Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Si Gondrong di Bandara Changi

16 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAMBUTNYA sebahu. Perawakannya tinggi besar dengan kulit putih bersih. Di atas bibirnya, ada selarik kumis tipis. Dialah Ongen Latuihamalo, orang terakhir yang berbincang dengan Munir di Bandara Changi, Singapura, pada malam nahas 7 September 2004.

Sejak awal penyidikan polisi, sejumlah saksi sudah menyebut keberadaan sosok misterius yang berbincang lama dengan Munir di bandar udara Singapura, sesaat sebelum pesawat Garuda GA974 itu lepas landas menuju Amsterdam, Belanda. Namun, siapa sesungguhnya sosok ini tak pernah jelas terungkap sampai beberapa bulan lalu.

Nama Ongen muncul setelah polisi menelisik satu demi satu keterangan saksi. Kesaksian salah satu penumpang Garuda ketika itu memang menyebut seseorang berambut gondrong yang dikenalkan kepadanya sebagai ”preman politik”. Orang itu terus menempel Munir sampai menjelang semua penumpang naik ke pesawat.

Setelah memastikan wajah si gondrong, mencari tahu identitas pria ini bukan perkara sulit. Pada dekade 1980, Ongen adalah penyanyi pop yang cukup dikenal di Tanah Air. Dia sempat menciptakan sejumlah lagu yang jadi hits di kalangan anak muda penyuka musik. Darah seniman memang deras mengalir di keluarga Latuihamalo. Keponakan Ongen, Glenn Fredly Latuihamalo, sekarang tenar sebagai penyanyi bersuara emas. Glenn berutang sukses kepada Ongen. Salah satu lagu yang mengangkat popularitas Glenn pada pertengahan 1990an, Pantai Cinta, diciptakan oleh sang paman.

Setelah tak lagi banyak manggung di Tanah Air, Ongen menyibukkan diri di kegiatan gereja dan beralih menjadi pencipta lagu rohani. Ia pernah diundang Komunitas Maluku di Belanda untuk mengisi acara pentas seni di sana. Dua tahun lalu, bersama musisi Maluku lain, Yongky Pattikawa, dia diminta tampil dalam acara Pasar Malam Besar, festival kesenian internasional di Den Haag.

Selain aktif bernyanyi, Ongen juga terlibat di berbagai organisasi. Di Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia, ia duduk sebagai pengurus di Departemen Informasi dan Komunikasi.

Selain itu, dia juga mendirikan Ina Ama, singkatan dari Insan Artis Anak Maluku, bersama sejumlah artis Maluku, awal 2005. Ina Ama, yang berarti ayah bunda dalam bahasa Maluku, menghimpun seniman dari kepulauan itu dan mendorong mereka agar peduli pada perkembangan daerah kelahirannya. Pada Agustus 2005 Ina Ama menyelenggarakan konser musik akbar di Lapangan Merdeka, Ambon, memperingati tiga tahun redanya konflik di sana.

Meski sekarang tak banyak tawaran manggung, banyak orang mempercayai Ongen banyak duit. Suatu kali, dalam acara amal dua tahun lalu, dia pernah merogoh kocek Rp 50 juta untuk menyumbang pembangunan Masjid AlFalla Waehaong di Ambon.

Ongen juga dikenal dekat dengan tentara. Mayor Jenderal (TNI) Nono Sampurno, Komandan Pasukan Pengaman Presiden di era Megawati Soekarnoputri, mengatakan bahwa Ongen adalah adik kelasnya ketika SMA. Saat Ongen mendirikan Ina Ama, Nono dan sejumlah perwira tinggi lain sempat membantu. Namun, ketika organisasi itu dilanda konflik internal, Nono hengkang. Tapi Nono tak percaya Ongen terlibat pembunuhan Munir. ”Dia itu kerjanya hanya nyanyi, nyanyi, dan nyanyi,” katanya.

Belakangan nama Ongen tersangkut di dunia hitam. Sumber Tempo di Belanda menyebutkan bahwa Ongen dikenal dekat dengan jaringan pengedar obat terlarang, terutama ekstasi. Di Jakarta, di kalangan musisi pun, nama Ongen kini dikaitkaitkan dengan profesi miring: debt collector alias penagih utang. ”Tiap sore, dia mangkal di Plaza Senayan, ketemu klienkliennya,” kata pengamat musik yang menolak disebut namanya. Bisa jadi karena itu, Ongen punya banyak nama. Di beberapa kalangan, dia dikenal sebagai Raymond. Dalam kesempatan lain, dia memperkenalkan diri sebagai Johan atau Anton.

Kini Ongen tak tentu rimbanya. Edward, manajer Glenn Fredly, mengatakan bahwa Ongen sempat bertemu Glenn Fredly pada Kamis pekan lalu. Keluarga besar Ongen di Jakarta memilih tutup mulut soal keberadaan pria ini. Jawaban mereka seragam, ”Ongen sudah di Belanda.” Beberapa sesepuh masyarakat Maluku pun memberikan jawaban senada. Berkalikali dihubungi, adik kandung Ongen, Hengky David Latuihamalo, selalu menghindar. Tapi seorang perwira polisi mengaku Ongen ”sudah di tangan”. Polisi setidaknya telah tiga kali memeriksa Ongen.

Telepon seluler Ongen kini sulit dihubungi. Yang menjawab panggilan telepon Tempo pada akhir pekan lalu hanya suara bariton Ongen yang sedikit bergetar, ”Halo, saya Ongen. Maaf, saya dalam posisi yang tidak bisa menjawab telepon Anda.”

Wahyu Dhyatmika, Budi Setyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus