Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ROMBONGAN itu meluncur ke Washington, AS, 21 Januari lalu. Dipimpin Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Sutanto, ikut pula empat perwira tinggi: Inspektur Jenderal Saleh Saab, Gorries Mere, Suryadharma, dan Indradi Thanos.
Di negeri Abang Sam itu mereka bertemu petinggi Biro Investigasi Federal (FBI) dan Central Intelligence Agency (CIA). Dalam pertemuan ini, para petinggi dua lembaga itu berjanji membantu Jakarta membuka misteri kematian Munir, pejuang hak asasi manusia yang mati diracun arsenik dalam penerbangan dari Jakarta ke Belanda, 7 September 2004.
Dalam pertemuan itu disepakati organ tubuh Munir harus diboyong ke Amerika Serikat untuk diurai di laboratorium di sana agar diketahui racun arsenik apa yang menghabisi Munir.
Selain bersedia memeriksa racun itu, negara itu juga siap mengurai rekaman pembicaraan antara Pollycarpus Budihari Priyanto dan seorang bekas petinggi intelijen Indonesia. Dua yang terakhir adalah orang yang diyakini polisi ikut menyudahi Munir. Seluruh persiapan kerja sama dengan dua lembaga Amerika itu dibicarakan dalam sejumlah pertemuan. Lima hari kemudian, rombongan pulang ke Tanah Air.
Sejumlah barang bukti kemudian diterbangkan ke Washington. Selain organ tubuh Munir, chip telepon genggam Pollycarpus diperiksa di laboratorium teknologi FBI. Tak cuma itu, provider penyedia layanan komunikasi yang digunakan Pollycarpus turut diperiksa.
Dan inilah hasilnya: Munir diracun di Bandara Changi, Singapura. Petunjuk itu berbeda dengan kesimpulan polisi sebelumnya bahwa Munir diracun dalam pesawat selama penerbangan dari Jakarta ke Negeri Singa. Berbekal petunjuk baru ini polisi bergerak cepat. Dua orang langsung ditetapkan sebagai tersangka baru.
Sesudah dua setengah tahun panen kecaman, inilah pertama kalinya penyelidikan polisi disanjung publik. ”Saya cukup puas dengan hasil kerja polisi kali ini,” kata Suciwati, istri mendiang Munir, sesudah bertemu petinggi kepolisian, Rabu pekan lalu.
Selama ini penyelidikan kasus Munir memang seperti dilakukan separuh hati. Itu sebabnya polisi, juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dikecam kirikanan.
Semula Presiden Yudhoyono membentuk tim khusus pada 23 Desember 2004. Namanya Tim Pencari Fakta Kasus Munir. Dipimpin Brigadir Polisi Marsudhi Hanafi, tim ini juga melibatkan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), kawankawan seperjuangan almarhum Munir. Tapi wewenang tim ini amat miskin.
Walhasil, mereka seperti serdadu yang maju perang tanpa senapan. Hingga akhirnya dibubarkan 23 Juni 2005, tim ini gagal total memeriksa sejumlah petinggi Badan Intelijen Negara (BIN) yang diduga mengetahui pembunuhan itu.
Hasil kerja tim ini kemudian dilaporkan secara tertulis ke Presiden Yudhoyono. Dalam rekomendasinya tim ini menyebut bahwa sejumlah petinggi intelijen patut diduga mengetahui pembunuhan itu.
Asmara Nababan, mantan wakil ketua tim pencari fakta itu, memastikan bahwa dalam penyusunan draft mengenai kerja tim ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengusulkan untuk membuka hasil kerja tim ini ke khayalak ramai. Asmara tak habis pikir, ”Mengapa sampai sekarang Presiden tak kunjung mengumumkan laporan itu.”
Sesudah tim pencari fakta tamat, belakangan polisi membentuk tim penyelidik baru. Tim itu masih dipimpin Marsudhi Hanafi. Sekitar 30 penyidik dari Mabes Polri, Kepolisian Daerah Metro Jaya, dan Interpol ikut dalam tim ini. Tapi hasil kerja tim ini juga tidak dipublikasikan.
Entah kenapa tim itu dibubarkan hingga diganti tim baru yang dipimpin Brigadir Jenderal Polisi Suryadharma. Tapi tim ini juga memble. Tak banyak kemajuan. Berapa lama kemudian tim Suryadharma itu pun dibubarkan. Lalu muncul sebuah tim baru lagi. Dipimpin langsung Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri.
Kepada Tempo Bambang Hendarso berkisah tentang pembentukan tim baru ini. Setelah diangkat menjadi Kepala Bareskrim pada 21 Desember 2006, Hendarso dipanggil Sutanto. Saat itu Kapolri berkisah bahwa dalam rapat kabinet Presiden selalu bertanya tentang perkembangan penyelidikan kasus Munir.
Pulang dari ruang atasannya itu, Hendarso langsung memanggil seorang perwira tinggi. Bersama sang perwira itu, Hendarso membahas hasil kerja tim sebelumnya. Berbekal hasil pembahasan itu, format tim baru itu langsung dibentuk. Anggotanya sembilan orang. Satu orang dicomot dari tim lama. Meski baru, Hendarso memastikan, ”Tim ini memulai penyelidikan dari berita acara tim yang lama” (lihat Polly Mengkondisikan Pembunuhan).
Tim Hendarso inilah yang giat bekerja sama dengan sejumlah lembaga forensik negara lain. Organ tubuh Munir, misalnya, dikirim ke laboratorium kepolisian Jepang di Tokyo. Sempat pula diperiksa di laboratorium kepolisian Jerman di Frankfurt. Sesudah itu baru dikirim ke Seattle, Amerika Serikat.
Dari pemeriksaan organ tubuh Munir di Seattle, akhirnya diketahui bahwa racun arsen yang masuk ke tubuh Munir berjenis SigmaSigmaSigma alias S3. Tim ini lalu memanggil sejumlah ahli forensik. Dari sana diketahui Munir dihabisi di Changi. Di bandara itu, polisi sudah empat kali melakukan prarekonstruksi.
Selain melakukan uji laboratorium, tim ini juga terus memburu para tersangka. Sumber Tempo menuturkan bahwa tim ini juga memburu seorang letnan kolonel berinisal S. Orang ini diduga menjadi salah satu aktor intelektual pembunuhan. Si aktor intelektual disebutsebut sebagai koordinator lapangan alias korlap dari operasi pembunuhan ini.
Kerja Pak Korlap ini amat berliku. Agar tak mudah dideteksi, dia mengendalikan operasinya dari Surabaya. Adanya koordinasi jarak jauh itu, kata sumber Tempo, diketahui dari sambungan telepon dengan seorang tersangka. Walau belum diungkap apalagi ditangkap, polisi terus menguber orang ini. Motifnya juga masih terus digali.
Sumber Tempo menuturkan bahwa tim ini juga pernah menemui kawankawan Munir dan bertanya tentang kasus Talangsari di Lampung dan penculikan aktivis pada 1998. ”Di situ kita melihat memang ada perkembangan luar biasa dalam penyelidikan kasus ini,” kata si sumber.
Kawankawan Munir tampaknya cukup puas dengan kerja polisi ini. ”Dari penjelasan Kepala Bareskrim, kami mendapat kesan seluruh hasil penyelidikan tim pencari fakta ditindaklanjuti polisi,” kata Usman Hamid, Kamis pekan lalu, sesudah bertemu dengan Bambang Hendarso.
Bambang sendiri mengunci rapat informasi seputar tim di bawah kendalinya itu. Itu terlihat ketika penyerahan dokumen dan sejumlah bukti baru ke Kejaksaan Agung, Jumat pekan lalu.
Barang bukti itu diserahkan sendiri oleh Kepala Bareskrim ini. Anggota timnya tidak ada yang mendampingi. Hendarso tampaknya berhitung keras tentang keselamatan anak buahnya itu. Dia beralasan, ”Bukan soksokan, mending saya yang jadi target.”
Wenseslaus Manggut, Dimas Aditya, Sunariah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo