Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DINI hari 7 September, tiga tahun silam. Tiga lelaki berdiri di dekat kotak telepon di samping Coffee Bean, Nexus Lounge, Bandar Udara Changi, Singapura. Dalam semprotan pendingan udara, mereka asyik mengobrol.
Pria pertama bertubuh ceking, berambut ikal. Dialah Munir, aktivis hak asasi manusia yang saat itu berusia 39 tahun. Di sampingnya ada pria berkacamata berbadan tinggi tegap. Di depan mereka ada lelaki berambut lurus sebahu, berkulit putih dengan kacamata dionggokkan di atas kepala.
Obrolan biasa, tak seorang pun menaruh curiga. Lelaki berkacamata diketahui adalah Pollycarpus Budihari Priyanto, 46 tahun, pilot Garuda yang sempat diadili karena dituding bersekongkol membunuh Munir. Pria gondrong itu tak jelas identitasnya.
Polisi yakin, di bandar udara inilah Munir dihabisi. Sang aktivis mangkat di atas pesawat Garuda 974 dalam penerbangan SingapuraAmsterdam, sekitar sembilan jam setelah pertemuan itu. Sebelumnya diyakini pembunuhan terjadi di atas pesawat jurusan JakartaSingapura. Perubahan lokasi pembunuhan itulah yang jadi bukti baru polisi.
Setelah beberapa lama jadi bulanbulanan publik, polisi kini memberikan bukti bahwa mereka tidak mainmain. Berbekal hasil otopsi aparat Belanda—yang menyebut bahwa Munir tewas akibat racun arsenik—polisi mengirim sampel toksin itu ke laboratorium forensik CCL Tequika di Seattle, Amerika Serikat. Hasilnya, arsenik di tubuh Munir ternyata dari jenis S3. Racun jenis ini akan bereaksi 30 menit hingga 1,5 jam setelah masuk tubuh manusia. Itulah sebabnya, polisi berkesimpulan bahwa Munir diracun saat transit di Singapura.
Pada Selasa pekan lalu, polisi menetapkan Indra Setiawan, 56 tahun, mantan Direktur Utama Garuda, dan Rohainil Aini, 46 tahun, mantan Pejabat Pendukung Operasional Penerbangan perusahaan itu, sebagai tersangka. ”Mereka mengeluarkan surat yang dipakai pelaku untuk memperlancar pembunuhan,” kata Kepala Polri Jenderal Sutanto kepada wartawan. Pada Sabtu dini hari pekan lalu Indra dan Rohainil telah pula ditangkap.
Indra disalahkan karena pada 11 Agustus 2004 memberikan surat penugasan ke Pollycarpus untuk menjadi staf perbantuan di unit keamanan penerbangan. Padahal Polly adalah pilot—ia tak punya kecakapan sebagai petugas pengaman pesawat. Pengangkatan semacam itu pun seharusnya cukup melalui keputusan bagian personalia.
Adapun Rohainil dijadikan tersangka karena membuat nota perubahan jadwal penerbangan Polly pada 6 September 2004. Nota inilah yang memungkinkan Polly terbang dari Jakarta ke Singapura dengan pesawat Garuda 974 yang ditumpangi Munir. Padahal ia semestinya terbang ke Beijing, Cina, pada hari itu.
Polisi tampaknya tetap menganggap Polly terlibat dalam pembunuhan Munir, meski Mahkamah Agung telah membebaskannya. Dalam keterangannya kepada polisi, Pollycarpus berkalikali menyatakan bahwa dirinya langsung menuju Hotel Novotel, tempatnya menginap, segera setelah tiba di Singapura. Polisi kini memiliki saksi kunci yang melihat dia bercakapcakap dengan Munir dan ”Si Misterius Gondrong” di Changi. ”Seandainya seseorang bisa dua kali diadili untuk kasus yang sama, Pollycarpus sudah saya tahan,” kata Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri.
SUATU hari, Juni 2005. Suciwati, istri Munir, terbang ke Amerika untuk menghadiri sebuah acara internasional. Ketika transit di Bandara Changi, Singapura, ia disapa seseorang bertubuh tinggi besar, putih, dan berkumis tipis. Kacamatanya nongkrong di atas kepala. ”Seingatku, ia memperkenalkan diri sebagai Johan,” kata Suci. Ia mengaku orang Indonesia yang tinggal di Belanda. ”Saya bersimpati pada Munir,” katanya. Menjelang pesawat berangkat, lelaki itu memberikan kertas berisi nama, alamat email, dan nomor telepon. ”Kalau perlu bantuan, hubungi saya saja. Mungkin saya bisa membantu,” kata lelaki itu. Anehnya, ”Di kertas dia mengaku bernama Anton Saijah.” Istri Munir itu tak pernah menghubungi si gondrong. Kertas catatan pun raib tak tentu rimba.
Ingatan Suci kepada lelaki itu bangkit kembali ketika beredar kabar ada lelaki kedua, selain Pollycarpus, yang bertemu Munir di Changi pada malam kematian sang aktivis. Menurut polisi, lelaki inilah tokoh penting di balik kematian Munir.
Pada Maret lalu, keberadaan lelaki itu sudah pula didengar aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekeraan (Kontras)—lembaga yang selama ini aktif menginvestigasi misteri kematian Munir. ”Coba selidiki seniman Ambon yang selama ini dekat dengan Munir,” kata seorang aktivis Kontras—tugas yang tak mudah mengingat semasa hidupnya Munir bergaul dengan banyak orang.
Sinyal lebih terang disampaikan sumber Tempo lainnya. Katanya, orang kedua itu adalah penyanyi Ambon bernama Ongen Latuihamalo. Ia punya banyak nama alias: Johan, Anton, dan Raymond. ”Coba telusuri di Google namanama itu,” kata sang sumber.
Penelusuran melalui dunia maya membawa Tempo pada informasi yang lebih jelas. Di Internet, Ongen Latuihamalo dijelaskan sebagai penyanyi lagu rohani tahun 1980an dan paman Glenn Fredly Latuihamalo, penyanyi yang kini tengah naik daun. Beberapa seniman memberikan informasi yang lebih seram: selain pemusik, Ongen juga dekat dengan jaringan pengedar ekstasi di Belanda dan punya hubungan baik dengan tentara (lihat Si Gondrong di Bandara Changi). Dari Internet pula Tempo mendapatkan foto lelaki itu. Belakangan diperoleh informasi bahwa polisi memang sudah membidik si penyanyi. Setidaknya, aparat telah tiga kali memeriksa dia. Tapi polisi mengunci bibir ketika ditanya tentang identitas buruan mereka.
Namun betulkah pria dalam foto itu adalah orang yang menemui Suci? Betulkah juga dia yang telah diperiksa aparat? Suci mengangguk ketika Tempo menunjukkan foto dari Internet tersebut. Polisi pun membenarkan bahwa itulah orang yang telah mereka periksa. ”Tapi, tolong, soal ini jangan dulu didalami,” kata seorang polisi.
Ongen terlibat? Meski polisi meyakininya, masih tak jelas bagaimana pembunuhan itu dilakukan. Sejumlah saksi yang diperiksa aparat menyebutkan ketiganya hanya berdiri di dekat boks telepon di dekat Restoran Coffee Bean. Dengan kata lain, belum bisa dipastikan racun dimasukkan lewat makanan atau minuman yang ditelan Munir saat di Changi.
MUNIR terbang ke Amsterdam untuk melanjutkan studi di Utrecht, Belanda. Ia memilih penerbangan kelas ekonomi Garuda untuk ”menghemat beasiswa”. Pada malam keberangkatannya, 6 September 2004, ia diantar Suciwati dan sejumlah aktivis ke Bandara SoekarnoHatta. Di bandara, Munir sempat minum susu cokelat Dunkin Donut’s.
Munir check in pada 20.00 dan mendapat kursi nomor 40G. Satu setengah jam kemudian ia mulai antre masuk pesawat. Saat itulah Polly menghampirinya. ”Mau ke mana, Pak?” Polly bertanya, seperti dikutip dalam berita acara pemeriksaannya. ”Mau ke Belanda,” jawabnya. ”Apa sendirian, tidak bersama keluarga?” Munir menjawab, ”Enggak, sangunya kurang.”
Di pintu masuk, Polly menawari Munir duduk di kursinya di kelas bisnis. Munir pindah kursi nomor 3K, yang semula dipakai Polly. Bekas penerbang misionaris di Papua itu lalu ”turun kelas” ke kursi premium bebas. Polisi menduga ada udang di balik ”tawaran mulia” ini. Pertukaran kursi itu dicurigai justru dirancang untuk melancarkan pembunuhan.
Cerita lebih detail disampaikan seorang penyidik. Katanya, si pembunuh tahu, waktu transit di Changi hanya satu jam. Dikorting 10 menit untuk penumpang turun dari pesawat, dan 20 menit untuk naik lagi, hanya ada kesempatan setengah jam untuk menghabisi Munir.
Waktu yang tersedia semakin tipis jika Munir tetap duduk di kelas ekonomi. Ia butuh waktu lebih lama untuk antre turun karena saat itu hanya pintu depan yang dibuka. ”Makanya ia ditaruh di kelas bisnis agar lebih cepat turun,” kata sumber itu.
Pesawat mendarat di Changi pada 00.40 waktu setempat. Munir turun dan berjalan sendiri menuju tempat transit. Ia berhenti di dekat tangga berjalan pintu D42. ”Ia seperti menunggu seseorang,” kata seorang saksi polisi seperti tertera di dokumen berita acara pemeriksaannya.
Beberapa saat kemudian saksi itu melihat Munir berdiri dengan pria berkacamata dan pria berambut gondrong—yang belakangan diketahui adalah Polly dan Ongen. Mereka hanya mengobrol, dan tidak makan atau minum. Menurut saksi tadi, ”Setelah transit, orang yang berkacamata tidak ikut penerbangan ke Amsterdam. Tapi yang gondrong ikut.”
Dalam antrean kembali naik pesawat, Munir bertemu Tarmizi Hakim. Dokter ahli bedah jantung dari Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, itu mengenalkan diri dan memberikan kartu nama. Ia lalu berbasabasi tentang pemilihan presiden putaran kedua pada bulan itu. ”Milih siapa, Pak Munir?” ”Ah, sama saja, Dok,” jawab Munir.
Pada 01.53 waktu Singapura, pesawat siap lepas landas. Munir mulai merasa tidak beres di perutnya. Ia meminta obat sakit maag, Promag, kepada pramugari Tia Dewi Ambarwati. Tia berjanji mencarikannya setelah pesawat lepas landas. Setelah pesawat dalam ketinggian stabil, Tia datang ke kursi Munir dan menyatakan tak tersedia Promag. Ia menawari makan, tapi Munir hanya minta dibuatkan teh hangat.
Sekitar 40 menit setelah meninggalkan Changi, Munir mulai bolakbalik ke toilet. Dua jam setelah itu, sakit perutnya semakin parah. Munir minta pramugari membangunkan Tarmizi untuk menolongnya. Tapi sang dokter susah dibangunkan. Munir pun berjalan ke kelas bisnis dan duduk di belakang kursi Tarmizi.
Tarmizi akhirnya bangun dan menuju tempat Munir duduk. ”Ada apa, Pak Munir?” ”Saya sakit perut, Dok. Sudah enam kali muntaber.” Seorang pramugari menyatakan bahwa Munir sakit maag karena sempat minum sari jeruk. ”Sakit maag bukan begini,” kata Tarmizi. Munir terus bolakbalik ke toilet.
Tarmizi minta pramugari membuka peralatan medis darurat pesawat. Menurut Tarmizi, tak ada obat yang cocok di kotak itu. Maka dia memberi Munir dua tablet New Diatabs (obat diare), serta sebutir Zantacts dan Promag (untuk mual dan perih perut) dari tas yang dibawanya.
Tarmizi meminta pramugari mengambilkan air minum. ”Saat saya mengambilkan air minum, keadaan Pak Munir belum begitu parah,” kata pramugari Sri Suharni dalam berita acara pemeriksaan. Alihalih sembuh, Munir justru semakin parah. Tarmizi pun menyuntikkan satu ampul Primpevran ke lengan kanan Munir. Masih belum baik. Tarmizi menyuntikkan lagi 5 miligram Diazepam ke bahu kiri lelaki gering itu.
Munir masih bolakbalik ke toilet. Beberapa saat kemudian, ia bilang ingin istirahat telentang. Pramugari menggelar tiga lapis selimut di lantai kelas bisnis. Di situ Munir tidur. Ketika pesawat diperkirakan terbang di atas wilayah Rumania, napasnya berhenti. Munir yang malang: jauh di atas langit ia mangkat dengan posisi miring ke kanan, kaki tertekuk, dan satu tangannya berada di bawah bantal.
”Perkiraan Munir meninggal pukul 9.05 waktu Schiphol, Belanda, atau pukul 12.05 WIB,” kata seorang penyidik. ”Jadi, mau berapa pun ditarik mundur waktunya, tempat kejadian perkara racun masuk ke tubuhnya tetap di Changi.”
TEMUAN baru polisi itu mematahkan argumentasi jaksa dan hakim dalam sidang Polly sebelumnya. Dalam tuntutan, jaksa menyatakan pembunuhan dilakukan di pesawat JakartaSingapura. Racun dimasukkan melalui jus jeruk yang diminum Munir. Dalam putusannya, hakim ”merevisi” informasi: bukan jus jeruk tapi mi goreng. Bukti pembunuhan oleh Polly nyatanya minim. Itulah sebabnya oleh Mahkamah Agung Polly dinyatakan bebas.
Sayang, hingga akhir pekan lalu, Polly tidak bisa dimintai konfirmasi. Penerima telepon di rumahnya mengatakan dia sedang keluar rumah. Beberapa kali dihubungi lagi, terdengar nada sambung ke faksimile. Menurut Mohammad Assegaf, pengacara Garuda, polisi terlalu gegabah mengambil kesimpulan.
Ongen Latuihamalo pun raib bagai hantu. Nomor teleponnya selalu tersambung ke kotak suara. Mayor Jenderal (Marinir) Nono Sampurno, mantan Komandan Pasukan Pengamanan Presiden yang pernah bersamasama Ongen dalam organisasi Insan Artis Anak Maluku, menyatakan tak percaya sahabatnya itu terlibat. ”Dia itu kerjanya hanya nyanyi, nyanyi, dan nyanyi,” kata Nono.
Pertanyaan lain: apa motif Ongen menghabisi Munir? Tak mudah merabanya. Tapi kata seorang aktivis Kontras, pelaksana lapangan tak punya motif. Yang memiliki kepentingan adalah sang dalang.
Bambang Hendarso Danuri menolak menjelaskan motif pembunuhan Munir. Katanya, ”Nanti setelah diperiksa, IS dan RA (Indra Setiawan dan Rohainil) pasti akan bernyanyi.”
AZ/Budi Setyarso, Dimas Adityo, Wahyu Dhyatmika
Catatan Si Polly
Meski Mahkamah Agung mengetukkan palu bebas kepada Pollycarpus Budihari Priyanto pada 3 Oktober 2006, masih banyak yang misterius pada lelaki 46 taun itu. Salah satunya menyangkut catatan miliknya.
Coretmoret itu berasal dari notes putih bergaris milik Pollycarpus yang disita polisi, sebelum Jos Hera, istri Polly, sempat memusnahkannya seperti diminta Polly pada akhir Maret 2005. Dua lembar di antaranya berisi coretcoretan denah pesawat Boeing 747400 bernomor GA974 yang ditumpangi Polly dan Munir dari Jakarta ke Singapura pada 6 September 2004. Selain itu, Polly juga menggambar rentang waktu perjalanan dari JakartaSingapuraAmsterdam dan rentang waktu mulai dari pesawat parkir, lepas landas, mendarat, hingga parkir lagi.
Dalam berita acara pemeriksaan, Polly memberikan dua keterangan yang berbeda tentang kapan coretcoretan itu dibuat. Pada 17 Mei 2005, ia mengatakan denah itu ia buat di kantor penasihat hukumnya, Sdr Suhardi, di Jalan Majapahit, Jakarta Pusat. Keesokan harinya, ia mengatakan denah itu dibuatnya saat memberikan kesaksian di gedung DPR.
Kurie Suditomo
Jalan Berliku Mengejar Sang Durjana
2004
7 September Munir Said Thalib (39 tahun) tewas diracun dalam perjalanan dengan pesawat Garuda GA974 rute JakartaSingapuraAmsterdam.
18 November
Mabes Polri memberangkatkan tim penyidik Mabes Polri dan Koordinator Kontras, Usman Hamid, ke Belanda untuk mendapatkan dokumen otopsi asli.
24 November Suciwati, istri Munir, bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden berjanji membentuk tim independen untuk menyelidiki kasus Munir.
23 Desember Presiden membentuk tim pencari fakta (TPF) dengan ketua Brigjen Pol. Marsudi Hanafi dan beranggotakan sejumlah aktivis.
2005
28 Februari Marsudi menilai manajemen Garuda menutupi kematian Munir. Selain menghambat rekonstruksi, menurut TPF, ada pula yang diduga memalsukan surat penugasan Pollycarpus.
14 Maret Pollycarpus diperiksa penyidik lebih dari 13 jam dengan alat deteksi kebohongan.
18 Maret Pollycarpus ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mabes Polri.
28 Maret Presiden memperpanjang masa kerja TPF hingga 23 Juni 2005.
11 April Untuk kedua kalinya, mantan Sekretaris Utama BIN Nurhadi menolak hadir dalam pemeriksaan. Nurhadi diduga mengangkat Pollycarpus sebagai agen utama BIN.
11 Mei TPF melaporkan hasil kerja ke Presiden, tapi SBY menilai kerja TPF belum memuaskan. SBY berjanji memimpin langsung pembicaraan antara TPF, Polri, dan BIN.
17 Mei TPF kembali bertemu Presiden, melaporkan adanya kontak berkalikali antara Pollycarpus dan Muchdi P.R, Deputi V BIN.
16 Juni Untuk ketiga kalinya, bekas Kepala BIN Hendropriyono tak memenuhi panggilan TPF. Keesokan harinya, tim penyidik Polri mengaku sudah memeriksa Hendro, meski dilakukan diamdiam.
23 Juni Rekonstruksi kasus kematian Munir.
24 Juni Masa tugas TPF habis. TPF menyerahkan laporan ke Presiden. SBY berjanji mengawasi penyelesaian kasus Munir hingga selesai.
27 Juni Brigjen Pol Marsudi Hanafi, mantan ketua TPF, ditunjuk menjadi ketua tim penyidik Polri yang baru untuk kasus Munir.
28 Juni Mabes Polri mengerahkan 30 penyidik dari Bareskrim, Interpol, dan Polda Metro Jaya untuk menuntaskan kasus Munir setelah TPF dibubarkan.
9 Agustus Pengadilan kasus Munir dengan terdakwa Pollycarpus digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk pertama kalinya.
13 Desember Brigjen Pol Marsudi Hanafi dimutasi dari ketua tim penyidik kasus Munir menjadi staf ahli bidang sosial ekonomi Mabes Polri.
2006
27 Maret Pengadilan Tinggi DKI menvonis Pollycarpus 14 tahun penjara atas tuduhan pembunuhan berencana terhadap Munir.
6 September Suciwati mengajukan gugatan perdata Rp 13 miliar terhadap PT Garuda atas tewasnya Munir.
3 Oktober Kasasi Mahkamah Agung menyatakan Polly tidak terbukti membunuh Munir. Ia hanya terbukti menggunakan dokumen palsu dan divonis dua tahun penjara.
6 Oktober Brigjen Pol Suryadharma ditunjuk sebagai ketua tim penyidik Polri baru untuk kasus Munir.
28 November Tim gabungan polisi dan kejaksaan pergi ke Prancis, Belanda, dan Amerika untuk kerja sama teknologi informasi dan forensik.
25 Desember Pollycarpus bebas dari penjara Cipinang setelah mendapat remisi hukuman dua bulan.
2007
18 Januari Kejaksaan Agung membentuk tim untuk meneliti putusan Mahkamah Agung.
24 Januari Mabes Polri membentuk tim penyidik baru, diketuai Kepala Bareskrim Irjen Pol Bambang Hendarso Danuri.
10 April Kapolri Jenderal Sutanto menyatakan IS dan R (Indra Setiawan dan Rohainil Aini) sebagai tersangka baru kasus Munir.
14 April Indra dan Rohainil ditangkap polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo