Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Si Pedagang Buah

Pedagang buah-buahan di kota banda aceh belum mendapat tempat khusus untuk menggelar barang dagangannya. rencana pembuatan pasar khusus buah-buahan, belum terdengar. (kt)

16 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB pedagang buah-buahan di kota Banda Aceh memang kurang beruntung. Mereka belum mendapat tempat khusus buat menggelar barang dagangannya. Berbeda dengan pedagang ikan atau sayuran misalnya yang sudah punya gedung mulus di Peunayong, di tepi kali Aceh. Sedang pedagang sayuran disediakan pasar sayur sendiri bertingkat dua. Juga pedagang rempah-rempah dan jenis lainnya yang biasa menghasilkan sampah tersedia Pasar Bertingkat di komplex Pasar Aceh. Apalagi bagi pedagang barang lux. Jenis yang barangkali banyak membuahkan duit buat Pemda ini disediakan sebuah pusat perbelanjaan yang kini masih dalam penyelesaian. Belum terdengar rencana pembuatan pasar khusus buah-buahan. Karena itu para pedagang jenis ini, diharap tetap bersabar menempati barisan bangsal bertiang bambu, beratap rumbia di kawasan Peunayong, di sela-sela gedung kota yang mentereng. Tempat ini telah mereka pergunakan selama 3 tahun setelah mereka diusir dari Kampung Baru dan Jalan Perdagangan. Tapi kemudian dari sana mereka diminta boyong ke lapangan rumput di pinggir kali. "Itu terjadi, begitu Kutaraja dirobah jadi Banda Aceh", tutur abon, seorang toke buah pisang yang kesohor bonafid yang dulunya cuma penjual buah langsat saja. Mungkin pertimbangan sang penguasa, di sana masih berupa tanah kosong dan dekat sungai. Dan Banda Aceh perlu ditata. Namun kini di sana pun sudah ada jalan raya bernama Jalan Nasional dan di seberangnya tegak kantor Komdak. Lagipula sudah jadi pusat kota. Hingga tentu saja dipandang kurang pantas, bila pedagang-pedagang yang banyak memproduksi sampah itu masih nongkrong di sana. Akhirnya mereka diminta menenteng barang-barang dagangannya ke tempat yang sekarang, di lorong-lorong pengap di antara gedung-gedung. Memang tampaknya tersembunyi kejorokan akibat barang-barang bekas pedagang buah-buahan itu. Dan bau tumpukan barang bekas yang menusuk hidung di sekitar pondok-pondok, jadi biang sebab kerunyaman lainnya. Begitu pula sampah-sampah memadati riol dan parit-parit. Juga menghampari jalan mulus sekitarnya. Apalagi truk-truk sampah milik Kotamadya selain minim, memang enggan bertandang ke sana. Barangkali karena retribusi yang bisa dipungut tak begitu berarti ketimbang jasa yang terbuang di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus