Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA ini hampir tak pernah disebut sebelumnya. Tidak dalam diskusi-diskusi tentang teroris di Tanah Air, tidak juga dalam persidangan kasus pengeboman. Dialah Abu Irsyad alias Nu’aim alias Zarkasih alias Zurkoni alias Mbah—tokoh yang disebut-sebut lebih tinggi posisinya dibanding Abu Dujana, pentolan Jamaah Islamiyah yang dicokok polisi pada Sabtu dua pekan lalu. Polisi meyakini dialah pemimpin (amir) baru Jamaah Islamiyah, pengendali operasi teror di seluruh Asia Tenggara.
Penangkapan Nu’aim sempat lolos dari perhatian publik. Dia ditangkap pada hari yang sama dengan penangkapan Dujana. Tatkala diciduk, sekitar pukul setengah enam sore di rumahnya di Dusun Watu Gedek, Sleman, Yogyakarta, Mbah langsung menyerah.
Nu’aim ditangkap dengan tuduhan berat. Dia dikaitkan dengan sejumlah pengeboman dan pembunuhan. Menurut Kepala Satuan Tugas Anti-Terorisme Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Surya Dharma, dialah dalang di balik serangkaian aksi teror di Poso, Sulawesi Tengah. Hasanuddin, tokoh kunci pembunuhan tiga siswi SMA di Poso pada 2005, melaporkan aksinya kepada Nu’aim. Tak hanya itu, ”Semua penempatan bahan peledak juga atas izin Amir (Nu’aim),” kata Surya di Jakarta, pekan lalu.
Menurut Surya Dharma, Nu’aim adalah amir darurat atau mash’ul. Amir sebelumnya, Adung, ditangkap polisi tiga tahun lalu. Nu’aim juga Ketua Lajnah Ikhtiar Lismatul Amir, yang bertugas mempersiapkan Amir Jamaah Islamiyah berikutnya. Kekuasaannya luas, membawahkan ketua sariyah atau sayap militer—yang dijabat Abu Dujana—dan tiga bidang lain, yakni dakwah, tarbiyah, dan perbekalan.
Sidney Jones, Direktur International Crisis Group untuk Asia Tenggara, menjelaskan bahwa Nu’aim pernah menjadi Kepala Mantiqi II Jamaah Islamiyah, yang membawahkan sebagian besar wilayah Nusantara. ”Dia juga bekas ketua markaziyah atau Komando Sentral JI,” katanya. Sidney Jones semula tak menduga Zarkasih yang disebut-sebut polisi adalah Nu’aim. ”Saya baru dengar dia pakai nama itu,” katanya.
Menurut Jones, Nu’aim lulusan angkatan kelima Akademi Militer Mujahiddin pada 1987. Kawan seangkatannya adalah Nasir Abbas, yang kemudian menjadi Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah. Nasir kini berbalik menyerang organisasi teror itu.
”Dia guru matematika saya,” kata Nasir kepada Tempo, akhir pekan lalu. Ketika berguru di Afganistan, mereka bersaing menjadi yang terbaik. Pada tahun pertama, Nu’aim unggul. ”Saya baru nomor satu pada tahun kedua dan ketiga,” kata Nasir. Dari Afganistan, dua sekawan ini masuk ke Filipina Selatan dan menjadi instruktur di kamp pelatihan militer Hudaibiyah, yang mendidik gerilyawan Moro. Nu’aim menjadi pengajar keterampilan membaca peta, Nasir mengajar penggunaan senjata api.
Namun Achmad Michdan, anggota Tim Pengacara Muslim, menyangkal informasi ini. Michdan mengaku sudah berbicara dengan kliennya, sejumlah tersangka terorisme yang kini dibui, seperti Abu Tholut dan Adung, yang disebut-sebut sebagai pendahulu Nu’aim di Jamaah Islamiyah. ”Tak ada yang mengenal dia,” katanya.
Di kalangan tetangga, Mbah dikenal sebagai pedagang roti yang jarang berinteraksi dengan warga. Keluarganya berbagi rumah dengan Suhariyanto, tersangka lain yang kini ditahan polisi. ”Mereka sering kedatangan tamu,” kata Suyono, tetangganya.
Menurut sumber Tempo, semula, ketika diperiksa polisi, Nu’aim enggan buka mulut. Dia bahkan ogah menandatangani surat kuasa menunjuk Tim Pengacara Muslim menjadi pendampingnya.
Sikap keras itu bertolak belakang dengan reaksi Nu’aim ketika rumahnya diserbu polisi, dua pekan lalu. Ketika itu dia langsung menyerah. ”Dia takut anak-anaknya panik kalau mendengar keributan,” kata seorang polisi yang ikut dalam operasi penangkapan. Tapi Nu’aim tak banyak pilihan. Jumat pekan lalu, dalam video yang dipertontonkan polisi kepada wartawan, ia mengakui sepak terjangnya.
Wahyu Dhyatmika, Ninin Damayanti, Erwin Dariyanto (Jakarta), Budi Setyarso (Banyumas), Syaiful Amin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo