakah benar akan diganti dengan PLTA atau dilanjutkan penggunaannya?" ujar Nabilla. Ia memperkirakan proyek tersebut menyebabkan emisi karbon sebesar 5,2 juta ton CO2 ekuivalen per tahun.

Baca juga: Meredam Emisi Penambangan Nikel

Soal pembiayaan tersebut, Kepala Komunikasi Korporat Adaro Energy Indonesia, Febriati Nadira, mengatakan perseroan terikat perjanjian kerahasiaan dengan institusi keuangan. Namun ia mengatakan pembiayaan tersebut akan digunakan untuk program penghiliran mineral yang digadang-gadang pemerintah.

"Dalam tahapan proses produksi dan pengembangan selanjutnya, smelter aluminium Adaro ini juga akan memanfaatkan energi baru dan terbarukan dari pembangkit listrik tenaga air dengan standar konstruksi modern yang ramah lingkungan," ujarnya. 

Presiden Joko Widodo dan Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk, Garibaldi Thohir, berbincang dalam groundbreaking pembangunan Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Bulungan, Kalimantan Utara, 21 Desember 2021. BPMI Setpres/Laily Rachev

Berlawanan dengan Tren Keuangan Dunia

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan pembiayaan kepada proyek pembangkit yang masih menggunakan batu bara berlawanan arus dengan dunia yang semakin berupaya beralih dari batu bara. Apalagi Indonesia juga sudah berkomitmen melakukan pensiun dini batu bara pada 2050.  

“Tren global menunjukkan bahwa deposan dan investor institusional, termasuk pemegang obligasi, cenderung memindahkan dana ke bank yang menjauhi portofolio pembiayaan ke PLTU batu bara," ujar Bhima. Selain itu, Indonesia telah meneken komitmen pendanaan transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang memiliki berbagai target transisi energi, termasuk pensiun dini PLTU. 

Dengan begitu, ia mempertanyakan langkah bank-bank nasional, khususnya perusahaan pelat merah, yang tidak selaras dengan komitmen tersebut. "Artinya, ada yang tidak sinkron antara perintah dari pemerintah pusat serta bank BUMN yang seharusnya membantu pemerintah mendorong ekonomi berkelanjutan.”

Baca juga: Melirik Berbagai Opsi Pembiayaan Transisi Energi

Pinjaman Berisiko Tinggi

Pekerja memeriksa pasokan batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. TEMPO/Tony Hartawan

Dari sisi ekonomi, Bhima mengingatkan bahwa pendanaan ke aset batu bara memiliki risiko transisi dan risiko stranded asset (aset terdampar) akibat perubahan kebijakan untuk meninggalkan batu bara. Studi Celios menunjukkan bahwa pembangunan PLTU berpotensi merugikan investor, termasuk kreditor dan pemegang obligasi. 

Alasannya, biaya pinjaman modal aset PLTU batu bara saat ini relatif mahal dibanding industri lainnya lantaran aset terkait dengan batu bara bisa menurun nilainya seiring dengan fluktuasi harga batu bara, perubahan kebijakan negara tujuan ekspor, serta dianggap tidak sejalan dengan upaya transisi energi. 

"Keputusan bank untuk menyokong proyek PLTU baru ini berisiko tinggi sekaligus mengancam reputasi bank itu sendiri,” kata dia. 

Pembiayaan perbankan kepada proyek batu bara berulang kali dikritik oleh koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi BersihkanBankmu. Riset koalisi yang, antara lain, beranggotakan 350.org, Jatam, Sajogyo Institute, Walhi, Auriga, dan Trendasia itu menemukan bahwa Bank Mandiri, BCA, BRI, dan BNI masih memberikan pinjaman kepada perusahaan batu bara, bahkan setelah pemerintah Indonesia menandatangani Kesepakatan Iklim Paris pada 2016. 

Sepanjang periode 2015-2021, total pinjaman langsung yang diberikan empat bank tersebut mencapai US$ 3,5 miliar. "Keempat bank tersebut juga memberikan berbagai bentuk dukungan finansial kepada perusahaan batu bara untuk mendapatkan pinjaman dari bank lain dan investor," begitu koalisi menuliskan dalam laporan hasil riset yang terbit pada 2022.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan saat ini komitmen untuk menghentikan pendanaan kepada batu bara baru dilakukan segelintir perbankan asing. "Bank-bank di Indonesia belum ada yang menyatakan tidak akan mendanai lagi proyek energi fosil," ujar dia. 

Fabby menyebutkan banyak bank hanya mengatakan berkomitmen menyalurkan pembiayaan hijau atau pembiayaan berkelanjutan. Di sisi lain, taksonomi hijau yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga masih memperbolehkan pendanaan untuk sektor energi fosil. Karena itu, Fabby menilai pendanaan yang disalurkan untuk proyek Adaro sejatinya hanya proses bisnis biasa bagi perbankan. 

Proyek yang masih menggunakan PLTU batu bara pun diperkirakan masih masuk dalam profil risiko perseroan. Alasannya, tutur Fabby, bank-bank nasional masih belum memasukkan risiko iklim dalam pertimbangan pembiayaan proyek. Untuk itu, ia mendorong perbankan tidak hanya meningkatkan pembiayaan ke proyek berbasis lingkungan, tapi juga mempertimbangkan risiko iklim serta risiko transisi dalam strategi pembiayaan proyek. 

Fabby mendesak pemerintah melarang pembiayaan kepada PLTU dengan regulasi yang tegas. "Pembiayaan ini risikonya besar. PLTU batu bara mungkin tidak akan bisa beroperasi optimal karena pemerintah punya target net zero emission pada 2060 atau lebih awal. Bahkan Perpres Nomor 112 Tahun 2022 (tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik) mengatakan PLTU batu bara harus pensiun pada 2050," tutur Fabby. 

Ketentuan dalam Perpres Nomor 112 Tahun 2022 juga menyatakan bahwa PLTU yang baru dibangun harus menurunkan emisi gas rumah kacanya sebesar 30 persen setelah 10 tahun beroperasi. Dengan adanya aturan itu, menurut Fabby, seharusnya pembangunan PLTU anyar menjadi tidak layak secara finansial dan berisiko tinggi. 

"Perpres Nomor 112 seharusnya menjadi alasan pemerintah membuat aturan yang melarang bank BUMN mendanai PLTU batu bara PLN ataupun captive power (digunakan sendiri)," dia mengungkapkan. 

Jumlah Proyek Energi Terbarukan Minim

Di sisi lain, pemerintah juga harus mendorong pertumbuhan proyek-proyek energi terbarukan. Ia menduga kecilnya pendanaan perbankan untuk proyek energi bersih disebabkan oleh masih terbatasnya pekerjaan energi terbarukan yang bisa didanai. Sementara itu, perbankan mesti terus menyalurkan pendanaan. Sebagai perbandingan, pertumbuhan rata-rata energi terbarukan di Tanah Air hanya 400-500 megawatt per tahun. Sedangkan PLTU bisa mencapai 4.000-5.000 megawatt per tahun.

Padahal, berdasarkan hitungan IESR, Indonesia membutuhkan dana US$ 100-130 miliar hingga 2030 untuk mencapai target-target transisi energi yang dicanangkan JETP. "Kalau pembiayaan JETP hanya US$ 20 miliar, maka US$ 80-100 miliar lainnya harus berasal dari sumber lain di luar JETP, baik asing maupun domestik," ujar Fabby. Karena itu, ia menilai perkara ini merupakan masalah sistemik yang membutuhkan solusi sistemik, misalnya melalui regulasi dari pemerintah.  

Tempo telah berupaya meminta konfirmasi perihal persoalan ini kepada juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot. Namun Sekar meminta Tempo bertanya kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae. Hingga laporan ini ditulis, pertanyaan Tempo kepada Dian melalui aplikasi perpesanan hanya dibaca dan tidak dibalas. 

Konfirmasi juga dilayangkan kepada lima bank pemberi kredit Adaro. Executive Vice President Corporate Communication and Social Responsibility BCA, Hera F. Haryn, serta Corporate Affairs Bank Permata, Medy Prasetyo, mengatakan akan menjawab pertanyaan Tempo. Tapi, hingga laporan ini ditulis, jawaban tersebut tidak kunjung datang. Sementara itu, Sekretaris Perusahaan Mandiri, Rudi As Aturridha, serta Sekretaris Perusahaan BNI, Okki Rushartomo, tak menjawab pertanyaan Tempo

Adapun Sekretaris Perusahaan BRI, Aestika Oryza Gunarto, mengatakan saat ini portofolio kredit baru bara BRI tercatat kurang dari 1 persen dari total penyaluran kredit perseroan. "Kami ke depan akan terus berfokus di segmen UMKM. Sedangkan sektor industri batu bara bukan menjadi prioritas BRI dalam penyaluran kredit," ujar dia. 

Aestika lantas mengatakan BRI akan membidik pembiayaan di sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan, aktivitas jasa keuangan, serta aktivitas kesehatan dan kesenian hiburan. Untuk penyaluran kredit di sektor energi, BRI mengklaim akan terus memperbesar porsi pembiayaan pada sektor energi baru terbarukan. Hingga Maret 2023, BRI telah memberikan pembiayaan kepada kegiatan berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) sebesar Rp 710,9 triliun atau setara dengan 66,7 persen dari total pinjaman. 

CAESAR AKBAR | AMELIA RAHIMA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus